Pengantar : Cerpen buah karya dari Ibu Fitriana ini sungguh sangat
menginspirasi , pada awalnya saya membaca cerpen ini rasanya hanya
biasa2 saja tetapi pada akhir dari kisah ini saya sungguh merasakan
suatu gejolak perasaan yang sangat menggugah Semangat Persatuan, Inilah
suatu Contoh Nyata yang akan Sangat Bagus untuk diterapkan utk menjaga
Persatuan dan Kebhinekaan Bangsa kita ini.Ad 3.Cerpen “SATU RASA”
Oleh: Fitriana Utami Dewi
Cerpenis adalah alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unair Surabaya
Nama saya Dewi Andesa,
tapi
saya lebih suka dipanggil Dewa sebagaimana teman-teman pria, akrab
menyapa. Saya terlahir sebagai anak semata wayang, termasuk kategori
wanita tomboy yang suka pilih-pilih dalam berteman.
Setelah
lulus Sekolah Dasar (SD) Islam, sengaja saya memilih sekolah umum, ingin
membuktikan pendapat teman-teman yang kerap mengundang tanya
dibenakku, tentang orang-orang non Muslim yang sewenang-wenang, sombong,
dan sangat benci orang Muslim.
Selain itu, juga ada rumor
tentang keberadaan warga Tionghoa yang tak kalah hebohnya, mereka
adalah penjajah yang ingin menguasai Indonesia lewat kemampuan dagang.
Awalnya,
saya sempat terpengaruh. Kebetulan di komplek tempat tinggalku, ada
satu keluarga keturunan Tionghoa kaya. Selama di komplek, ia tidak
pernah menunjukkan sikap toleran dan bersahabat dengan tetangga. Jika
ada tetangga sakit juga tidak mau menjenguk. Saya tidak suka dengan
sikapnya seperti itu.
Walau kehidupan warga Tionghoa boleh dibilang masih bermasalah, beruntung mereka tidak diperlakukan tidak adil di komplek ini.
“Dewi… lagi berfikir tentang apa? Bisa ibu membantu masalah kamu?”, tiba-tiba Ibu menghampiri saya.
Saya pun bercerita tentang sikap tetangga Tionghoa yang menyebalkan itu. Tapi ibu hanya tersenyum.
“Masalah
keluarga Pak Johan, bisa saja mereka bersikap seperti itu tidak sesuai
dengan keinginannya. Sebenarnya mereka ingin bersosialisasi dengan para
tetangga, tapi takut. Kejadian biadab yang menimpa warga Tionghoa di
banyak daerah bila menimpa mereka. Jadi wajar kalau agak proteksi”, kata
Ibu mencoba memberikan pengertian padaku.
Sikap ibu yang
selalu meyakinkan untuk tidak berpikir negatif terhadap orang lain yang
berbeda dengan latar belakang keluarga kami itulah, mendorong saya
untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Umum. Dengan begitu saya bisa
membenarkan perkataan Ibu.
Setelah mengikuti ujian
seleksi, akhirnya saya diterima di sekolah negeri favorit di Surabaya.
Dewi Andesa, nama itu tertulis jelas di papan pengumuman penerimaan
siswa-siswi baru. Hatiku pun riang, harap dan cita selalu terbersit
di pikiran saya untuk menguak sebuah warna kehidupan di negeri ini.
__________________
Setiba di sekolah, “Ups…! Rame banget,…!” celetukku.
Jam sudah menunjukan pukul Tujuh. Saya langsung menuju parkir sepeda yang pintu pagarnya akan ditutup oleh security sekolah.
“Ih…sebel.
Hari pertama sekolah saja sudah hampir terlambat”, gerutuku. Setelah
parkir sepeda, saya mempercepat langkah menuju kelas “1A” yang letaknya
tidak jauh dari tempat parkir.
“Wah….semua tempat duduk
sudah penuh,” kata saya lirih sambil mencari-cari tempat duduk kosong.
Eits…! Tiba-tiba pandangan mata saya mengarah pada wanita bermata sipit
yang sedari tadi hanya diam sambil mencoret-coret selembar kertas di
atas bangkunya. Tanpa meminta izin darinya, langsung saja saya duduk di
sampingnya.
“Hai teman, nama saya Dewi Andesa, panggil
saja Dewa,” sambil tersenyum kuperkenalkan diriku seraya mengulurkan
tangan bersahabat.
Wanita itu tertegun melihat gaya saya memperkenalkan diri, dia pun membalas uluran tanganku.
“Mei Lin, biasa dipanggil Meme”, jawabnya singkat dengan nada lirih.
“Wah…pucuk dicinta ulam pun tiba. Kebetulan saya bisa duduk sebangku dengan teman berpawakan Tionghoa,” komentarku dalam hati.
