Monday, August 25, 2014



Tentang Rasa Rindu (Lagi)

Angin kencang dari samudera kebebasan ini, kekasih, telah memberiku keberanian menantang kekeringan.

Kemarau amat panjang di pedalaman rasaku ini telah menggugurkan daun-daun kering dari pohon rinduku, yang luruh sebagai helaian puisi, terkapar, dan kubiarkan menghampar di padang lapang bernama lisensia puitika.

Lalu satu per satu kawan-kawanku memungutinya, memberinya nama, memberinya warna, dan menjadikannya helai-helai daun yang mereka lekatkan di reranting pohon-pohon rindu mereka sendiri.

Dan kau yang masih terus berdiri ragu di ruang maya melanjutkan tatapan dinginmu dari kejauhan.

Sering aku meratap sendirian mengapa tatapanmu begitu dingin membekukan sehingga pohon kerinduanku kau buat berguncang dan meluruhkan lebih banyak lagi dedaunan kering sebagai puisi.

Namun, kau tahu aku akan tetap setia menunggu masa itu ketika kau akhirnya mau beranjak dari sana, berjalan ke arahku, membawa bara yang tak pernah padam untuk menghangatkanku. Tetapi lalu kita sama-sama tahu pula, begitu kau melakukan itu, akulah yang akan berlari menjauh darimu dan lesap ke dalam anganmu.

Bukankah telah demikianlah selalu akhir permainan kita ini, kekasihku?

*Salam pagi, salam rindu*



Sumber : By Rani Rachmani Moediarta:

 https://www.facebook.com/photo.php?fbid=630486467070901&set=a.104721009647452.4954.100003286597577&type=1&relevant_count=1


Dengan Puisi, Menjangkaumu

Jemari lentik puisiku mengigil mengusap bagian yang lama tiada pernah tersentuh.

Lihat dan rasakanlah betapa sentuhan jari-jari itu telah membangunkan hasrat yang sekian lama bahkan menggeliat pun tak kuasa.

Aku telah lupa mengapa dulu hatiku memilihmu dan hingga kini masih hanya menyimpan dirimu.

Pastilah bukan karena keretamu, bajumu, kursimu, kulitmu, karena ketika kau datang padaku pada suatu masa, dengan puisi aku melihatmu telanjang, dan dengan puisi yang kulihat hanya pedalamanmu yang tembus pandang, dan dengan puisi kuberanikan diri memasukimu, dan dengan puisi kurebahkan jiwaku di sana ....

Kini dengan jari-jari lentiknya kubiarkan puisi membangunkan kita dari tidur panjang yang meresahkan.

Sebab ketika hidup tidak memberi kita pilihan, dan hatiku tak mampu berpaling, hanya lewat puisi dan dengan puisi aku punya jari-jari untuk meraih, menjangkau, dan berupaya merengkuhmu ....

*Salam pagi teriring puisi yang masih sarat rindu ....*



Sumber : Rani Rachmani Moediarta
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10152688985874540&set=a.10151103664444540.488827.538519539&type=1

untukmu...
dibalik sebuah nama yang entah siapa...
sebagai ungkapan rasa terima kasihku..
karna telah menjaga keindahan Kasih pada dunia yang semakin berkabut ilusi ini..

untukmu..
yang setia pada apa yang seharusnya kita jaga..
memberikan diri sepenuhnya pada ketulusan hati..
untuk mengasihi.. tanpa harus dikatakan memberi..

untukmu...
yang membuatku merasa dikasihi..
tepat pada setiap saatnya..

untukmu..
yang menemani setiap goresan rasa...
dan bertumbuh bersama-sama dalam kisah..

untukmu...
setangkai mawar ungu... pemuja rahasia..
akan Kasih yang dilahirkan bagi dunia...
berdiam dibalik dinding maya...
tak lagi beku.. namun merona ungu...

padamu.. batinku menunduk malu..
ijinkan kupersembahkan bulir bening ketulusan kasih ini..

terima kasih 



Sumber :  Yap Giok Lian
 https://www.facebook.com/cahayanyapelangi?fref=ts

The Green Forest Resort - Bandung

 

Map Information

GPS Location
Latidude : -6.838893
Longitude : 107.59367 -6.838893/107.59367

Blackberry Maps
http://maps.BlackBerry.com?lat=-6.84449&lon=107.59367&z=1&label=greenforestresort -6.84449/107.59367

Green Forest Resort & Kampoeng Awi
Jl. Sersan Bajuri no. 102 Cihideung - Bandung Indonesia
Phone : 022 - 278 7939 , +6222. 7035.7000, +6222.278.7939, +62.22.278.7792
Fax : 022 - 278 7790
http://www.greenforestresort.com

peta green forest resort

Ngebolang ke Gunung Munara, Parung


Diawali dengan pertanyaan sederhana di malam Jumat tanggal 27 Juni 2013, ide ngebolang ke Gunung Munara terbentuk. Pada awalnya agak heran ketika teman bilang bahwa ada gunung di parung, tapi setelah tanya sana sini (termasuk mbah google), yakinlah kami bahwa ada gunung di Parung yang menarik untuk dikunjungi.

Pengumpulan massa pun dimulai. Mulai dari menyebar racun ke satu orang, satu grup (salah grup), dan akhirnya menemukan cowok-cowok gampangan (untuk diajak) demikian mereka menyebutnya, tim kami terkumpul. Terdiri dari saya sendiri, Nita (sang pembawa berita gunung munara), 3 cowok gampangan (Hafit, Moo dan Ucup). Sebenarnya ada satu lagi teman yang ingin ikut, tapi harus menyerah pada badan yang tidak mau diajak maen dan ada yang kecewa (Ucup). Dan satu lagi yang ada di Bandung, yang tidak bisa ganti jadwal kencan dengan gokter gigi yang kece (mungkin). Semoga lain waktu bisa ngebolang lagi dengan kalian.

 Setelah melalui diskusi yang panjang, bujuk rayu racun yang terus dilancarkan sehingga membatalkan lembur dihari sabtu, maka, disepakati meeting point di Detos pukul 07.00 WIB. Bagi saya yang penyayang bantal, susah sekali untuk meninggalkannya di pagi buta (lebay). Tapi, demi pengalaman baru, harus bisa! Dengan tekad kuat membuka mata jam 5 pagi, yang biasanya tidur kalau sudah beda hari, ini jam 10 malam sudah dipaksa merem. Hasilnya, gagal. Tetap saja, berasa tidur lelap selepas pukul 2 dini hari.

Alarm set, pukul 05.00 WIB, sudah meraung membangunkan. Mandi, siap-siap, meluncurlah kami ke Stasiun Juanda dengan taksi. Kereta ke Depok dijadwalkan pukul 06.20, tapi saat menunggu kereta, ada kereta ke Bogor yang datang. Dan kami memutuskan, naik saja dengan harap-harap cemas tidak dicek tiket yang sudah dibeli. Dan, memang tidak dicek :D.

Sampai Stasiun Pondok Cina, kami sempat kehilangan arah (lebay lagi). Karena kami tidak terbiasa naik kereta, kami agak ragu menentukan dimana pintu keluarnya. Setelah celingak celinguk dan bertanya, maka kami putuskan ikut mas-mas yang menawarkan menunjukkan jalan ke Detos karena dia juga mau kearah yang sama.

Namanya orang tidak tahu jalan itu harusnya ikut petunjuk, tapi ini malah nyantai. Karena belum sarapan, kami berinisiatif cari makan dulu. Diluar stasiun, sebelum melanjutkan perjalanan, kami konfirmasi ke Hafit bahwa kami sudah sampai dan mau sarapan dulu. Setelah tengok kanan kiri, kami putuskan untuk sarapan di Detos, dengan pertimbangan kumpul dulu di meeting point. Dan… mas-mas tadi sudah hilang.

Tak masalah ditinggal mas-mas, ibu-ibupun jadilah. Setelah bertanya, kami lanjutkan perjalanan. Sebenarnya dulu pernah kedaerah situ, tapi dengan berlawanan arah. Alhasil, kami lewatkan jalan tembus ke Detos dan makin lama makin curiga dengan jalan yang kami lalui karena berasa sudah menjauh dari Detos. Untungnya cepat sadar dan berbalik. Yaah..kalau tidak nyasar, tidak seru ceritanya (nyasar di awal perjalanan).

Sampai depan Detos, saya dan Nita segera cari sarapan. Untungnya sudah ada yang buka. Tak lama Hafit muncul dan ikut bergabung. Tinggal menunggu Moo dan Ucup yang masih dalam perjalanan, dari Bekasi. Tapi satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda dari mereka. Sudah molor sejam dari waktu yang ditentukan. Hampir 2 jam, baru dapat kabar kalau ternyata mereka salah belok. Setelah insiden Moo yang terlalu serius menatap masa depan (naik motor tanpa toleh kanan kiri) dan motor ucup yang sedikit bermasalah, maka berangkatlah kami dengan formasi Moo dan Nita, saya dan Hafit, sedangkan Ucup sendirian sambil ngayal ngeboncengin Mbak Anna yang batal ikut :D.

Dengan berbekal GPS, kami berlima membelah jalan Parung menuju Rumpin. Melewati Pasar Parung yang macet, jalan berdebu, buka tutup jalan karena ada pengaspalan, jalan berlobang dan plang yang hampir terlewatkan, tibalah kami di Desa Kampung Sawah (hasil gugling karena lupa tanya nama desanya). Oiya, bagi yang mau berkunjung ke Gunung Munara, jangan khawatir untuk urusan jajanan (logistik), karena ada Indomart dan Alfamart di Rumpin.

Kami mulai jalan sekitar pukul 11.00 WIB, seperti biasa setelah bernarsis ria (putu-putu). Perjalanan sangat santai, karena setiap melihat obyek yang bagus atau saung, kami berhenti dan saya selalu berteriak “Pos I” :D. Tracking-nya lumayan nanjak, dan napas mulai ngos-ngosan di menit-menit pertama (sangat dimaklumi karena faktor “U”) :D. Belum lagi pilek yang mengganggu, setiap jalan yang nanjak membuat saya terdengar seperti terisak.

Diatas, kami menjumpai sebuah warung yang menjual rujak, Pop Mie dan Kopi. Sambil melepas lelah (padahal baru nanjak sebentar), kami mulai rujak-an. Asemnya mangga, pedasnya sambal ditambah garam, membuat mata kami “Jrenggg”. Untung apel yang saya bawa ikut dirujak, dan Ucup mulai mengenang kisah “Apel dan Nyonya”.

The IconRujak-anRujak-an D'Rujak

Perjalanan dilanjutkan kembali dan terhenti lagi karena ada obyek yang lumayan menggelitik jiwa narsis kami. Perpaduan batu besar dan akar pohon yang dramatis langsung kami manfaatkan (putu-putu). Setelah puas disitu, kami lanjutkan perjalanan kembali. Dan lagi-lagi, harus terhenti dan Wajib berhenti untuk menikmati pemandangan yang luar biasa. Ada batu besar yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Belah. Di Gunung Munara ini banyak batu-batu tinggi yang cocok digunakan untuk latihan panjat tebing. Satu persatu kami mulai memanjat tebing dan sesi putu narsis dimulai lagi.

Ini dia, POS I Narsis NarsisHappy Melangkah di awan Edisi 4 cm Kece Cool Ber-4

Sebenarnya di Gunung Munara ini ada petilasan, tapak kaki dan tangan kabayan. Tapi, karena fokus kami berbeda, tapak-tapak itu terlewatkan. Dari Batu belah, kami lanjutkan perjalanan lagi dan bertemu dengan Goa Sukarno. Jam ditangan sudah menunjuk hampir pukul 2 siang, dan kami harus melanjutkan ke puncak yaitu Batu Bintang.

