Sunday, January 1, 2012

Memaafkan Diri Sendiri

Terkadang stress bukan datang dari faktor luar, tapi dari dalam diri sendiri. Seperti ketika kita melakukan sebuah kesalahan dan merasa bersalah terus karenanya. Rasa bersalah yang terus-menerus kita rasakan akan membuat diri kita selalu dihinggapi ketakutan. Takut berbuat kesalahan lagi dan kehilangan kepercayaan diri.

Ketidakmampuan kita untuk memaafkan diri sendiri bisa menjadikan kita terhenti. Kita yang akan terus terbeban karena perasaan bersalah itu membuat kita sendiri tidak bisa maju dan melanjutkan hidup. Yang jelas, walaupun kita merasa bersalah, kita tidak perlu terus-menerus menghukum diri sendiri. Dr. Phil McGraw, psikolog Amerika mengatakan bahwa kita punya pilihan: Kita bisa menjadi orang yang menyedihkan karena memikirkan rasa bersalah itu terus-menerus, atau kita mengijinkan diri sendiri untuk sembuh dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.

Ada beberapa cara yang bisa diikuti untuk berdamai dengan diri sendiri :

Langkah Pertama : Bukalah Hati Dan Pikiran

Ketika sedang dihadapkan pada suatu pengalaman pahit, entah karena diri sendiri atau orang lain, pikiran dan hati kita akan tertutup untuk menghindari akan disakiti lagi.

Cobalah buka diri kita kembali dengan melihat apa yang sebenarnya terjadi dan yang kita alami. Katakan pada diri sendiri, “Saya bersedia mempertimbangkan bahwa ada jalan lain untuk menghadapi masalah saya daripada menutup hati dan diri saya.”

Langkah Kedua : Berikan Pilihan Kepada Diri Sendiri Untuk Kembali Mencintai

Rasa bersalah adalah istilah yang kita berikan untuk menampung semua yang jelek dan negatif dari yang pernah kita lakukan. Satu cara yang cukup ampuh dan menghindari rasa bersalah berkepanjangan adalah penyangkalan. Jika Anda terus membenci diri sendiri dan tidak bisa mencintai diri sendiri, maka kita tidak akan bisa menyembuhkan diri sendiri.

Langkah Ketiga : Hadapilah Rasa Bersalah Dan Cobalah Memahaminya

Kebanyakan orang beranggapan bahwa rasa bersalah kita adalah karena kita kehilangan orang yang kita kecewakan. Well,.. bukan hak kita melarang dia. Dia sudah memaafkan kita, dan dia harus menghadapi rasa terlukanya dengan caranya sendiri. Kita pun juga begitu, jangan terus menyalahkan diri sendiri. Hadapi rasa bersalah dengan memahaminya. Memahami setiap konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan dan hadapi itu.
 
Langkah Keempat : Ijinkan Diri Sendiri Untuk Menyembuhkan Diri

Rasa bersalah bukan berarti kita tidak layak untuk berubah. Memaafkan diri sendiri juga berarti kita berhak untuk tidak dihukum selamanya. Menghukum diri terus-menerus bukan jalan keluar yang baik dan benar dan itu juga tidak akan mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita tetap menyimpan rasa bersalah, maka kita pun akan takut melakukan sesuatu untuk merubah diri ke arah yang lebih baik.

Langkah Kelima : Buatlah Suatu Hubungan Baru

Jika diri kita tidak sanggup memaafkan diri sendiri, berarti selama ini kita hanya mengharapkan sesuatu yang tidak nyata dengan kata, “Kalau saja…” dan itu tidak akan pernah selesai. Kita harus terus melanjutkan hidup. Sekali kita memutuskan untuk terus, kita harus membina hubungan baru dengan diri sendiri.


Sumber : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=19982.0

Pilihan... Manakah yang harus dikorbankan ?

 
 
 
 
  

The Cost Of CARE Is Known 0nly At The Time 0f Loneliness..

If you...

If you have food in your fridge, clothes on your back, a roof over your head, and a place to sleep, you are richer than 75% of the world.

If you have money in the bank, your wallet, and some spare change, you are among the top 8% of the world’s wealthy.

If you woke up this morning with more health than illness, you are more blessed than the million people who will not survive this week.
If you have never experienced the danger of battle, the agony of imprisonment or torture, or the horrible pangs of starvation, you are luckier than 500 million people alive and suffering.

If you can read this message you are more fortunate than 3 billion people in the world who cannot read it at all."

We would all be more happy and have plenty to be grateful for...if only we would count our blessings rather than our problems.
In life you’ll realize that there is a purpose for everyone you meet.
Some will test you, some will use you, and some will teach you. But most importantly some will bring out the best in you.

Kisa Gotami

Kisa Gotami Theri yang tercerahkan melalui pengalaman kehilangan


Adakah segala sesuatu yang kita miliki atau yang ada dihadapan dan disekeliling kita ini akan terus selamanya berada bersama kita?
Apakah segala sesuatu itu kekal abadi selamanya?
Benda-benda yang kita miliki, keluarga, orang tua, anak, saudara atau teman-teman yang kita cintai, adakah mereka semua selalu bersama kita dan kita selalu bersama mereka?

Jawaban akan hal ini tentu mudah, karena pengetahuan mengajarkan kita bahwa segala sesuatu itu akan berubah, hilang dan lenyap.
Orang-orang yang kita cintai akan meninggalkan kita entah untuk sesuatu yang menyangkut perjalanan hidupnya atupun karena alasan lainnya, namun yang pasti mereka akan berlalu dan berpisah dari kita karena adanya peristiwa kematian.

Pengalaman hidup ini begitu wajar, alami dan dapat atau bahkan kerap kita saksikan. Namun, apakah peristiwa perubahan ini akan sungguh dapat diterima bila diri sendiri yang mengalaminya?

Bagaimana seseorang bisa menerima dan menghadapinya atas lenyapnya segala kebersamaan terhadap apa yang dicintai, dengan segala apa yang selama ini telah dibangun dengan kerja keras, dipelihara dan dirawat dengan ketekunan dan kasih sayang lenyap ketika dewa ketidak-kekalan itu datang menerpa?

Nyatanya seringkali apa yang dilihat, apa yang dimengerti, memang bisa berbanding terbalik dengan apa yang dialami.
Perasaan nikmatnya berkhotbah ketidak-kekalan dihadapan umat, ternyata bisa berbanding terbalik dengan datangnya rasa pedih ketika datangnya pemberitahuan ada orang yang dicintai meninggal

Pengetahuan dan pengalaman itu memang tidak persis sama, tidak selalu berbanding lurus, tidak selalu menumbuhkan kesadaran penerimaan dalam garis atau level yang sama.
Tapi, bagi Siddharta Muda yang peristiwa fenomena ketidak-kekalan ini:
menjadi tua, sakit, dan mati, yang tampaknya wajar, alami, yang orang lain telah tahu itu bukanlah sekedar pengetahuan semata.

Peristiwa fakta yang universal itu, menumbuhkan pengalaman kesadaran yang begitu kuat dan dalam.
Dan bagi Siddharta Muda adalah suatu pengalaman, tidak sekedar pengetahuan.
Justru pengalaman inilah yang menjadikan kesadarannya terlibat dan menumbuhkan pengalaman kesadaran dan pencerahannya atas pernerimaan adanya fakta universal bahwa segala sesuatu itu tidak kekal adanya.

Pengetahuan, kesadaran yang tumbuh atas keterlibatan dan pengalaman inilah yang diajarkan Hyang Buddha kepada Kisa Gotami.
Kisah Kisa Gotami yang diberi pelajaran oleh Hyang Buddha untuk bisa menerima fakta kehilangan, ketidak-kekalan atas segala sesuatu menyarankan kepada kita bahwa pengalaman hidup itu jauh lebih luas dan lebih bermakna dari sekedar pengetahuan.





Kehilangan Yang Dicintai

Kisa Gotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi.
Ia dikenal sebagai Kisa Gotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing.
Bentuk tubuhnya yang cantik ini menjadikannya mudah untuk mendapat perhatian dan suntingan laki-laki manapun.

Begitulah, Kisa Gotami kemudian menikah dengan seorang pemuda kaya, dan dari pernikahannya ini ia memiliki seorang anak laki-laki.
Ia sangat mencintai kehadiran anaknya, namun anak satu-satunya ini kemudian meninggal dunia ketika baru saja belajar berjalan.

Kisa Gotami merasa sangat sedih atas kehilangan anaknya.
Dunia serasa runtuh, dan gempa mengguncang jiwanya. Anak yang dicintai buah dari pernikahannya yang manis meninggal ketika rasa bahagia itu meluap-luap.

Kisa Gotami tak kuasa menerima kenyataan itu.
Ia ingin anaknya kembali, ia ingin anaknya hidup kembali, ia menolak kuasa sang maut. Ia protes terhadap dewa kematian yang menerkam dan merusak kebahagiaan dan kesenangan hidupnya.

Lalu, dengan membawa mayat anaknya pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila.

Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan, dan kemudian berkata kepadanya:
“Hyang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi.
Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!”




Obat Kehidupan

Kisa Gotami kemudian pergi menermui Hyang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya?
Adakah obat kehidupan untuk mereka yang telah mati?
Adakah kehidupan itu dapat diteruskan?

Untuk memberi keyakinan dan penyadaran kepada Kisa Gotami yang belum mengakui dan menerima adanya kematian, Hyang Buddha kemudian menyuruhnya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah mengalami kematian.

Lalu, dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada, bila yang empunya rumah itu belum pernah mengalami kematian.

Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian belum pernah terjadi.
Tak segenggam biji lada diperoleh Kisa Gotami, karena setiap rumah tangga yang dijumpainya pasti pernah mengalami adanya anggota keluarga yang meninggal.