Secara
fisik Meme berbeda dengan teman-teman, dia satu-satunya peranakan
Tionghoa yang kehadirannya di kelas “1A” kurang disenangi teman-teman.
Kebetulan, waktu itu keberadaan warga Tionghoa di kota kami masih
bermasalah.
Karena tujuan awalku ingin mempunyai banyak
teman dari latar berbeda. Saya pun harus bisa mengalahkan egoku yang
suka memilih dalam berteman. Ada Johan pria hitam dan pendek dari
Sumenep, Jesicha yang tinggi dari Sumedang, dan masih banyak lagi
lainnya.
______________________
Sudah
sebulan ini saya belajar di sekolah baru. Yang pasti menyenangkan. Tidak
hanya saya yang suka bermain kartu, motor cross, tetapi hobyku juga
disukai teman-teman di sekolah. Uang pemberian ibu selalu habis untuk
itu. Malahan, uang tabungan yang kusimpan sejak SD, ludes untuk
memenuhi kesenanganku.
Meme, temanku yang satu ini memang
lain. Waktu istirahat sekolah, saya tidak pernah melihatnya di kantin.
Bila diajak, menolak dan tidak mau bermain bersama teman lain. Sikapnya
yang tertutup dengan teman-teman membuat saya semakin penasaran.
Pantas, semua teman di kelas kurang suka dengannya.
Kali ini, saya penasaran, ingin sekali bermain ke rumah Meme. Beruntung ia membolehkan.
“Meme saya ambil sepeda dulu, ya?”, Meme hanya senyum dan menganggukkan kepala.
“Me…, pulang sekolah biasanya kamu naik apa?”, tanyaku sembari menuntun sepeda menuju pintu gerbang sekolah.
“Jalan kaki”, jawabnya singkat.
“Tidak naik angkot atau sepeda?,” Tanya saya lagi. Meme hanya melempar senyum.
Tanpa komando, ia pun langsung duduk di goncengan sepeda.
20
menit mengayun sepeda, tapi belum juga sampai. “Lumayan jauh, sudah
jalannya bergelombang, masuk lorong-lorong, lama-lama capek juga,”
gerutuku dalam hati.
“Stop…stop…! Dewa sudah sampai. Itu rumah saya,” pinta Meme sambil menunjuk rumahnya.
“Alhamdulillah…, akhirnya sampai juga”, bisikku sambil menghembuskan nafas panjang.
Setiba
di rumah Meme, kami disambut sorakan adik-adik Meme, “Kak Me sudah
pulang…,” berulangkali kata itu diucapkan hingga masuk ke rumah Meme.
“Wah…,
bahagianya. Jadi terharu, walaupun tergolong pemukiman kumuh, suasana
guyup seolah selalu menyelimuti masyarakat yang tinggal di daerah ini,”
komentarku.
Meme langsung mencium tujuh adik-adiknya yang
sedari tadi menunggu kepulangannya. Mama Meme juga terlihat sibuk
mempersiapkan botol-botol jamu yang sudah terisi, siap untuk dijual.
“Sudah pulang Me…?”, tanya Mama Meme sambil memasukkan botol jamu ke dalam tenggok.
“Iya nih Ma…”, jawabnya singkat. “Ma…ini teman sekolah Meme”, Meme memperkenalkan saya.
“Dewa tante, teman Meme”, saya mengulurkan tangan dengan sedikit menganggukkan kepala.
“Saya Mama Ling”, jawabnya ramah.
“Ya..
beginilah keadaan rumah Meme, sudah kecil, jelek lagi. Ini saja masih
kontrak,” kata Mama Ling sambil menyuguhkan satu botol jamu kencur
buatannya.
“Bukannya jamu itu untuk dijual, kenapa disuguhkan?”, tanyaku.
“Jangan khawatir, tante buatnya banyak. Diminum ya?”,pintanya.
“Me…tolong jaga adik-adik kamu. Jangan keluar rumah kalau papa belum datang! Mama berangkat dulu,” pesan Mama ling.
“Pantas,
Meme tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler, apalagi bermain sepulang
sekolah. Lha wong dia harus menjaga tujuh adiknya yang masih
kecil-kecil. Ditambah lagi keadaan keluarganya yang tergolong kurang
mampu”, kataku lirih.
Saya sangat kagum dengan Meme, ia
merawat adik-adiknya dengan penuh kasih sayang. “Maaf ya Dewa, suasana
rumah membuat kamu kurang nyaman, memang seperti ini keadaan saya”,
kata Meme sambil mengambil Bakpao dari dandang.
“Adik-adik…saatnya makan siang”, teriak Meme sambil membagikan Bakpao.
“Kok hanya Bakpao, apa mengenyangkan? kamu tidak membuat nasi Me..?” tanyaku.
“Bakpao juga mengenyangkan!”, lagi-lagi Meme menjawab singkat.
“Ini…jatah makan siang untuk kamu, juga ada!”, sambil memberikan satu buah Bakpao pada saya.
Saya heran, melihat kebahagiaan saudara Meme. Meski tidak makan nasi, Bakpao pun sudah membuat perut mereka kenyang.
Tak
lama, Papa Leo datang sambil meletakkan sepeda kebo-nya di samping gang
rumah. “Siang anak-anak…, papa sudah pulang ...”, teriak Papa Leo
sambil melepaskan topi yang sedari tadi dipakai.
“Siang papa…”, semua saudara Meme menjawab bersama-sama dan menyambut gembira kedatangan Papa Leo.
Saya
pun banyak bercakap dengan beliau. Walaupun penghasilan sehari-hari
sebagai tukang sol sepatu keliling sangatlah minim untuk kebutuhan
keluarga, tetapi beliau tetap bersyukur.
“Penghasilan saya
dan istri hanya cukup untuk membuat Bakpao, dan biaya pendidikan Meme.
Selebihnya untuk membeli bahan jamu dan sol sepatu, itupun kalau ada,”
cerita Papa Leo sembari mengusap keringat dikeningnya.
“Dewa…, maaf ya! saya tinggal sebentar. Saya mau menidurkan adik-adik dulu,” izin Meme.
Meskipun
hanya sehari, tetapi cermin kebiasaan keluarga Meme menjadikan
pelajaran berharga buat saya. “Ternyata ini, alasan Meme tidak mau
diajak ke kantin”, bisikku dalam hati.
Papa Leo-pun
melanjutkan ceritanya, dua tahun lalu keluarganya berdomisili di
Wonogiri-Solo, mereka adalah salah satu korban diskriminasi rezim Orde
Baru pasca pemberontakan G30 S PKI. Rezim Orba memberikan persepsi yang
salah bahwa Republik Rakyat Tiongkok-lah yang berada di balik
pemberontakan PKI, dan Tionghoa disamakan dengan komunis.
Inilah
yang membangkitkan rasa benci masyarakat pribumi terhadap etnis
Tionghoa. Permasalahan itu lantas berdampak buruk bagi kelangsungan
hidup warga Tionghoa di Indonesia. Banyak aturan pemerintah yang harus
dipatuhi, mulai aturan tentang peraturan warga Tionghoa tidak boleh
menjadi PNS hingga dipersulitnya proses pembuatan KTP.
Fenomena
itu membuat dampak negatif warga Tionghoa, selalu ada anggapan orang
Tionghoa itu licik, mau menang sendiri, eksklusif dan srigala ekonomi.
Hal ini membuat masyarakat pribumi menjadi geram dan marah dengan
membakar rumah-rumah, Gerai maupun pertokoan milik warga Tionghoa di
negeri ini. Termasuk, beberapa rumah dan pertokoan milik keluarga Meme
di Wonogiri juga tidak luput dari amukan para tetangga. Beruntung,
keluarga Meme berhasil menyelamatkan diri dan hidup di Kota Pahlawan.
“Sungguh
kisah perjalanan keluarga yang penuh dengan perjuangan. Jadi, mereka
dulu keluarga kaya dan kini harus berjuang lagi dari awal tanpa merasa
malu dan gengsi”, selintas saya berpikir.
“Sejak
peristiwa itu Meme berubah menjadi pendiam. Dulu Meme adalah gadis
centil, pintar, dan dermawan. Setiap akhir bulan, Meme aktif memberi
kaos, dan sebagian uang tabungannya untuk anak-anak panti. Tapi, karena
keadaan kami…...Walau demikian, Meme tetap gadis rajin dan penurut”,
kenang Papa Leo dengan suara lirih.
“Kasihan Meme… di
sekolah ia sering dicuekin bahkan di maki teman-teman. Sedangkan saya
hanya bisa diam. Padahal Meme tidak seburuk yang mereka sangka”,
pikirku lagi.
Cerita Papa Leo terhenti, karena kedatangan
Meme dari bilik pintu kamar. “Wah.. serius sekali, papa cerita apa?”,
tanya Meme sambil mengurai rambutnya.
“Cuma pembicaraan
biasa, oya papa ke kamar dulu? kalau mau ngobrol dengan temanmu
silahkan”, ujar Papa Leo sembari mengipas-ngipaskan topinya.
Tak banyak komentar, saya langsung pamit pulang takut kemalaman.
______________
Kumerenung
apa yang saya alami tadi siang di rumah Meme. “Walaupun saat ini
keluarga Meme kurang mampu, itu karena takdir. Andai peristiwa itu tidak
menimpa keluarga Meme pasti kehidupan mereka tidak seperti sekarang.
Tapi…sudahlah nasi sudah menjadi bubur”, dengan hati gelisah saya
pandangi dinding atap kamar sembari mendengarkan alunan musik Kitaro.
“Benar
kata ibu, tidak semua orang Tionghoa eksklusif. Meski keluarga Meme
tidak punya tapi mereka sangat baik dan ramah. Tidak seperti yang kukira
selama ini,” kataku.
“Lalu bagaimana caranya saya membantu keluarga Meme?,” tanyaku.
“Uang
tidak punya. Hampir setiap hari saya habiskan untuk hal-hal tidak
berguna, main motor-cross, kartu…untuk apa semuanya? Hanya untuk
kesenangan sesaat. Ih…dasar Dewa bodoh…!?!, bisikku menyesal.
_______________________
Meski
terbilang siswa baru, tapi posisiku sangat berpengaruh di sekolah.
Karena seminggu lagi sekolah akan mengadakan pentas seni, dan kepala
sekolah akan memberikan penghargaan bagi tiga karya terbaik. Sudah
barang tentu saya tidak ingin melewatkannya. Saya juga melibatkan Meme
dalam kegiatan tahunan itu. Beruntung Meme menerima tawaran saya.
“Me…pentas nanti kamu berencana menampilkan karya apa?,” tanyaku dengan penuh antusias.
“Entahlah saya juga masih bingung, apa saya nanti bisa?,” jawab Meme ragu.
“Kamu pasti bisa Me…, gimana kalau kamu menampilkan drama?,” kataku memberikan pendapat.
“Bagus juga ide kamu. Tapi…drama itukan butuh banyak orang?,” ujar Meme bimbang.
“Tenang
saja, saya akan bantu kamu. Lagian itu baguskan biar teman-teman kenal
kamu lebih dekat, tidak punya persepsi buruk tentang kamu?,” kataku
meyakinkan Meme.
“Terus tentang tema, gimana kalau tentang persatuan bangsa”, lagi-lagi saya berpendapat, sedangkan Meme hanya melongok.
“Begini
Me…maksudku walaupun kita berbeda dari latar belakang tapi kalau kita
tinggal dan hidup di Indonesia berarti kita adalah saudara. Lalu pesan
yang akan kita sampaikan, sesama saudara tidak boleh saling mencela,
memaki. Kalau kita tetap bersikap seperti itu, bagaimana Negara kita
bisa maju, mungkin yang ada malah perpecahan dan menjadi Negara
terjajah?,” saya berusaha menjelaskan.
“Boleh…, brilian
juga ide kamu. Iya saya setuju”, jawab Meme dengan cepat sembari
mengeluarkan kertas dan bolpoint dari dalam tas yang digunakan untuk
menulis skenario.
Setelah skenario jadi, Saya pun segera
mengumpulkan teman-teman di kelas “1A”, banyak dari mereka yang ingin
menjadi aktris dan aktor drama. Selain tema menohok juga merupakan
realita kehidupan masyarakat Indonesia. Awalnya mereka menolak karena
penulis skenario drama, Meme. Tetapi setelah saya beri penjelasan,
mereka pun menerima Meme.
Tak butuh waktu lama untuk
latihan, hanya lima hari teman-teman sudah menguasai dialog plus akting
masing-masing. Banyak hal yang diperoleh saat latihan.
Termasuk
sikap teman-teman terhadap Meme tidak seperti biasa. Mereka senang dan
bahkan Meme menjadi siswi percontohan di kelas kami. Selain pintar
menulis skenario drama, sikap sederhana, selalu rendah hati terhadap
guru dan teman itulah yang membuat teman-sekelas kagum kepadanya.
______________
Acara
demi acara akhirnya berlangsung sukses. Tak kuduga, penampilan drama
kelas”1A” mendapat respon luar biasa dari para guru dan teman-teman di
sekolah.
Bahkan kami mendapatkan juara pertama dalam pentas seni
tahun ini. Sengaja saya suruh Meme untuk mewakili teman-teman menerima
hadiah langsung dari Kepala sekolah. Karena ia yang menulis skenario
drama, juga saya ingin menunjukkan di hadapan ribuan teman-teman di
sekolah, sekelumit perjuangan dan harapan warga minoritas di Indonesia.
Ucapan selamat-pun datang silih berganti. Sungguh even yang tak terlupakan.
Hadiah
berupa tropy dan sertifikat disumbangkan untuk sekolah. Sedangkan, uang
tunai sebesar tiga juta rupiah, atas kesepakatan teman-teman kelas
“1A”, diberikan untuk biaya sekolah Meme. “Saya terima hadiahnya, ini
arti persahabatan dan perjuangan hidup”, ungkap Meme bahagia.***
Dimuat atas seizin dari Bp. DR.Choirul Mahfud Marsahid.
( suami dari penulis Cerpen ini , Ibu Fitriana Utami Dewi )
Sumber :
https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-cerpen-satu-rasa-/10152583095225238