Goa Sukarno Yeayy..

Jalan ke puncak tidak bertanda, kami hanya menggunakan insting kami untuk memilih jalan (yang penting nanjak, berati jalan sudah benar) :D. Formasi selalu berubah, dan terakhir dengan formasi saya didepan. Agak deg-degan kalau-kalau saya yang terkenal menyesatkan ini menyesatkan yang lain (PeDe). Setalah lumayan jalan yang diwarnai oleh tanjakan, saya dihadapkan pada batu yang menghadang jalan kami. Sempat tidak yakin apakah harus diteruskan, tapi setelah melewati batu, tarraaa..kami sampai.. di puncak, Batu Bintang.

La la la…Ye ye ye.. sampailah kami. Pemandangan dari atas Batu Bintang sungguh mengagumkan. Berada diketinggian yang bagi saya, itu sudah tinggi, rasanya.. menyenangkan. Seperti dikomando, kami langsung melakukan aktifitas masing-masing seperti menggalau, rebahan disaung maupun dibatu, dan tentunya putu-putu \:D/. Setelah puas bernarsis ria dan melepas lelah, pukul 15.00 atau mungkin kurang, kami putuskan untuk turun.

Menuju puncak..MenggalauBatu BintangDi tepian MooTepianTepar

Jalan dari puncak sampai ke goa tempat pembuatan cover album (sesudah batu belah), memakan waktu yang singkat. Tapi setelah itu terasa lama dan ada yang salah, kami nyasar.. :D. Dan apa hendak dikata, mau balik tak ada tanda dan tak ada jalan lain. Dengan berbekal kalimat penenang “yang penting jalan menurun”, dan dipimpin oleh Ucup, kami melintasi jalan yang asing itu. Saya hanya berharap dan berdoa semoga nyasarnya tidak terlalu jauh dari tempat kami mulai naik tadi.

Keyakinan kami akan jalan yang benar setelah nyasar sungguh besar. Hanya berbekal bertanya pada adek-adek kecil yang sedang asyik ngobrol, kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti suara dangdutan yang sayup-sayup terdengar :D. Dan karena saya tidak tenang karena sudah berjalan terlalu jauh, saya minta Moo untuk tanya pada bapak-bapak yang sedang berhenti di pinggir jalan. Dan ekspresi bapak itu setelah mendengar pertanyaan dan penjelasan Moo, terlihat kaget bercampur bingung dan prihatin. Karena ternyata kami memang nyasarnya kelewat jauh. Bahkan si bapak dengan baik hati menawarkan mengantar salah satu dari kami kembali ke desa tempat kami menitipkan motor, biar bisa menjemput yang lain. Tapi kami menolak karena masih semangat berjalan @_@.

Hari makin sore dan kami singgah untuk sholat di masjid yang kami temui di jalan itu. Selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan ditemani gerimis yang mulai datang tanpa diundang. Saya berusaha mengingat petunjuk yang bapak tadi berikan, ikuti jalan, belok kiri, ada jalan naik, naik angkot (naik angkot?) dan belok kiri lagi. Dan sepanjang jalan itu, kami mulai berharap, berhayal bisa makan dan minum ini itu (efek kehilangan arah). Rasanya es kelapa muda, es buah tanpa buah, fanta, es teh manis, orson, nasi padang, dan warteg begitu menggoda. Dan saat hujan mulai deras, setelah jalan naik, kami melihat angkot. Segera kami mengejar dan naik angkot itu, yang ternyata hanya bisa mengantar kami ke ujung jalan raya. Dari situ, kami sambung lagi dengan angkot sampai di depan gang masuk Desa Kampung Sawah.

