Tuesday, December 27, 2011

MENGUBAH DIRI SENDIRI

Semua orang mendambakan keberhasilan, bisa meraih kesuksesan dan kewibawaan, berharap mendapatkan pengakuan dan respek dari orang lain, serta mendapatkan pekerjaan yang mereka senangi. Daripada hanya hati yang tergerak lebih baik bertindak, membangun kebahagiaan dalam hidup, memulainya dengan mengubah diri sendiri.

Contoh dari kecerdasan ini, ada seorang profesor psikologi menulis buku Lima Bagian Kultivasi Dalam Kehidupan, ia mengatakan pengertian psikologis ini sebagai suatu kejiwaan yang tertanam dalam hati manusia yang memastikan pandangan mereka terhadap dunia dan pandangan mereka terhadap dunia sekelilingnya yang diikuti dengan pengambilan suatu tindakan.

Pikiran memutuskan tindakan - keberhasilan atau kegagalan, kesengsaraan ataupun kegembiraan acapkali diawali dari pikiran sekilas.

Ada seorang ibu muda bernama Selma, dia mendampingi suaminya yang bertugas di pangkalan angkatan darat pada sebuah gurun pasir dekat Mexico. Suatu ketika suaminya mendapatkan perintah dari atasan untuk mengadakan latihan di tengah gurun pasir dalam jangka waktu lama. Selma ditinggal seorang diri dalam sebuah rumah kecil yang berada di pangkalan militer.

Di sana, ia bukan hanya tidak tahan dengan udara yang panas, namun juga merasa kesepian, tidak ada orang yang bisa menemaninya berbicara. Yang ada di daerah itu hanyalah penduduk lokal Mexico dan Indian. Mereka semua tidak bisa berbahasa Inggris.

Dia merasakan kesengsaraan yang luar biasa, maka dia menulis surat kepada orangtuanya serta menyatakan ingin kembali ke kampung halamannya. Balasan surat dari ayahnya hanya dua baris, tetapi kata-kata ayahnya tersebut telah mengubah total kehidupannya:

"Dua orang terpidana memandang keluar dari jendela tahanan, yang satu melihat tanah lapang, sedang yang satu lagi melihat bintang."

Selma membaca berulang-ulang surat ayahnya, dia merasa sangat malu pada diri sendiri, lalu memutuskan mencari bintang-bintang untuk dirinya di atas gurun pasir.

Dia mulai berteman dengan penduduk setempat, orang lokal sangat ramah terhadap dirinya. Dia menyatakan sangat tertarik terhadap aneka kerajinan tekstil dan keramik produksi setempat. Penduduk lokal itu memberikan kerajinan tekstil dan keramik kepadanya yang enggan mereka jual kepada turis.

Selma juga mengadakan penelitian terhadap kaktus dan berbagai macam tumbuhan gurun pasir yang menawan hatinya, serta mempelajari pengetahuan tentang marmot. Dia mengamati terbit dan terbenamnya matahari, dia juga mencari kulit kerang laut. Semua ini merupakan peninggalan gurun pasir beberapa ribu tahun lalu yang masih berupa lautan.

Gurun pasir itu tidak berubah, penduduk Indian di sana juga tidak berubah, yang berubah hanyalah sikap dan pikiran Selma. Perbedaan sekilas pikiran ini telah mengubah Selma menjadi orang yang berbeda, kehidupan sengsara yang semula dia rasakan telah berubah menjadi petualangan yang paling berarti selama hidupnya. Dia menjadi sangat girang dengan penemuan-penemuan barunya.

Dua tahun kemudian, buku karangan Selma berjudul Kastil yang Menggembirakan, telah diterbitkan. Dia memandang keluar dari jendela tahanan dan akhirnya yang terlihat olehnya adalah bintang.

Mengapa lebih banyak orang yang gagal dalam kehidupan ini? Permasalahannya terletak pada cara kita berpikir dan menyelesaikan persoalan.

Ada orang yang bertanya kepada tiga tukang bangunan, "Apa yang sedang Anda lakukan?"

Yang pertama berkata, "Saya sedang memasang batu bata."

Yang kedua berkata, "Saya sedang mencari upah sejumlah 50 dollar."

Yang ketiga berkata, "Saya sedang membangun sebuah gedung untuk masyarakat ini!"

Dengan sikap hati yang berbeda, pengalaman hidup dan hasil yang timbul sama sekali berbeda.

