Diawali dengan pertanyaan
sederhana di malam Jumat tanggal 27 Juni 2013, ide ngebolang ke Gunung
Munara terbentuk. Pada awalnya agak heran ketika teman bilang bahwa ada
gunung di parung, tapi setelah tanya sana sini (termasuk mbah google),
yakinlah kami bahwa ada gunung di Parung yang menarik untuk dikunjungi.
Pengumpulan massa pun dimulai. Mulai dari menyebar racun ke satu
orang, satu grup (salah grup), dan akhirnya menemukan cowok-cowok
gampangan (untuk diajak) demikian mereka menyebutnya, tim kami
terkumpul. Terdiri dari saya sendiri, Nita (sang pembawa berita gunung
munara), 3 cowok gampangan (Hafit, Moo dan Ucup). Sebenarnya ada satu
lagi teman yang ingin ikut, tapi harus menyerah pada badan yang tidak
mau diajak maen dan ada yang kecewa (Ucup). Dan satu lagi yang ada di
Bandung, yang tidak bisa ganti jadwal kencan dengan gokter gigi yang
kece (mungkin). Semoga lain waktu bisa ngebolang lagi dengan kalian.
Setelah melalui diskusi yang panjang, bujuk rayu racun yang terus
dilancarkan sehingga membatalkan lembur dihari sabtu, maka, disepakati
meeting point di Detos pukul 07.00 WIB. Bagi saya yang penyayang bantal,
susah sekali untuk meninggalkannya di pagi buta (lebay). Tapi, demi
pengalaman baru, harus bisa! Dengan tekad kuat membuka mata jam 5 pagi,
yang biasanya tidur kalau sudah beda hari, ini jam 10 malam sudah
dipaksa merem. Hasilnya, gagal. Tetap saja, berasa tidur lelap selepas
pukul 2 dini hari.
Alarm set, pukul 05.00 WIB, sudah meraung membangunkan. Mandi,
siap-siap, meluncurlah kami ke Stasiun Juanda dengan taksi. Kereta ke
Depok dijadwalkan pukul 06.20, tapi saat menunggu kereta, ada kereta ke
Bogor yang datang. Dan kami memutuskan, naik saja dengan harap-harap
cemas tidak dicek tiket yang sudah dibeli. Dan, memang tidak dicek
:D.
Sampai Stasiun Pondok Cina, kami sempat kehilangan arah (lebay lagi).
Karena kami tidak terbiasa naik kereta, kami agak ragu menentukan
dimana pintu keluarnya. Setelah celingak celinguk dan bertanya, maka
kami putuskan ikut mas-mas yang menawarkan menunjukkan jalan ke Detos
karena dia juga mau kearah yang sama.
Namanya orang tidak tahu jalan itu harusnya ikut petunjuk, tapi ini
malah nyantai. Karena belum sarapan, kami berinisiatif cari makan dulu.
Diluar stasiun, sebelum melanjutkan perjalanan, kami konfirmasi ke Hafit
bahwa kami sudah sampai dan mau sarapan dulu. Setelah tengok kanan
kiri, kami putuskan untuk sarapan di Detos, dengan pertimbangan kumpul
dulu di meeting point. Dan… mas-mas tadi sudah hilang.
Tak masalah ditinggal mas-mas, ibu-ibupun jadilah. Setelah bertanya,
kami lanjutkan perjalanan. Sebenarnya dulu pernah kedaerah situ, tapi
dengan berlawanan arah. Alhasil, kami lewatkan jalan tembus ke Detos dan
makin lama makin curiga dengan jalan yang kami lalui karena berasa
sudah menjauh dari Detos. Untungnya cepat sadar dan berbalik.
Yaah..kalau tidak nyasar, tidak seru ceritanya (nyasar di awal
perjalanan).
Sampai depan Detos, saya dan Nita segera cari sarapan. Untungnya
sudah ada yang buka. Tak lama Hafit muncul dan ikut bergabung. Tinggal
menunggu Moo dan Ucup yang masih dalam perjalanan, dari Bekasi. Tapi
satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda dari mereka. Sudah molor sejam
dari waktu yang ditentukan. Hampir 2 jam, baru dapat kabar kalau
ternyata mereka salah belok. Setelah insiden Moo yang terlalu serius
menatap masa depan (naik motor tanpa toleh kanan kiri) dan motor ucup
yang sedikit bermasalah, maka berangkatlah kami dengan formasi Moo dan
Nita, saya dan Hafit, sedangkan Ucup sendirian sambil ngayal
ngeboncengin Mbak Anna yang batal ikut
:D.
Dengan berbekal GPS, kami berlima membelah jalan Parung menuju
Rumpin. Melewati Pasar Parung yang macet, jalan berdebu, buka tutup
jalan karena ada pengaspalan, jalan berlobang dan plang yang hampir
terlewatkan, tibalah kami di Desa Kampung Sawah (hasil gugling karena
lupa tanya nama desanya). Oiya, bagi yang mau berkunjung ke Gunung
Munara, jangan khawatir untuk urusan jajanan (logistik), karena ada
Indomart dan Alfamart di Rumpin.