Hujan masih deras dan kami berteduh sebentar di sebuah toko di depan gang. Ada sedikit perbincangan kami dengan warga yang sedang duduk disitu yang membuat kami berpikir. Bapak itu berkata, “Oo..dari gunung. Dapat apa mas?”, “Err..dapat poto-poto aja sih pak” jawab Moo sambil cengar-cengir, senyum 3 jari. Untungnya hujan cepat reda, dan kami terbebas dari percakapan yang membuat kikuk.

Di Gunung Munara ini, memang biasanya dijadikan orang-orang untuk mencari “sesuatu”. Tak jarang ada yang naik di malam hari, minta ini itu. Yah..dikembalikan ke masing-masing orang saja. No comment sajah kalau sayah :D.

Dengan menahan malu akibat nyasar, kami berjalan memasuki desa. Dan kalimat penyambutan membuat kami tambah malu, “Nyasar ya A’?” diucapkan dengan polosnya oleh anak kecil yang sedang nongrong di bale-bale. Jawaban “iya” lirih diucapkan dengan cengiran tidak jelas. Untung ada penjual bakso yang mengalihkan dari topik nyasar. Ucup yang kepingin orson, langsung pesan. Begitupun Nita yang sudah nyidam fanta. Saya yang nyidam es buah tanpa buah (yang pastinya tidak ada), pasrah memilih air mineral. Udara setelah hujan jadi lumayan sejuk (dingin) dan bakso rasanya pas untuk mengganjal perut dan mengobati fantasi kami akibat kelelahan berjalan.

Hari mulai gelap dan kami putuskan untuk segera pulang. Sebagai rasa terima kasih kami kepada warga yang kami titipi motor dan sudah berbaik hati mengamankan helm kami saat hujan, kami hanya bisa menggantinya dengan uang Rp.20.000. Mereka sebenarnya tidak mematok harga, yang penting ikhlas dari kami.

Jalan yang waktu kami datang lumayan curam turunya, waktu kami pulang, jadi licin karena hujan. Dan..motor Hafit yang melewati lumpur, harus tumbang (lebay). Dan saya hanya bisa pasrah karena sudah tidak bisa pegangan lagi, terjatuh dan duduk kena lumpur (ini musti ada yang tanggung jawab sepertinya). Perjalanan dilanjutkan lagi diwarnai dengan hujan yang lama-lama makin deras.

Perjalanan lumayan lancar, hanya terhambat oleh buka tutup jalan parung dan insiden ayam yang berjatuhan dari motor pedagang ayam. Sampai Depok lagi, Detos lagi, pukul 8 malam. Istirahat sebentar di angkringan, mengisi perut untuk melanjutkan perjalan lagi, ke rumah masing-masing. Saya dan Nita pamit duluan untuk mengejar kereta terakhir, meninggalkan tiga cowok gampangan bermalam minggu :D.

Gunung Munara cocok bagi yang ingin latihan rockclimbing dan rappelling, bisa juga untuk pemanasan sebelum ke gunung yang lebih tinggi atau hanya sekedar memanfaatkan waktu senggang di akhir pekan (seperti kami). Bagi yang ingin berkunjung ke Gunung Munara, siapkan perbekalan secukupnya. Pakai pakaian yang nyaman dipakai karena tidak ada dingin-dinginnya (ketinggian 1126 mdpl). Kalau ingin rockclimbing atau rappelling bawa peralatan yang lengkap, demi keamanan. Tetap jaga kebersihan, jangan buang sampah sembarangan dimanapun. Dan..diusahakan jangan nyasar terlalu jauh :D

Naik gunung tidak harus tinggi, tidak harus jauh sampai ke ujung dunia. Yang penting niat baik, kebersamaan dan pengalaman yang ingin kita tambah dan bagi dari suatu perjalanan. Salam lestari, sampai jumpa di trip berikutnya.


Sumber : http://kacrios.wordpress.com/2013/07/08/ngebolang-ke-gunung-munara/