Fakta kematian itu begitu universal dan berlaku atau menimpa kepada siapa saja.
Setelah Hyang Buddha memberi pelajaran kepada Kisa Gotami secara empirik melalui observasi langsung ini, akhirnya Kisa Gotami menyadari bahwa kematian itu memang dialami oleh siapa saja.

Ia mendapati bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, tetapi terdapat juga banyak orang lain yang meninggal dunia daripada yang masih hidup.

Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia pun berubah.
Ia tidak lagi melekat kepada anaknya yang telah menjadi mayat itu.
Ia menyadari fenomena ketidak-kekalan.

Ia kini ikhlas melepas anaknya, dan kemudian meninggalkan mayat anaknya di hutan. Setelah itu, ia kembali kepada Hyang Buddha dan memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan satu pun rumah keluarga dimana kematian belum pernah terjadi.

Fakta yang dijumpai dilapangan akhirnya menggugurkan segala harapannya untuk menolak adanya kematian, untuk tidak mengalami kehilangan, karena kenyataan menunjukkan bahwa setiap orang pasti pernah kehilangan, kehilangan keluarganya.

Penyadaran atas ketidak-kekalan ini, kemudian ditegaskan oleh Hyang Buddha: “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu saja yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk.
Setiap orang mengalaminya, dan sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya”.

Mendengar hal ini, Kisa Gotami benar-benar menyadari ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan akhirnya mencapai kesucian sotappati.

Bhiksuni Kisa Gotami

Tak lama kemudian, Kisa Gotami menjadi seorang bhikhuni, dan perjalanan hidupnya menjadi rohaniwati ini pun semakin menghantarnya mencapai pencerahan sejati, pandangan terang tentang fenomena tiada berintinya segala sesuatu (anatta), bahwa segala sesuatu itu adalah kosong (sunya) tidak mengandung inti yang kekal, melainkan terus berubah, timbul tenggelam.

Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Kisa Gotami mencapai pencerahan, dan kejadian ini kemudian diketahui oleh Hyang Buddha.

Hyang Buddha melihat pencerahan Kisa Gotami itu dari Vihara Jetavana, dan kemudian dengan kemampuan batinnya yang luar biasa, beliau mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia.

Hyang Buddha berkata kepada Kisa Gotami untuk meneruskan meditasinya dengan obyek ketidak-kekalan, bahwasannya kehidupan makhluk itu berada terus menerus dalam perjuangan untuk merealisasi nibbana.
Kemudian Hyang Buddha membabarkan syair 114 berikut:

Daripada hidup selama 100 tahun tanpa menyadari adanya
“keadaan tanpa kematian” (Nibbana),
lebih baik hidup satu hari melihat
“keadaan tanpa kematian”.

Akhirnya, setelah memperoleh pembelajaran langsung dari khotbah Hyang Buddha itu, serta melalui pengalaman yang diperolehnya, Kisa Gotami pun akirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi.

Bhikhuni Kisa Gotami telah tercerahkan.
Ia mencapai tingkat kesucian Arahat yang tiada kekotoran batin lagi, dan telah terbebaskan dari segala kemelekatan, telah menembus kesunyaan segala sesuatu, bahwa segala sesuatu tiada yang kekal dan karenanya siapa pun juga pasti akan mengalami kehilangan.

Semoga semua makhluk berbahagia






Sumber : http://www.tamandharma.com
http://wihara.com/forum/topik-umum/11368-kisa-gotami-theri-yang-tercerahkan-melalui-pengalaman-kehilangan.html

Penghalang di Jalan Kita


Zaman dahulu kala,tersebutlah seorang Raja, yang menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah jalan. Raja tersebut kemudian bersembunyi untuk melihat apakah ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan.
Beberapa pedagang terkaya yang menjadi rekanan raja tiba di tempat, berjalan melingkari batu besar tersebut. Banyak juga yang datang kemudian memaki-maki sang Raja, karena tidak membersihkan jalan dari rintangan. Tetapi tidak ada satupun yang mau melancarkan jalan dengan menyingkirkan batu itu.

Kemudian datanglah seorang petani yang menggendong banyak sekali sayur mayur. Ketika semakin dekat, petani ini kemudian meletakkan dahulu bebannya, dan mencoba memindahkan batu itu ke pinggir jalan. Setelah banyak mendorong dan mendorong, akhirnya ia berhasil menyingkirkan batu besar itu. Ketika si petani ingin mengangkat kembali sayurnya, ternyata ditempat batu tadi ada kantung yang berisi banyak uang emas dan surat Raja.

Surat yang mengatakan bahwa emas ini hanya untuk orang yang mau menyingkirkan batu tersebut dari jalan. Petani ini kemudian belajar, satu pelajaran yang kita tidak pernah bisa mengerti. Bahwa pada dalam setiap rintangan, tersembunyi kesempatan yang bisa dipakai untuk memperbaiki hidup kita.
 
For a better 2012 : 
 
Always know when to let go. 
When a thought is bringing you more misery than peace, let go of the thought; when a person is bringing more pain than joy to your life, let go... You cannot be your best if you lack joy and peace.