Kami mulai jalan sekitar pukul 11.00 WIB, seperti biasa setelah
bernarsis ria (putu-putu). Perjalanan sangat santai, karena setiap
melihat obyek yang bagus atau saung, kami berhenti dan saya selalu
berteriak “Pos I”
:D. Tracking-nya lumayan nanjak, dan napas mulai ngos-ngosan di menit-menit pertama (sangat dimaklumi karena faktor “U”)
:D. Belum lagi pilek yang mengganggu, setiap jalan yang nanjak membuat saya terdengar seperti terisak.
Diatas, kami menjumpai sebuah warung yang menjual rujak, Pop Mie dan
Kopi. Sambil melepas lelah (padahal baru nanjak sebentar), kami mulai
rujak-an. Asemnya mangga, pedasnya sambal ditambah garam, membuat mata
kami “Jrenggg”. Untung apel yang saya bawa ikut dirujak, dan Ucup mulai
mengenang kisah “Apel dan Nyonya”.
Perjalanan dilanjutkan kembali dan terhenti lagi karena ada obyek
yang lumayan menggelitik jiwa narsis kami. Perpaduan batu besar dan akar
pohon yang dramatis langsung kami manfaatkan (putu-putu). Setelah puas
disitu, kami lanjutkan perjalanan kembali. Dan lagi-lagi, harus terhenti
dan Wajib berhenti untuk menikmati pemandangan yang luar biasa. Ada
batu besar yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Belah. Di Gunung
Munara ini banyak batu-batu tinggi yang cocok digunakan untuk latihan
panjat tebing. Satu persatu kami mulai memanjat tebing dan sesi putu
narsis dimulai lagi.
Sebenarnya di Gunung Munara ini ada petilasan, tapak kaki dan tangan
kabayan. Tapi, karena fokus kami berbeda, tapak-tapak itu terlewatkan.
Dari Batu belah, kami lanjutkan perjalanan lagi dan bertemu dengan Goa
Sukarno. Jam ditangan sudah menunjuk hampir pukul 2 siang, dan kami
harus melanjutkan ke puncak yaitu Batu Bintang.
Jalan ke puncak tidak bertanda, kami hanya menggunakan insting kami
untuk memilih jalan (yang penting nanjak, berati jalan sudah benar)
:D.
Formasi selalu berubah, dan terakhir dengan formasi saya didepan. Agak
deg-degan kalau-kalau saya yang terkenal menyesatkan ini menyesatkan
yang lain (PeDe). Setalah lumayan jalan yang diwarnai oleh tanjakan,
saya dihadapkan pada batu yang menghadang jalan kami. Sempat tidak yakin
apakah harus diteruskan, tapi setelah melewati batu, tarraaa..kami
sampai.. di puncak, Batu Bintang.
La la la…Ye ye ye.. sampailah kami. Pemandangan dari atas Batu
Bintang sungguh mengagumkan. Berada diketinggian yang bagi saya, itu
sudah tinggi, rasanya.. menyenangkan. Seperti dikomando, kami langsung
melakukan aktifitas masing-masing seperti menggalau, rebahan disaung
maupun dibatu, dan tentunya putu-putu \:D/. Setelah puas bernarsis ria
dan melepas lelah, pukul 15.00 atau mungkin kurang, kami putuskan untuk
turun.
Jalan dari puncak sampai ke goa tempat pembuatan cover album (sesudah
batu belah), memakan waktu yang singkat. Tapi setelah itu terasa lama
dan ada yang salah, kami nyasar..
:D.
Dan apa hendak dikata, mau balik tak ada tanda dan tak ada jalan lain.
Dengan berbekal kalimat penenang “yang penting jalan menurun”, dan
dipimpin oleh Ucup, kami melintasi jalan yang asing itu. Saya hanya
berharap dan berdoa semoga nyasarnya tidak terlalu jauh dari tempat kami
mulai naik tadi.
Keyakinan kami akan jalan yang benar setelah nyasar sungguh besar.
Hanya berbekal bertanya pada adek-adek kecil yang sedang asyik ngobrol,
kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti suara dangdutan yang
sayup-sayup terdengar
:D.
Dan karena saya tidak tenang karena sudah berjalan terlalu jauh, saya
minta Moo untuk tanya pada bapak-bapak yang sedang berhenti di pinggir
jalan. Dan ekspresi bapak itu setelah mendengar pertanyaan dan
penjelasan Moo, terlihat kaget bercampur bingung dan prihatin. Karena
ternyata kami memang nyasarnya kelewat jauh. Bahkan si bapak dengan baik
hati menawarkan mengantar salah satu dari kami kembali ke desa tempat
kami menitipkan motor, biar bisa menjemput yang lain. Tapi kami menolak
karena masih semangat berjalan @_@.
Hari makin sore dan kami singgah untuk sholat di masjid yang kami
temui di jalan itu. Selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan ditemani
gerimis yang mulai datang tanpa diundang. Saya berusaha mengingat
petunjuk yang bapak tadi berikan, ikuti jalan, belok kiri, ada jalan
naik, naik angkot (naik angkot?) dan belok kiri lagi. Dan sepanjang
jalan itu, kami mulai berharap, berhayal bisa makan dan minum ini itu
(efek kehilangan arah). Rasanya es kelapa muda, es buah tanpa buah,
fanta, es teh manis, orson, nasi padang, dan warteg begitu menggoda. Dan
saat hujan mulai deras, setelah jalan naik, kami melihat angkot. Segera
kami mengejar dan naik angkot itu, yang ternyata hanya bisa mengantar
kami ke ujung jalan raya. Dari situ, kami sambung lagi dengan angkot
sampai di depan gang masuk Desa Kampung Sawah.
Hujan masih deras dan kami berteduh sebentar di sebuah toko di depan
gang. Ada sedikit perbincangan kami dengan warga yang sedang duduk
disitu yang membuat kami berpikir. Bapak itu berkata, “Oo..dari gunung.
Dapat apa mas?”, “Err..dapat poto-poto aja sih pak” jawab Moo sambil
cengar-cengir, senyum 3 jari. Untungnya hujan cepat reda, dan kami
terbebas dari percakapan yang membuat kikuk.
Di Gunung Munara ini, memang biasanya dijadikan orang-orang untuk
mencari “sesuatu”. Tak jarang ada yang naik di malam hari, minta ini itu.
Yah..dikembalikan ke masing-masing orang saja. No comment sajah kalau
sayah
:D.
Dengan menahan malu akibat nyasar, kami berjalan memasuki desa. Dan
kalimat penyambutan membuat kami tambah malu, “Nyasar ya A’?” diucapkan
dengan polosnya oleh anak kecil yang sedang nongrong di bale-bale.
Jawaban “iya” lirih diucapkan dengan cengiran tidak jelas. Untung ada
penjual bakso yang mengalihkan dari topik nyasar. Ucup yang kepingin
orson, langsung pesan. Begitupun Nita yang sudah nyidam fanta. Saya yang
nyidam es buah tanpa buah (yang pastinya tidak ada), pasrah memilih air
mineral. Udara setelah hujan jadi lumayan sejuk (dingin) dan bakso
rasanya pas untuk mengganjal perut dan mengobati fantasi kami akibat
kelelahan berjalan.
Hari mulai gelap dan kami putuskan untuk segera pulang. Sebagai rasa
terima kasih kami kepada warga yang kami titipi motor dan sudah berbaik
hati mengamankan helm kami saat hujan, kami hanya bisa menggantinya
dengan uang
Rp.20.000. Mereka sebenarnya tidak mematok harga, yang penting ikhlas dari kami.
Jalan yang waktu kami datang lumayan curam turunya, waktu kami
pulang, jadi licin karena hujan. Dan..motor Hafit yang melewati lumpur,
harus tumbang (lebay). Dan saya hanya bisa pasrah karena sudah tidak
bisa pegangan lagi, terjatuh dan duduk kena lumpur (ini musti ada yang
tanggung jawab sepertinya). Perjalanan dilanjutkan lagi diwarnai dengan
hujan yang lama-lama makin deras.
Perjalanan lumayan lancar, hanya terhambat oleh buka tutup jalan
parung dan insiden ayam yang berjatuhan dari motor pedagang ayam. Sampai
Depok lagi, Detos lagi, pukul 8 malam. Istirahat sebentar di
angkringan, mengisi perut untuk melanjutkan perjalan lagi, ke rumah
masing-masing. Saya dan Nita pamit duluan untuk mengejar kereta
terakhir, meninggalkan tiga cowok gampangan bermalam minggu
:D.
Gunung Munara cocok bagi yang ingin latihan rockclimbing dan
rappelling, bisa juga untuk pemanasan sebelum ke gunung yang lebih
tinggi atau hanya sekedar memanfaatkan waktu senggang di akhir pekan
(seperti kami). Bagi yang ingin berkunjung ke Gunung Munara, siapkan
perbekalan secukupnya. Pakai pakaian yang nyaman dipakai karena tidak
ada dingin-dinginnya (ketinggian 1126 mdpl). Kalau ingin rockclimbing
atau rappelling bawa peralatan yang lengkap, demi keamanan. Tetap jaga
kebersihan, jangan buang sampah sembarangan dimanapun. Dan..diusahakan
jangan nyasar terlalu jauh
:D
Naik gunung tidak harus tinggi, tidak harus jauh sampai ke ujung
dunia. Yang penting niat baik, kebersamaan dan pengalaman yang ingin
kita tambah dan bagi dari suatu perjalanan. Salam lestari, sampai jumpa
di trip berikutnya.
Sumber :
http://kacrios.wordpress.com/2013/07/08/ngebolang-ke-gunung-munara/