TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemasaran
obat resep
dokter atau
obat ethical, tercemar praktik suap dari perusahaan farmasi ke
dokter, selaku penulis resep.
Beberapa mantan staf pemasaran
obat ethical, biasa disebut medical representative atau medrep, secara terang-terangan membuka sisi gelap bisnis
obat resep
dokter.
Ketika bertemu Warta Kota, para mantan medrep itu mengatakan bahwa mayoritas
dokter dan rumah sakit, secara sadar menerima tawaran menjadi perpanjangan tangan perusahaan farmasi.
Untuk itu, mereka menerima imbalan yang nilainya sekitar 25 persen dari harga
obat.
Selama belasan tahun menjadi medrep, John-bukan nama
sebenarnya-mengaku sangat mengetahui praktik suap itu. "Istilahnya KS,
singkatan dari kerja sama," ujarnya.
Selain pendekatan ke para
dokter,
medrep juga melakukan pendekatan ke rumah-rumah sakit, khususnya
instalasi far-masi di masing-masing rumah sakit. Komisi untuk rumah
sakit diserahkan kepada manajemen.
"Apakah itu dibagi di antara pimpinan rumah sakit atau dianggap
sebagai keuntungan rumah sakit, saya tidak tahu," ujarnya di Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Komisi kepada
dokter ataupun rumah sakit sama-sama dibayar di depan. "Seperti ijon," katanya.
KS tidak pernah dituangkan dalam perjanjian hitam di atas putih. Namun kedua pihak wajib mentaati isinya. Kalau ada
dokter yang hanya mau terima komisi tapi tak mau meresepkan
obat pesanan perusahaan farmasi, maka
dokter tersebut akan masuk daftar hitam atau di-black list.
John juga mengungkapkan, bagian yang diterima rumah sakit bisa lebih dari 25 persen.
"Saya pernah melakukan kerja sama dengan sebuah rumah sakit, komisi
yang diberikan ke rumah sakit itu sekitar Rp 8 miliar," katanya.
John menyebut sebuah nama rumah sakit terkenal di barat Jakarta, persisnya di wilayah Tangerang.
Komisi itu adalah 51 persen dari nilai pembelian
obat.
"Awalnya, kami menawarkan komisi 50 persen. Namun kompetitor bersedia
memberi 50,5 persen. Kami kemudian meningkatkan komisi menjadi 51
persen," katanya.
Makna dibalik komisi Rp 8 miliar, pihak rumah sakit harus belanja
obat senilai sekitar Rp 16 miliar. John memerkirakan, rumah sakit itu bakal menyelesaikan kewajiban belanja
obat selama setahun.
Perkiraan John meleset. Sebelum genap setahun, belanja
obat rumah sakit itu sudah mendekati Rp 16 miliar.
"Kami segera memperbarui KS, jangan sampai diserobot pesaing," katanya. Menurut John, ketika
dokter atau rumah sakit sudah berada di genggaman perusahaan farmasi, yang terjadi adalah resep yang "dipaksakan".
"Misalnya, seorang pasien berusia dewasa diberi antibiotik cair," katanya. Padahal, menurut dia, antibiotik cair adalah
obat untuk anak-anak. Sedangkan pasien dewasa mestinya diberi
obat berbentuk tablet.
Sejumlah mantan medrep mengatakan, mayoritas
dokter meminta komisi dalam bentuk uang. Sebagian kecil
dokter minta barang ataupun tiket jalan-jalan ke luar negeri.
Menurut John, kelompok paling kecil adalah
dokter yang minta dibawa pelesir ke tempat hiburan malam. John mengaku pernah membawa sembilan
dokter pelesir ke Hotel "A", sebuah tempat hiburan malam di Jakarta Utara.
Sebanyak tujuh
dokter memilih cewek warna negara asing sebagai teman kencan sedangkan sisanya memilih cewek lokal.
Seorang teman John, juga mantan medrep, mengaku pernah bertemu
dokter
yang minta dicarikan cowok. "Dokternya laki dan minta dicarikan cowok,"
sungutnya. Ia mengaku dua kali menghadapi situasi seperti itu.
Aturan tak tertulis, apapun permintaan si
dokter, sebisa mungkin dikabulkan. Jadi, jika si
dokter meminta ini itu, medrep hanya perlu melapor ke atasannya.
John memberi ilustrasi, di salah satu perusahaan farmasi, persetujuan pemberian uang kepada
dokter dilakukan sampai tujuh tingkat. Mulai dari supervisor, manajer, area manager, dan seterusya.
Persetujuan berjenjang ini menunjukkan bahwa suap kepada
dokter merupakan kebijakan suatu perusahaan farmasi.
"Teknik-teknik menyuap
dokter juga diajarkan di pelatihan yang saya dapat di awal berkarier sebagai medrep," kata John
.
