Sunday, June 15, 2014

Cara Mengajar Terbaik


Hiduplah seorang guru yang bijaksana, guru tersebut memiliki beberapa
orang murid, salah satu di antara muridnya ada yang gagu. Suatu hari sang guru
 menyuruh muridnya yang gagu untuk turun gunung.

 Sang guru berkata, "Besok, turun gununglah dan sebarkanlah ajaran
Kebenaran yang telah kukabarkan kepada semua orang."

 Muridnya yang gagu itu merasa rendah diri dan segera menulis di atas kertas,
 "Maafkan saya Guru, bagaimana mungkin saya dapat menyebarkan ajaran Guru,
 saya ini kan gagu. Mengapa Guru tidak menyuruh murid lain saja yang tentu
 mampu membabarkan ajaran Guru dengan lebih baik?"

 Sang Guru tersenyum dan meminta muridnya merasakan sebiji anggur yang
 diberikan olehnya. "Anggur ini manis sekali," tulis muridnya.

 Sang Guru kembali memberikan sebiji anggur yang lain. "Anggur ini masam
 sekali," tulis muridnya.

 Kemudian Gurunya melakukan hal yang sama pada seekor burung beo. Biarpun
 diberi anggur yang manis maupun masam beo itu tetap saja mengoceh,
 "Masam...masam..."

 Sang Guru menjelaskan pada muridnya, "Kebenaran bukanlah untuk dihafal,
 bukan pula cuma untuk dipelajari, tapi yang terutama adalah untuk
 dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Cacat tubuh yang kita miliki
 janganlah menjadi rintangan dalam mengembangkan batin kita. Kita jangan
 seperti sebuah sendok yang penuh dengan madu, tapi tidak pernah mengetahui
 manisnya madu itu. Kita jangan seperti beo yang pintar mengoceh, tapi
tidak mengerti apa yang diocehkannya. Engkau memang tidak mampu berbicara dengan
 baik, tapi bukankah engkau bisa menyebarkan Kebenaran dengan cara-cara
 lain, misalnya menulis buku? Dan yang lebih penting, bukankah perilaku kamu yang
 sesuai dengan Kebenaran akan menjadi panutan bagi yang lain?"




 Itulah cara mengajar yang terbaik:
 Teladankan Kebenaran dalam perilakumu, bukan cuma dalam omonganmu...

Kenapa harus marah ?




Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya:

"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab: "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."

"Tapi..." sang guru balik bertanya, "Lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka...... ..

Namun tak satupun jawaban yang memuaskan... ...

Sang guru lalu berkata;

"Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara kedua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan;

"Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas.Mengapa demikian?"

Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan.
Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan:

"Ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak..... Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu.
Mungkin di saat seperti itu, TAK mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang BIJAKSANA. Karena waktu akan membantumu.. ...."
"Flatter me, and I may not believe you. Criticize me, and I may not like you. Ignore me, and I may not forgive you. Encourage me, and I will not forget you."   [ William Arthur Ward ]

Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia









Bahan renungan utk memperkaya hidup kita.

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikitpun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.
Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, Ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran.
Ia suka main catur, membuat kaligrafi, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik! Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus-menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama. Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu..dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.

Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota .
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, Setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua. Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua ! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.


 Sat, 23 Jun 2007 22:57:12

View at Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, Bogor





~ pic taken by myself ~

View at Cibalung Happyland, Bogor





~ pic taken by myself ~

Pic at Warso Farm (Durian & Dragon Fruits Farm), Bogor










 Surabi durian




~ pic taken by myself ~

Diantara mega kuhamparkan harapan,
Walau kutau kecewa yg akan kudapat..
Diatas pasir kutuliskan rasaku,
Walau kutau ombak kan menghapusnya..
Diantara hujan kutumpahkan air mataku,
Agar tak berbekas air dipipi..
Didalam sapa kuberikan senyumku,
Agar kau tak tau hatiku yg merindu..

Dalam desah nafas satu satu..
Bahkan namamu tak ter-eja..
Karena bayanganmu gelap terkubur malam......

Sinar bulan tak cukup terang



Sumber : Tania Limanto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=254710404648511&set=a.232470546872497.49509.100003286597577&type=3&src=https%3A%2F%2Ffbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net%2Fhphotos-ak-frc3%2Ft1.0-9%2F562865_254710404648511_692158658_n.jpg&size=180%2C240 

Kau tau rasanya sayang??
Ketika jantungmu terasa sesak karena rindu membuncah..
Ketika tanganmu terentang memeluk bayangan..
Ketika yg kau lakukan hanya mengkhawatirkannya, menjaganya, dan memperhatikannya..
Ketika dalam puncak frustasimu kau berusaha membencinya..
Namun rasa sayang tak berkurang sedikitpun..
Dan malah bertambah menyakitkan..



Sumber : Tania Limanto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=236340629818822&set=a.232470546872497.49509.100003286597577&type=3&src=https%3A%2F%2Ffbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net%2Fhphotos-ak-xpa1%2Ft1.0-9%2F533312_236340629818822_2115456729_n.jpg&size=604%2C402

 

Cintaku tak akan merepotkanmu..
Tak akan mengganggumu..
Tak akan membebanimu..
Tak akan menyakitimu/..
Jadi...
Biarkan aku menyimpan cinta ini untukmu



Sumber :Tania Limanto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=236158889836996&set=a.232470546872497.49509.100003286597577&type=3&src=https%3A%2F%2Ffbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net%2Fhphotos-ak-xfa1%2Ft1.0-9%2F318008_236158889836996_593452074_n.jpg&size=360%2C640

 

Mungkin kau tak peduli dengan kisahku disini..
Walau kau ada didalamnya..
Tapi disinilah aku berada..
Disinilah aku hidup dan jatuh cinta padamu..
Disinilah aku merindukanmu..
Dan jika kau tak peduli pada kisah ini..
Tidak mengapa.
Karena kisah ini adalah kisahku,
Bukan kisahmu 



Sumber : Tania Limanto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=248416398611245&set=a.232470546872497.49509.100003286597577&type=3&src=https%3A%2F%2Ffbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net%2Fhphotos-ak-xfa1%2Ft1.0-9%2F396898_248416398611245_203829763_n.jpg&size=300%2C338
 

Bisakah kita jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah kita lihat?
Bisakah kita kehilangan sesuatu yang tidak pernah kita miliki??
Aku sudah pernah mengalaminya..
Bukan jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah kulihat, tetapi lebih tepat jika kukatakan:
Aku jatuh cinta pada seseorang, yang aku bahkan tidak peduli seperti apa tampangnya, seperti apa bentuk tubuhnya, seperti apa kehidupannya.
Apakah itu yang namanya cinta sejati??

Bukan.

Kau hanya bisa memiliki cinta itu karena kau tidak pernah berpikir untuk meletakkan hidupmu ke dalam hidupnya :))

Tapi apakah itu cinta??

Ya. Kukira itu cinta. Karena mampu membuat hatimu berbunga, dan kau percaya padanya..
Kau mempercayakan dirimu ke dalam tangannya.

Lalu, bisakah kau jatuh cinta pada seseorang yang tak pernah kau lihat??

Aku sudah pernah. Bagaimana denganmu??



Sumber : Tania Limanto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=591655534287328&set=a.104721009647452.4954.100003286597577&type=1&relevant_count=1