This blog is my library, mostly from other people's articles and only few are mine. I will re-read when I have time or whenever I want to
Tuesday, August 5, 2014
Chocolate Ville, Bangkok Rasa Amerika Zaman Kolonial
TRIBUNNEWS.COM, BANGKOK - Semangkuk besar tom yam sudah tersaji di atas meja. Begitu pula dua piring nasi putih, tiga piring, tiga gelas teh es lemon leci dan dua gelas milk tea khas Thailand.
Jika sehari sebelumnya kami menikmati tom yam di tengah keramaian Pasar Chatuchak, pasar murah akhir pekan di Bangkok yang tersohor itu, suasana kali ini berbeda jauh.
Meja makan kami berada di bibir danau kecil. Tak jauh di seberang, berdiri sebuah mercusuar yang tingginya menjulang sekitar 8 meter. Masih di seberang kami, tampak sebuah rumah kaca yang isinya penuh dengan meja makan kayu panjang.
Berbagai jenis tanaman hias gantung yang jatuh menjuntai mempercantik rumah kaca itu beserta jembatan yang menghubungkan jalan yang terpisah oleh sungai kecil di dekatnya. Gemercik air yang jatuh dari kinciran kecil membuat suasana kian terasa teduh.
Kami sedang berada di Chocolate Ville. Masih berada di dalam kota Bangkok, sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota ke arah utara, tepatnya kawasan Khan Na Yao, namun Chocolate Ville menawarkan pengalaman wisata kuliner yang berbeda dari tempat lainnya di Bangkok.
Masuk ke Chocolate Ville, serasa seperti masuk ke sebuah pedesaan kecil di Amerika zaman kolonial. Restoran tematik ini terdiri dari beberapa bangunan dengan tema yang berbeda-beda. Namun fungsinya hampir sama semua yaitu sebagai area makan. Ada pula yang memang didesain khusus sebagai tempat berfoto.
Masuk melalui halaman depan restoran, pengunjung langsung disambut dengan danau lengkap dengan dermaga dan perahunya. Sebuah induk bebek tiruan raksasa dan anaknya menghiasi danau kecil itu. Pengunjung pun boleh bernasis ria di dermaga itu.
Tak jauh dari situ, terdapat gazebo berhiaskan bunga-bunga cantik yang juga bisa menjadi tempat berfoto.
Sampai di area makan, pengunjung juga masih bisa melakukan ritual berfoto karena setiap area makan memiliki tema yang unik. Ada yang bertemakan kafe di kanal, pasar, kantor pos, toko bunga, bahkan stasiun kereta api.
Rasanya betah berlama-lama di sini. Tempat ini cocok bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu bersama orang terdekat, mengobrol sembari memanjakan indra perasa dan penglihatan.
Harga makanan di sini juga cukup bersahabat dengan isi dompet, terutama bagi para wisatawan "budget". Untuk menu yang kami pesan tadi, kami hanya merogoh kocek 650 baht atau sekitar Rp 140 ribu. Harga-harga yang tertera di menu sudah termasuk pajak dengan tetek bengeknya.
Soal makanan dan minuman, kelezatannya boleh dibilang tidak perlu diragukan. Menu yang ditawarkan cukup beragam mulai dari masakan-masakan khas negeri Gajah Putih hingga barat seperti steak dan pasta.
Entah kenapa restoran ini disebut Chocolate Ville, karena kami tidak menemukan hidangan khusus yang terbuat dari coklat.
Chocolate Ville buka setiap hari mulai pukul 16.00 - 24.00. Pastikan Anda melakukan reservasi terlebih dulu setidaknya 24 jam sebelum kedatangan.
Menjelang petang adalah saat terbaik untuk menikmati hidangan di sini. Jika beruntung, jamuan malam Anda juga akan ditemani langit senja yang indah.
Untuk mencapai Chocolate Ville ini, Anda harus menggunakan taksi karena kawasan ini tidak masuk dalam cakupan moda transportasi massal seperti MRT, BTS, atau Airport Link.
Kami pun mengendarai taksi dari stasiun Airport Link Ramkhamhaeng. Dengan argo, tarifnya berkisar 120 baht atau Rp 45.000.
Mengingat restoran tersebut belum cukup familiar bagi pengemudi taksi umumnya, jangan lupa tunjukkan peta Chocolate Ville (tersedia di laman Facebook Chocolate Ville) kepada sang pengemudi.
Sumber : https://id.berita.yahoo.com/chocolate-ville-bangkok-rasa-amerika-zaman-kolonial-052051752.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment