Bukit Moko: dekat, tapi jauh, tapi dekat!
Luar biasa!
Kok bisa ya selama ini tidak menulis?
Sekitar 3 bulan sudah, berlalu, dari terakhir menggoreskan
garis-garis hitam di layar pembaca melalui blog ini. Untung beberapa
hari yang lalu secara tidak sengaja membuka blog ini lagi dan langsung
diingatkan akan betapa menyenangkannya menulis dan berbagi pengalaman,
apalagi memang ada banyak sekali yang ingin dibagikan.
Oke, langsung saja, selamat menikmati.
Yap, sesuai dengan
post terakhir di
rangkaian cerita KBR,
perjalanan Tempe, Koya, dan Mihe belum dan tidak pernah berakhir. Nah,
sekarang permasalahannya tentu saja: waktu. Berhubung Tempe, Koya, dan
Mihe mulai harus mengadu nasib demi sesuap nasi di jalurnya
masing-masing, untuk melanjutkan perjalanan ini akhirnya harus curi-curi
waktu di akhir pekan. Dan lagi, dengan waktu yang sempit, mereka harus
realistis dalam menentukan tujuan berkeliling. Tapi tentu saja, tujuan
keliling, manapun, tetap harus didasarkan pada
request alias permintaan.
Dan uniknya, Koya dan Mihe kompak meminta untuk mengunjungi
Bukit Moko, sementara Tempe belum pernah dengar
Apaan dan dimana tuh bukit?
Didukung perasaan tidak mau kalah, Tempe langsung melakukan riset
mengenai si Bukit yang ingin disambangi oleh Mihe dan Koya. Telisik
punya telisik, ternyata letaknya berada di Kota Bandung. Bayangan awal
dari Tempe, mungkin Bukit ini semacam Bogor-nya Jakarta, jadi perlu
perjalanan 1-2 jam kesana dari Bandung.
Eh, ternyata, letaknya dekat sekali dengan Kota Bandung!
Oh ya, ada hal yang menarik sewaktu Tempe mencari-cari info mengenai “puncak tertinggi Kota Bandung” ini.
Tentu saja, senjata yang digunakan untuk mencari info adalah alat
paling mutakhir abad ini: Mbah Google. Menariknya, dari berbagai sumber
yang ditawarkan, 2 sumber merupakan blog yang pemiliknya familiar dengan
Tempe, dan disarankan sih coba tengok juga kalau ingin tahu info
tentang Bukit Moko:
Link pertama ini bagus dibaca terutama oleh yang belum pernah dengar tentang Bukit Moko. Ada gambaran umum yang
cukup untuk mengetahui,
apa sih bagusnya destinasi melancong satu ini?
Nah, kalau sudah punya gambaran kira-kira
kayak apa sih Moko, apa tuh
Warung Daweung, terus jadi penasaran bagaimana akses kesana,
link kedua
ini bakal sangat membantu! Coba diperhatikan terutama bagian peta yang
udah ditandain dengan oke punya. Kenapa bisa bilang oke punya? Ya
iyalah, dengan bersandar pada peta tersebut, Tempe, Koya, dan Mihe bisa
mencapai Bukit Moko dengan senyum lebar, walau agak
ngos-ngosan sih…
eits pelan-pelan nanti juga diceritain.
Berhubung peta dan gambaran umum sudah didapatkan, mungkin kalian bertanya, lalu bedanya
post ini apaan donk?
Nah, pertanyaan besar dari Tempe ada 2 sebetulnya:
1.
Kenapa semua orang yang bercerita tentang Bukit Moko sebagian besar adalah penikmat sunset? Kenapa tidak ada cerita yang menunjukkan Bukit Moko ketika
sunrise? Apa mungkin lokasinya ditutup? Bisa berabe donk udah kesana terus ditutup?
2.
Kalau memang waktu sunrise pun bisa dikunjungi,
kenapa ga ada yang bercerita tentang akses ke Bukit Moko menggunakan
mobil pribadi? Kayaknya semua kesana pakai motor?
Jawaban yang dibutuhkan sangat penting sekali untuk kelangsungan
kehidupan Tempe, Koya, dan Mihe, karena dari awal sudah ditentukan bahwa
kunjungan ke Bukit Moko akan
sebelum matahari terbit dan menggunakan
mobil pribadi. Kok bersikeras
sunrise sih? Simpel kok: mereka bertiga ketagihan menikmati
sunrise setelah dipukau oleh keindahan Pantai Marina di Semarang!
Oh ya, pada kunjungan ini pun penanggung jawab untuk menunjukkan
jalan tetap Mihe, yang paling bisa diandalkan. Tempe dan Koya tugasnya
2: memastikan Mihe bahagia dan nurut sama Mihe aja.
Jadilah pada 6 Desember 2013 malam, Tempe yang baru pulang dari
tempatnya mengais rejeki harus menggenjot mobilnya menuju Bandung untuk
bertemu dengan Mihe dan Koya. Tetapi karena terlampau bersemangat, Tempe
datang terlalu cepat, sekitar jam 12 malam sudah sampai di tempat
tinggal Mihe.
Kalau jam segini langsung menuju Bukit Moko,
bisa keburu ngantuk atau malah mati kedinginan nanti, pikir Tempe.
Ini orang ngapain sih baru jam segini udah ngerusuh aja di kosan gua, pikir Mihe.
Tidur dulu ahh, pikir Koya, seperti biasa tidak menghiraukan
kedua temannya yang lain, langsung lelap ketika diputuskan bahwa mereka
bertiga akan berangkat pada jam 3 pagi.
Yahh, pada akhirnya, Tempe dan Mihe pun memutuskan untuk beristirahat
sejenak juga daripada nanti mengantuk ketika sang fajar mulai
menampakkan dirinya?
—
Di Indonesia, paling tidak ada 3 hal yang semua insan bangsa tahu sangat sulit untuk dilakukan:
- Membersihkan segala bentuk korupsi,
- Menyaksikan timnas Indonesia berlaga di ajang Piala Dunia, dan
- Membangunkan Koya yang terlanjur tertidur!
Rencana untuk berangkat jam 3 pun agak tertunda sampai jam setengah
4, karena Tempe dan Mihe harus menyeret Koya ke dalam mobil. Walau hujan
rintik-rintik sempat membuat khawatir, akhirnya mereka bertiga
berangkat menuju Bukit Moko dari Ciumbuleuit.
Perjalanan ke Bukit Moko sangat familiar buat mereka bertiga, karena
lokasinya pun dekat sekali dari terminal Caheum. Nah, buat pembaca yang
penasaran apakah bisa membawa mobil pribadi untuk menuju ke Bukit Moko,
jawabannya adalah
sangat bisa. Jalanan beraspal akan menemani dengan setia, namun hanya sampai
spot Cicayur,
spot berhenti yang aman di antara rumah makan kecil. Sebenarnya sih
menikmati udara malam dan pemandangan juga sudah bisa disini, tapi…
kurang greget kalau ga di puncaknya!

Salah satu sudut jalan ke Moko, hanya cukup untuk 1 mobil. Diambil di salah satu bagian jalan yang beraspal.
Sisanya? Tanah. Apalagi saat itu baru saja diguyur hujan. Berhubung
mobil yang dibawa ukurannya tidak kecil, mereka bertiga memutuskan untuk
memarkirkan kendaraannya di salah satu warung di Cicayur. Kalian tidak
mungkin melewatkan warung-warung ini kok, karena jam 4 pagi pun masih
terang benderang!
Buat yang masih penasaran, separah apa sih jalannya setelah spot ini?
Jalannya itu cuma cukup 1 mobil, dan dihiasi beberapa tikungan tajam.
Lah kalau berpapasan gimana? Ya terpaksa keluar dari mobil dan
selesaikan secara jantan: suit, boleh suit indonesia atau suit jepang,
siapa yang kalah silakan mundur sampai mobil si pemenang bisa lewat.
Tidak semuanya tanah kok, ada juga yang beraspal, tapi sangat sempit,
berkelok-kelok, dan naik turun seperti goyang penyanyi dangdut.
tips: kalau ingin bawa mobil sampai ke
Warung Daweung-nya itu bisa aja kok, di warungnya pun ada lahan parkir
yang luas untuk mobil. Tapi pastikan mobilnya sanggup melewati medan
yang menyiksa. Waktu mereka bertiga kesana, ada 3 mobil pribadi yang
berhenti di dekat Warung Daweung. 1 berhasil mencapai warungnya
(avanza), 1 harus ditinggalkan di tengah jalan karena ban-nya
terperosok (kijang) sementara pengemudinya memutuskan untuk mendiamkan
mobil itu disana sampai kondisi tanah mengering, dan 1 diparkir sebelum
tanjakan tajam berbatu yang licin. Pilihan anda.
Setelah mereka bertiga memutuskan untuk parkir di salah satu warung,
sekitar jam 4 pagi, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan mengandalkan
sepasang kaki masing-masing. Tapi itu
sangat tidak cukup! Ada 1 hal yang jangan sampai dilupakan kalau ingin berjalan kaki menyusuri Cicayur-Warung Daweung:
Senter!
Kondisi jalanannya gelap sekali, sama sekali tidak ada penerangan di
beberapa titik. Berhubung mereka bertiga tidak ada yang membawa senter,
akhirnya Mihe mengambil inisiatif untuk menggunakan lampu blitz kamera
HPnya yang sangat mutakhir. Gimana ga mutakhir, kadang-kadang bisa mati
sendiri, tiba-tiba bisa ambil foto sendiri, dan paling parah suka
kedap-kedip sendiri. Jadilah Tempe dan Koya sepanjang jalan terhibur
oleh usaha Mihe yang mengutak-atik “senter”nya itu.
Perjalanan dari Cicayur sampai Warung Daweung ini terlihat dekat kalau di peta, tapi ternyata jauh juga,
loh!
Kira-kira setelah 15 menit, pohon caringin yang terkenal baru terlihat,
dan seluruh perjalanan mencapai ke Warung Daweung menghabiskan waktu
tidak kurang dari 45 menit. Tapi mereka sama sekali tidak menyesal,
menikmati dinginnya kota Bandung ditemani pemandangan yang sesekali
memanjakan mata di kiri-kanan jalan, lelah dan ngantuk pun akan
menghilang dengan sendirinya!
(kecuali Koya yang sepanjang jalan
terus mengeluh ngantuk-ngantuk, tapi Mihe dan Tempe sudah kebal dan
keluhan Koya berhembus semilir bersama udara dingin kala itu)
Selama perjalanan, beberapa kali juga mereka mengalami fatamorgana,
seolah di ujung jalan terlihat puncak bukit dengan sebuah warung, namun
begitu sampai diujung, semua itu hanya khayalan semata.
Yah, sesekali menjadi penyemangat perjalanan yang jauh ini.
Jalanannya tidak membingungkan, seolah semua jalan disana memang
menuju Warung Daweung. Dan ketika teman-teman melihat jalan berbatu yang
sangat curam, tersenyumlah sejenak, niscaya di dekat situ telah
menunggu pemandangan yang tidak akan kalian lupakan seumur hidup.

Jalan berbatu, licin, dan curam. (Gambar diambil dari Warung Daweung)
Sekitar jam 5 pagi, mereka bertiga akhirnya bisa mengistirahatkan
kaki di sebuah warung yang sangat sederhana. Yap, Warung Daweung ini
memang sebuah rumah yang disulap menjadi tempat bersinggah di Bukit
Moko. Menu yang disediakan ya seadanya, roti bakar, pisang goreng,
indomi, dan berbagai minuman hangat. Baru sempat duduk sebentar di dalam
sambil menyiapkan kamera yang kesulitan mendapatkan gambar di tengah
kegelapan yang mendera, tiba-tiba fajar mulai menyingsing di balik
jendela. Waktunya mereka bertiga keluar!
Ditemani pisang, indomi, dan kopi panas, mereka bertiga tak berhenti terkagum-kagum sambil sesekali jepret sana jepret sini.
Simply breathtaking.

Saat fajar masih malu-malu menampakkan diri
Keunikan lain adalah kedatangan mereka yang bertepatan dengan musim hujan, sehingga,
memang sih
pemandangan Kota Bandung sebagian besar ditutupi awan yang menggulung,
begitu juga dengan matahari yang kehadirannya tertutup di balik awan.
Tak apalah, justru menjadi taman bermain mata juga! Apalagi dengan latar
belakang perbukitan di seberang,
alamak… tak sanggup mata ini menahan pesonanya.

Gulungan Awan di Bukit Moko
Setelah lebih kurang menghabiskan 2 jam
memanjakan mata, mereka bertiga memutuskan untuk kembali dan mengucapkan
sampai jumpa untuk saat ini kepada Warung Daweung. Mereka kira
perjalanan menapaki jalanan menanjak sudah cukup sulit, ternyata oh
ternyata, di tengah jalanan berbatu yang begitu licin dan curam,
kira-kira 15 menit mereka habiskan untuk berjalan sangat perlahan,
karena terus menerus terpeleset dan hampir jatuh. Hebatnya, anak-anak
kecil justru berlarian di jalan yang sama, bermain satu sama lain,
seolah menyindir 3 orang yang mengaku sudah besar tapi jalan aja masih
sering kepeleset. sigh.
Nah, ada sebuah cerita terakhir sekaligus menutup post tentang
Bukit Moko ini. Cerita ini tidak bisa dibilang sebagai pengalaman yang
menyenangkan. Saat mereka bertiga sampai di mobil, ternyata mobil mereka
tertutup oleh mobil lain yang parkir paralel dan membuat mobil yang
mereka tumpangi tidak bisa keluar. Dalam keadaan sangat kebingungan,
seorang pemuda menghampiri dan bertanya, habis darimana?
Kebingungan, Tempe mewakili dan menjawab, dari atas A’.
Pemuda tersebut menampilkan gelagat yang
tidak menyenangkan, kemudian mengundang mereka untuk masuk terlebih
dahulu ke dalam warung tempat mereka memarkirkan kendaraan. Ternyata,
pemilik warung tersebut semalaman panik karena ada mobil di warungnya
tetapi tidak ada orang sama sekali disana. Jadilah beliau menjaga mobil
tersebut, takutnya bagian mobil bisa jadi ada yang diambil penduduk
sekitar. Dengan sedikit marah, beliau mengatakan bahwa lain kali harus
memberikan laporan bahwa menitipkan mobil, sekaligus juga kuncinya
supaya jika ada perlu untuk memindahkan mobil, bisa diwakili oleh
beliau.
Kami memang orang desa, tidak terpelajar, tapi lain kali tolong hargai kami.
Kata beliau. Seketika itu juga Tempe mewakili Mihe dan Koya langsung
meminta maaf kepada Bapak penjaga warung tersebut. Tidak ada maksud sama
sekali untuk tidak menghargai. Hanya kelalaian saja lupa bahwa tempat
parkir tersebut memang sangat terbuka dan rawan sekali jika tidak
dijaga.
Bagaimanapun, pelajaran berharga untuk mereka bertiga, dan siapapun yang membaca post ini. Jangan lupa jika menitipkan mobil disana, sepatah dua patah kata dulu dengan pemilik warungnya.
Terima kasih Bukit Moko atas pemandangan dan pembelajarannya!

Sampai jumpa lagi dan tetaplah seindah ini.