Sunday, November 21, 2010

12 emosi negatif yang menghambat perkembangan seseorang


Dari tulisan Patricia Patton, tentang aspek dalam kecerdasan emosional dijelaskan 12 konsep emosi negatif yang harus ditinggalkan bila kita ingin berkembang.

Tentu saja, tidak ada hal yang mudah dalam kehidupan ini, apalagi sisi negatif emosi yang sering kita rasakan kebanyakan telah menjadi bagian kehidupan – artinya bila ingin meninggalkannya berarti harus melakukan beberapa perubahan dalam kehidupan.


Ke-12 emosi negatif tersebut adalah :

1. Cemburu
Cemburu sebenarnya berintikan rasa iri. Iri terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain, yang pada akhirnya akan membatasi kemampuan kita untuk melihat apa yang kita miliki sendiri. Cemburu hanya akan menyebabkan kita gagal melihat potensi dalam diri kita. Sikap ini menempatkan orang lain sebagai obyek rasa frustrasi. Ketika kita cemburu, kita menjadi tidak terbuka, membenci dan sulit untuk bertindak apa adanya.

2. Perasaan Tidak Aman
Setiap orang memiliki wilayah rasa aman, yang ditandai dengan rasa nyaman dan kita enggan meninggalkannya. Orang Jawa mengekspresikannya dengan istilah “nrima” (menerima), yang bermakna, seolah-olah apa yang diterima atau dimiliki sekarang ini sudah final dan tidak mungkin bertambah baik lagi. Keluar dari wilayah ini hanya akan menimbulkan rasa tidak aman.

Rasa tidak aman dapat mencegah kita mencoba hal baru dan menghalangi peluang untuk sesuatu yang bermanfaat bagi hidup kita. Kita menarik diri dari segala sesuatu yang akan menjauhkan kita dari area yang aman atau yang menyenangkan. Ini sangat menghambat perkembangan kita sebagai seorang individu. Topeng yang sering dipakai untuk menutupi rasa tidak aman ini adalah agresivitas yang berlebihan. Sikap ini menghambat komunikasi dengan orang lain dan mempersulit untuk bisa santai dan menikmati keberhasilan.

3. Dengki
Level yang lebih tinggi dari iri hati dan cemburu adalah dengki. Dengki bermuatan kemarahan, bahkan dendam kepada seseorang hanya karena rasa iri yang mendalam, sekalipun tanpa sebab yang jelas. Memendam perasaan dengki dapat menyumbat sistem emosi kita dengan cara yang tidak konstruktif. Memendam rasa dengki sama dengan menumpuk perasaan marah karena merasa bahwa dunia ini tidak adil, hanya berpihak terus menerus pada orang-orang yang sama, sehingga orang yang dengki akan gagal total menilik potensinya sendiri. Kehidupan ini rasanya hanya berisi kumpulan tulisan nasib buruk, dan baginya kehidupan terasa begitu menyengsarakan.

4. Kebencian
Tidak menyukai orang lain adalah hal yang biasa terjadi pada seseorang. Bila bersifat akumulatif, dan meningkat dari waktu ke waktu, mungkin karena terus menerus bertemu, rasa tidak suka yang wajar mungkin akan berubah menjadi kebencian.

Emosi yang satu ini bersifat stress, sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan, sekaligus pada saat yang sama membuat orang yang pandai sekalipun tampak bodoh. Bagaimana bisa? Karena membuat sang pembenci kehilangan objektivitas dalam berpikir dan mengambil keputusan. Apapun yang dilakukan oleh orang yang dibenci membuat sang pembenci tidak suka, mempengaruhi motivasi kerja, dan sangat subjektif.

5. Tidak Menghargai Diri Sendiri
Coba tanyakan pada orang yang anda kenal, apa kelebihan yang ia banggakan? Apa kelemahan yang harus ia perbaiki? Lihat bagaimana ia menjawabnya. Dari pengalaman sebagai seorang interviewer, kedua pertanyaan pendek dan sederhana tersebut cukup sulit dijawab, khususnya oleh mereka yang tidak terbiasa berkontemplasi. Seringkali, pada ujungnya muncul jawaban, orang lain lebih bisa melihat kelebihan (atau kekurangan saya). Ini menunjukkan bahwa secara umum kita ini lemah pada daya apresiasi pada diri sendiri. Kemampuan kita mengapresiasi orang lain seharusnya tidak seobjektif apresiasi pada diri sendiri, atau dengan kata lain, kita baru bisa mengapresiasi orang dengan objektif bila kita sudah bisa berbuat demikian pada diri sendiri.

Lemahnya penghargaan pada diri sendiri yang kronis bisa berwujud menyalahkan diri sendiri atas segala sesuatu yang (sebenarnya) berada di luar jangkauan, memandang orang lain sebagai sumber permasalahan dan membiarkan keadaan yang dapat menurunkan harga diri. Perasaan ini membatasi kita untuk berkembang, meremehkan diri sendiri, dan menganggap orang lainlah yang menghancurkan hidup Anda. Tidak menghargai diri sendiri membuat Anda tidak mau memikul tanggung-jawab dan mengambil tindakan.