Model kecerdasan kita berpikir bisa mempengaruhi kita bagaimana menanggapi sesuatu hal atau benda, bisa mempengaruhi kita dalam memahami sesuatu.

Model kecerdasan berpikir yang baik, sikap penuh semangat terhadap kehidupan akan membantu kita untuk memerangi rasa rendah diri dan rasa ketakutan, bisa membantu kita menanggulangi sifat kemalasan, bisa menggali kemampuan terpendam kita, agar kita bisa bekerja dengan lebih efektif.

Ada impian baru bisa ada harapan, ada harapan baru bisa mencapai keberhasilan. Kita selamanya tidak seharusnya menertawai siapapun, juga tidak seharusnya memandang ringan kepada siapapun. Kita harus belajar menggunakan sinar pandangan kagum untuk memperlakukan orang lain, kita harus belajar menggunakan perasaan bersyukur untuk menghayati kehidupan nyata, menggunakan pemikiran yang cerah untuk membuat suatu perencanaan hidup. (The Epoch Times/lin)


Sumber : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17246.0
Love a fool

or

Let a fool Love You.

But

never let Love fool You.

or

never fool the one You Love. :-)

Accept & Change

Life runs on two simple golden rules :
"Accept" & "Change" 
"Accept the thing that you cannot change" 
and 
"Change the things you cannot accept"

Kodok dan Ikan

Ini sebuah kisah Zen.




Alkisahnya, ada seekor kodok yang baru saja pergi dari berjalan-jalan di daratan. Ketika kembali berenang di kolam, dia bertemu dengan seekor ikan mas yang telah mengenalnya. “Halo Tuan Kodok, Anda dari mana saja?”, “Oh, saya baru saja datang dari berjalan-jalan di daratan”,jawab Sang Kodok. “Daratan? Apa itu daratan? Saya belum pernah mendengar ada tempat yang bernama daratan”. “Daratan ialah tempat di mana Anda dapat berjalan-jalan diatasnya”, Sang Kodok mencoba menerangkan tentang daratan pada Si Ikan Mas. “Oh ya, dapat berjalan-jalan diatasnya? Saya tidak percaya bahwa Anda baru saja dari daratan. Menurut saya, tidak ada tempat yang disebut daratan”, Si Ikan Mas membantah dengan sengit. “Baiklah jika Anda tidak percaya, yang pasti saya tadi memang datang dari daratan”, balas Sang Kodok dengan sabar.

“Tetapi, Tuan Kodok, coba katakan pada saya, apakah daratan itu dapat dibuat gelembung, jika saya bernafas didalamnya?” “Tidak”. “Apakah saya dapat menggerakkan sirip-sirip saya didalamnya?” “Tidak”. “Apakah tembus cahaya?” “Tidak”. “Apakah saya dapat bergerak mengikuti gelombang?” “Tidak, tentu saja”, jawab Sang Kodok dengan sabar. “Nah, Tuan Kodok, saya sudah menanyakan Anda tentang daratan, dan semua jawaban Anda adalah “Tidak”, dan itu berarti daratan itu tidak ada”, Si Ikan Mas menjawab dengan perasaan puas. “Baiklah, jika Anda berkesimpulan seperti itu. Yang jelas, saya tadi memang datang dari daratan dan daratan itu nyata adanya”,Sang Kodok menjawab sambil berlalu.

Si Ikan Mas, karena dia adalah seekor ikan yang hidupnya di air, maka dia tidak pernah mengetahui bahwa ada dunia lain selain dunia airnya. Karena dia hanya mengenal dunia air, maka semua pertanyaan ynag diajukan tentang daratan, tetap berkaitan dengan dunia air. Sebaliknya Sang Kodok, dia dapat hidup di dua dunia, dunia air dan daratan. Karenanya, Sang Kodok mengerti bahwa ada dunia lain selain dunia air tempat para ikan hidup. Dia mengerti sepenuhnya dunia air, dia juga mengerti sepenuhnya daratan, karena dia sudah mengalami pengalaman empiris di dua dunia itu.


MORAL :

Demikian pula dengan Buddha. Buddha mengerti sepenuhnya alam duniawi beserta segala fenomenanya dan Nibbana sebagai pembebasan dari segala fenomena. Karena Beliau telah mengalami pengalaman empiris kehidupan duniawi dan pencapaian Nibbana. Kita adalah si ikan mas yang keras kepala. Sepanjang kita belum pernah mengalami pencapaian Nibbana, seberapa hebatnya Buddha menerangi tentang Nibbana, kita tak kan mengerti. Bukan berarti Buddha gagal mencerahi kita. KEBODOHAN KITA SENDIRILAH yang menghalangi pencerahan yang mestinya terjadi.