Sumber :
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/24/mantan-medrep-ungkap-permainan-resep-dan-komisi-untuk-para-dokter
-o0o-
Pengakuan Mantan Medrep: Banyak Apoteker Tertawa Melihat Resep si Dokter
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Ketika
dokter sudah berada di genggaman perusahaan farmasi, yang terjadi adalah kekonyolan. Pasien akan menerima
resep "tak masuk akal".
Namun, pasien tak berdaya karena ketidaktahuannya. Kerja sama atau KS antara perusahaan
obat dan
dokter
itu seperti ijon. Dokter menerima uang atau hadiah di depan yang harus
dikembalikan hingga empat kali lipatnya. Pengembalian dilakukan lewat
kewenangan
dokter dalam menulis
resep.
Apabila seorang
dokter telah diberi uang Rp 200 juta oleh sebuah perusahaan farmasi, maka ia harus me
resepkan
obat dari perusahaan farmasi itu senilai Rp 800 juta.
Jangka waktunya tidak terbatas, bisa dua bulan, tiga bulan, enam bulan, ataupun setahun.
Saat seorang
dokter menjalin kerja sama dengan perusahaan farmasi yang diwakili oleh medical representative atau medrep,
dokter itu akan diawasi. Medrep mengunci apotik-apotik rujukan sang
dokter sehingga perusahaan
obat bisa memantau progres kerja sama.
Menurut seorang mantan medrep, pola kerja sama perusahaan farmasi dan
dokter ataupun rumah sakit, sudah berlangsung lama di semua daerah di Indonesia.
Mantan medrep tersebut menceritakan, sekitar tahun 2008, ia menjalin kerja sama dengan seorang
dokter spesilasi paru-paru di sebuah rumah sakit pemerintah di pinggiran Jakarta.
Kesepakatan kerja sama yang disampaikan secara lisan, tanpa perjanjian tertulis, itu menyatakan bahwa si
dokter akan me
resepkan antibiotik cair buatan perusahaan farmasi tertentu.
Si
dokter kemudian menerima uang Rp 20 juta untuk biaya berlibur ke Bali bersama keluarganya. Sepulang dari Bali, si
dokter jadi rajin me
resepkan antibiotik cair kepada pasiennya yang mayoritas adalah orang dewasa.
Dia ditarget me
resepkan antibiotik itu senilai Rp 100 juta. "Akhirnya, untuk pasien dewasa pun dia kasih
resep
antibiotik cair. Kan jadi konyol, pasien dewasa dikasih antibiotik
cair," ujar mantan medrep itu ketika ditemui di sebuah gerai fastfood di
Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten.
"Mestinya pasien dewasa diberi antibiotik tablet. Cuma gara-gara terima uang akhirnya muncul
resep tak masuk akal," tambahnya.
Dalam enam bulan
dokter itu sudah melunasi "kewajibannya" ke perusahaan farmasi. Tapi banyak apoteker tertawa melihat
resep si
dokter. "Antibiotik cair kan untuk anak-anak," katanya.
Beberapa medrep maupun mantan medrep yang menjadi narasumber yakin masyarakat banyak yang tak sadar soal ini.
"Banyak orang jadi resisten terhadap antibiotik golongan terendah gara-gara
dokter mengadakan kerja sama untuk me
resepkan antibiotik golongan yang lebih tinggi," kata salah satu medrep.
Seorang
medrep berkepala plontos mengaku, suatu ketika, anaknya demam dan ia
pun membawanya ke sebuah klinik di Jakarta Selatan. Dokter kemudian
memberi
resep antibiotik golongan dua.
Lantaran paham, medrep tersebut menolak
resep dokter.
"Saya minta amoxicilin saja. Amoxicilin kan termasuk antibiotik
golongan rendah. Saya tahu kalau demam biasa, pakai amoxicilin saja
cukup," ungkapnya.
"Tak perlu golongan dua yang seperti yang sempat di
resepkan
dokter. Kasihan anak saya, nanti jadi resisten. Lagipula antibiotik golongan dua itu jauh lebih mahal," katanya lagi.
Pria berkepala plontos itu pun buka kartu bahwa dia berprofesi sebagai medrep. "Dokter itu kemudian mengganti
resepnya," katanya.
Dalam pembicaraan singkat tersebut, si
dokter mengaku punya kerja sama dengan sebuah perusahaan
obat yang memproduksi antibiotik golongan dua.
Pilihan
amoxicilin untuk mengatasi demam si anak tidak keliru. "Ternyata benar,
dalam dua hari, anak saya sembuh," imbuh medrep tersebut.
Mengaku sebagai "orang farmasi" memang jadi password bagi para medrep untuk tidak menjadi korban
resep tidak masuk akal.
"Kalau ada keluarga yang sakit ataupun opname, sejak awal saya katakan kepada
dokternya, 'dok... saya orang farmasi lho'. Kalau sudah gitu, pasien gak akan diberi
resep yang aneh-aneh," ujar seorang mantan medrep.
Sumber :
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/24/pengakuan-mantan-medrep-banyak-apoteker-tertawa-melihat-resep-si-dokter