6. Kecemasan
Stress dalam porsi yang wajar dan normal berperan penting dalam produktivitas manusia. Akan tetapi, stress yang akumulatif, bereskalasi, dan tidak diatasi, bisa berubah menjadi kecemasan. Kecemasan bisa jadi datang tanpa pemicu, dan hal yang dicemaskan pun tidak jelas. Kecemasan merupakan pangkal ketidak produktifan manusia.

Emosi yang ini sangat melemahkan. Membuat Anda jauh dari kedamaian dan ketenangan. Perasaan ini tidak membebaskan Anda menjadi diri sendiri. Pikiran yang terbelenggu kecemasan dapat menghalangi pikiran rasional untuk bertindak secara efektif. Orang yang cemas bahkan lupa hal sederhana, seperti nomor telepon sendiri.

7. Depresi
Depresi juga merupakan suatu bentuk akumulasi stress, dan biasanya terpicu oleh sebuah kondisi yang spesifik seperti dukacita, hambatan yang seolah-olah tidak pernah berhenti, atau gelombang cobaan yang bertubi-tubi. Orang yang memahami bahwa dirinya sedang mengalami depresi (dengan mengenali gejala-gejalanya) akan berusaha untuk mengatasinya, dan meletakkan kehidupannya di jalur yang seharusnya. Dunia adalah permainan, dan ada masa manusia mengembalikan segala kesulitan pada sang pemilik kehidupan. Bisa jadi, manusia justru lebih produktif setelah tenggelam dalam lautan penderitaan.

8. Kemarahan
Sebuah emosi negatif yang akrab pada hampir semua orang adalah kemarahan. Kemarahan terjadi kala harapan tidak bertemu dengan realitas, dan frustrasi yang timbul tidak tersalur dengan benar, hingga mengakibatkan ledakan. Kemarahan sebagai ujung emosi yang tidak terkendali, pada umumnya bersifat destruktif. Oleh karenanya, manusia perlu mengenali akar sebab sebuah kemarahan dan mengendalikannya bila muncul. Sebuah kemarahan yang terkendali bisa menjadi dasar konstruktif perbuatan seseorang, karena bentuknya bukan pelampiasan melainkan penyaluran.

9. Kejengkelan
Hati-hati dengan situasi emosi yang satu ini, karena letaknya yang berada di “perbatasan”. Jengkel atau kesal bisa mengindikasikan banyak hal, seperti kemarahan, kebencian, perasaan tidak aman, dan berbagai hal lain, yang semuanya bersifat destruktif. Oleh karena itu, bila perasaan ini timbul kenali sebabnya, atasi, dan bentuk perubahan yang bersifat konstruktif ke masa depan.

10. Rasa Bersalah
Manusia yang normal selalu memiliki rasa bersalah, dengan takaran yang wajar. Rasa bersalah muncul setiap kali ia melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh norma sosial dan agama. Hal yang positif dari rasa bersalah adalah memicu kesadaran untuk mengubah apa yang kita perbuat atau katakan. Selebihnya, rasa bersalah merupakan perasaan yang tidak bermanfaat. Perasaan bersalah menghalangi kita untuk mencoba sesuatu yang baru dan memungkinkan kita dimanfaatkan oleh orang lain dengan perasaan bersalah yang kita miliki, untuk mencapai tujuannya.

11. Rasa Malu
Rasa malu digariskan oleh Tuhan untuk dimiliki oleh manusia, dalam takaran yang wajar. Secara konstruktif, malu adalah pengendali manusia agar tetap berjalan sesuai dengan norma sosial dan agama. Malu bersifat personal, dan orang lain tidak mudah meniliknya.

Namun demikian, rasa malu yang berlebihan justru menjadikan orang tidak kreatif, rendah diri, bahkan merasa tidak berharga.

12. Penyesalan
Penyesalan adalah buah perilaku yang seharusnya bisa dihindari, namun terlanjur dilakukan. Padahal masa lalu adalah tempat terjauh yang mustahil untuk didatangi. Akibatnya, ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, penyesalan muncul sebagai buah masa lalu.

Penyesalan yang sesuai dengan takaran, dan dijadikan cambuk pengingat, bisa konstruktif. Namun demikian, penyesalan yang berlarut-larut akan destruktif pada hal yang bisa dilakukan di masa depan. Cara terbaik untuk menyikapi penyesalan adalah dengan memusatkan perhatian pada apa yang dapat Anda lakukan. Kuncinya adalah merelakan semuanya. Kemudian mencari kesempatan yang baru di masa mendatang.


 by : Dr. Patricia Patton (Emotional Quotient)


Sumber : https://www.facebook.com/notes/476718016391/
Abby