Mutiara pencerahan itu ada dalam diri kita. Buddha telah menunjukkan jalannya. Kini yang perlu kita lakukan hanyalah meneguhkan hati untuk menjalani jalan yang telah ditunjukkan tersebut. Mengalami sendiri pencapaian Nibbana dan mengerti apakah Nibbana itu dengan sepenuhnya. Dan menjadi orang yang memenangi pertarungan yang sejati.
The person who cares lot for others.. is the one who needs more care than others. 
The person who makes other laugh & smile all time..is the one who holds lot of pain in heart. 
The person who tries to be a good friend to all...is the one who needs a best friend for own.
The person who always smiles & says I'm fine..is the one who is broken at heart but still strong enough to believe that at the end everything is going to be fine :)

TAKUT BERBICARA DI DEPAN UMUM (by : Ajahn Brahm)

Saya diberi tahu bahwa salah satu rasa takut paling besar yang dirasakan orang adalah berbicara di depan umum. Saya harus sering berbicara di depan umum, di vihara-vihara, di konferensi, di upacara pernikahan dan pemakaman, di radio, dan bahkan di siaran langsung televisi. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan saya.

Saya ingat pada suatu peristiwa, lima menit menjelang saya memberikan ceramah, ketika rasa takut membanjiri saya. Saya belum mempersiapkan apa pun untuk ceramah itu. Saya tak punya ide apa yang akan saya katakan. Sekitar tiga ratus orang sudah duduk di aula, berharap untuk dapat ilham. Mereka telah merelakan waktu malamnya untuk mendengarkan saya bicara. Saya mulai berpikir, "Bagaimana kalau saya tidak punya apa­-apa untuk diomongkan? Bagaimana kalau saya salah omong? Bagaimana kalau saya tampak bego?"

Seluruh rasa takut dimulai dengan pikiran "bagaimana kalau" dan berlanjut dengan sesuatu yang membawa bencana. Saya telah menduga-duga apa yang akan terjadi, dan dengan cara yang negatif. Saya telah berlaku bodoh. Saya tahu saya telah berlaku bodoh; saya tahu semua teori, tetapi itu tidak jalan. Rasa takut terus bergulir. Saya berada dalam masalah.

Pada saat itulah saya mengerahkan sebuah trik, yang dalam istilah para bhikkhu disebut "cara-cara lihai", yang dapat mengatasi rasa takut saya, dan terbukti ampuh sampai sekarang. Saya memutuskan masa bodoh pendengar saya menikmati ceramah saya atau tidak, asalkan saya sendiri menikmatinya. Saya memutuskan untuk bersenang-senang saja.

Sekarang, kapan saja saya memberikan ceramah, saya bersenang-senang saja. Saya bergembira-ria. Saya membawakan cerita-cerita lucu, sering saya sendiri jadi korban, dan tertawa bersama hadirin. Pada suatu siaran langsung radio di Singapura, saya bercerita tentang ramalan Ajahn Chah mengenai mata uang masa depan (warga Singapura tertarik dengan hal-hal yang berbau ekonomi).

Ajahn Chah meramalkan kelak ketika dunia kehabisan kertas dan logam untuk membuat uang, orang-orang harus mencari sesuatu yang lain untuk transaksi sehari-hari. la meramalkan bahwa mereka akan memakai butiran-butiran yang terbuat dari tahi ayam. Orang akan bepergian ke mana-mana dengan kantong penuh tahi ayam. Bank-bank akan penuh dengan benda itu dan para perampok akan mencoba mencurinya. Orang-orang kaya akan merasa begitu bangga dengan banyaknya tahi ayam yang mereka miliki dan orang-orang miskin akan bermimpi memenangkan lotere berhadiah segunduk tahi ayam.

Ketika jumlah tahi ayam yang beredar cukup besar, pemerintah akan mencermati betul-betul situasi tahi ayam di negaranya, isu-isu lingkungan dan sosial akan dikesampingkan dahulu.

Apakah perbedaan hakiki antara kertas, logam, dan tahi ayam? Tidak ada!

Saya menikmati menuturkan cerita, itu. Cerita itu mengandung pernyataan memprihatinkan mengenai budaya kita saat ini. Dan itu menggelikan.Warga Singapura senang mendengarkannya.

Saya jadi mengerti bahwa jika Anda memutuskan untuk bersenang-senang ketika harus berbicara di depan umum, Anda akan merasa santai. Secara psikologis, mustahil ada rasa takut dan kegembiraan pada saat yang sama. Saat saya santai, gagasan-gagasan mengalir dengan bebas dalam benak saya selama berceramah, lalu dengan fasihnya meluncur melalui mulut saya. Lagi pula, hadirin jadi tidak bosan kalau ceramahnya lucu.

Seorang bhikshu Tibet suatu ketika menjelaskan pentingnya membuat hadirin tertawa pada saat ceramah.

"Begitu mereka membuka mulut," katanya, "Anda dapat melemparkan pil kebijaksanaan ke dalamnya."

Saya tak pernah mempersiapkan ceramah saya. Alih-alih, saya mempersiapkan hati dan pikiran saya. Para bhikkhu di Thailand terlatih untuk tidak mempersiapkan ceramahnya, tetapi untuk selalu siap berceramah kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Saat itu adalah Magha Puja, hari raya Buddhis terpenting kedua di Thailand timur laut. Saya sedang berada di vihara Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong, dengan sekitar dua ratus bhikkhu dan ribuan umat awam. Ajan Chah memang sangat terkenal; saat itu adalah tahun kelima saya sebagai bhikkhu.

Setelah kebaktian malam, tiba saatnya untuk ceramah utama. Dalam acara-acara besar, biasanya Ajahn Chah yang berceramah, tetapi tidak selatu.Terkadang ia akan menoleh ke barisan para bhikkhu dan, jika matanya berhenti pada Anda, berarti Anda dalam masalah. la akan meminta Anda memberikan ceramah. Sekalipun saya termasuk yang termuda di antara para bhikkhu, itu bukan jaminan bahwa saya tak akan dipilihnya, tak ada yang bisa menebak Ajahn Chah.

Ajahn Chah memandangi barisan para bhikkhu. Matanya tiba pada saya, tetapi lewat lagi. Diam-diam saya menghembuskan napas lega. Lalu sapuan matanya menelusur balik barisan para bhikkhu. Tebak, di mana ia berhenti?

"Brahm," Ajahn Chah memerintahkan, "ayo berikan ceramah utama."

Tak ada jalan keluar. Saya harus memberikan ceramah dadakan dalam bahasa Thai selama satu jam, di depan guru saya, rekan­-rekan bhikkhu, dan ribuan umat awam. Tidak masalah apakah itu akan menjadi ceramah yang bagus atau tidak. Masalahnya, sayalah yang harus melakukannya.

Ajahn Chah tak pernah mengatakan apakah ceramah Anda bagus atau tidak. Bukan itu intinya. Suatu ketika ia meminta seorang bhikkhu Barat yang sangat mahir untuk memberikan ceramah kepada umat awam yang berkumpul di viharanya untuk kebaktian mingguan. Setelah satu jam, sang bhikkhu bermaksud untuk mengakhiri ceramahnya, tetapi Ajahn Chah mencegahnya dan menyuruh dia melanjutkan selama satu jam lagi. Itu berat. Sang bhikkhu masih mampu berceramah, dan setelah berjuang untuk jam keduanya dalam bahasa Thai, sang bhikkhu bermaksud menutup ceramahnya, tetapi seketika itu pula Ajahn Chah menyuruh dia untuk terus berceramah. Itu hal yang mustahil. Bhikkhu Barat biasanya tidak banyak tahu bahasa Thai. Anda hanya bisa mengulang-ulang. Para pendengar akan bosan. Tetapi tak ada pilihan lain. Pada akhir jam ketiga, sebagian besar hadirin sudah beranjak pergi, dan yang masih bertahan pun sibuk mengobrol dengan sesamanya. Bahkan para nyamuk dan cecak pun sudah pergi tidur. Pada akhir jam ketiga, Ajahn Chah menyuruhnya untuk berceramah sejam lagi! Sang bhikkhu Barat tetap patuh. Dia bercerita setelah pengalaman itu (ceramah itu berakhir juga setelah jam keempat), ketika Anda telah menyelami dalam-dalam respon hadirin, Anda tidak akan takut lagi berbicara di depan umum.

Begitulah kami dilatih oleh Ajahn Chah yang agung.


Sumber : buku Membuka Pintu Hati