This blog is my library, mostly from other people's articles and only few are mine. I will re-read when I have time or whenever I want to
Tuesday, August 25, 2015
Rejeki datang di saat tak terduga
Seorang gadis habis bertengkar dengan pacarnya, kepingin menangis... Tetapi dia gengsi tidak mau menangis di rumah karena memang orang tuanya ga' setuju mereka berpacaran ...Tiba-tiba dia teringat kenapa tidak pergi ke rumah duka (tempat persemayaman orang meninggal) dan menangis sepuasnya ...... Bila dia menangis di sana tidak bakal ada orang yang merasa heran ......
Lalu dia pun mencari tempat persemayaman seorang kakek yang baru saja meninggal, menetapkan hati lalu berlutut di depan jenazah dan menangis sejadi-jadinya ......
Di samping jenazah kakek tua itu ada 2 orang wanita setengah baya saling berpandangan dan mengumpat pelan :" Dasar tua bangkotan ... ternyata masih ada wanita simpanan ke 3 ... "
Merekapun kasak kusuk berdua, selanjutnya berjalan ke gadis itu dan memapahnya berdiri, sambil menghibur : "adik ke 3, sudahlah ... kami lihat kamu menangis dengan sangat sedih, kami sudah musyawarah dan memutuskan membagikan uang cash senilai Rp. 5 Milyar kepadamu, sedangkan harta lain seperti rumah, saham, dan lain-lain, kamu jangan minta bagian lagi yach ...... OK ????"
Rejeki datang di saat tak terduga ya.. ;D
Sumber : unknown
Krisis Ekonomi ? Siapa suka menakut2i ??
@Rhenald_Kasali
Sejak kecil kita sering mendengar orang dewasa menakut-nakuti dengan setan. Dan akhirnya kita jadi urung melangkah. Malam hari kita bisa dicekam ketakutan, dan bermimpi yang aneh-aneh.
Sewaktu remaja, hal serupa juga berulang. Saat akan mendaki gunung misalnya, selalu ada saja yang mengatakan itu berbahaya, akan tersesat, kelaparan, dirampok, tersedak asap belerang, tergelincir dan seterusnya. Nyatanya, kita malah melihat puncak yang indah, dan hamparan bunga edelweis yang menakjubkan.
Memang kaki kita babak belur, dan sepanjang perjalanan ada jalur yang licin dan membuat Anda terjatuh. Tetapi semuanya bisa diatasi.
Sewaktu memasuki SLTA saya juga ditakut-takuti. Maklum ini SMA elit di tengah-tengah Menteng – Jakarta Pusat, yang rata-rata siswanya berasal dari kalangan atas. Selain mahal rata-rata alumnusnya diterima di kampus-kampus elit menjadi dokter, insinyur atau ekonom. Dan bahkan banyak yang keluar negeri. Namun sewaktu diterima, semuanya terbelalak.
Demikian juga sewaktu penentuan uang sekolah, tergantung pada kemampuan masing-masing. Dan orang tua saya hanya bisa mengatakan tak semenakutkan yang dikatakan banyak orang.
Krisis Ekonomi?
Demikianlah dalam hidup, kita selalu berhadapan dengan orang-orang yang gemar menakut-nakuti yang tujuannya mungkin baik, tetapi mungkin juga tidak. iapa yang akan mempercayai mereka?
Tentu orang-orang yang belum berpengalaman, yang punya harta banyak, yang takut kehilangan dan mereka yang tidak mau. Tidak mau apa? Ya tak mau kerja, tak mau berpikir.
Ada pepatah mengatakan, “If you want to, you’ll find the way. If you don’t want to, you’ll find excuses.” Artinya, hanya orang-orang yang mau bergerak yang akan menemukan jalannya. Sedangkan yang tak menginginkannya, akan terus membuat-buat alasan, merangkai cerita dan mengirim berita negatif.
Kehidupan ini sesungguhnya bukanlah kumpulan dari ramalan-ramalan perorangan yang berisi khayalan dan ocehan, melainkan sebuah akibat dari perbuatan jutaan manusia yang saling berinteraksi. Ada yang mengambil tindakan, dan ada yang bereaksi. Semua terpulang pada apa yang dipikirkan dan yang dipercayai.
Semua gagasan dan opini bertarung untuk meyakinkan sesuatu sambil berharap menjadi langkah yang masif. Ekonomi adalah sebuah kumpulan perilaku yang outcome-nya akibat dari perbuatan manusia, yang akhirnya membentuk sebuah pola. Pola itu bisa bergerak ke atas, bisa juga ke bawah. Bila itu bergerak ke bawah, bisa saja ia menukik balik ke atas, menjadi anomali karena manusianya berpikir positif.
Sebaliknya ia bisa bergerak makin liar, jatuh ke jurang (kendati fundamental ekonominya bagus), karena kita saling menyepak, menyalahkan, menakut-nakuti, dan menolak untuk bekerjasama karena mempercayai yang negatif.
Sikap suatu bangsa terhadap krisis sesungguhnya tercemin dalam apa yang mereka definisikan pada kata krisis itu sendiri. Di Barat, krisis dimaknai sebagai “Sebuah titik belok” for better or for worse.
Di China ia sebagai wei-ji yang artinya “kesempatan” atau ”peluang” dalam bahaya. Tetapi di sini, di Indonesia, John Echols dan Hassan Shadily (Kamus Bahasa Inggris-Indonesia) menjelaskan: krisis adalah sebuah situasi yang gawat, genting atau kemelut.
Krisis akan benar-benar membuat para penakut kecut saat media sosial dan media massa ramai-ramai melaporkan suasana yang genting. Hanya karena dollar melambung seribu – dua ribu perak dalam sebulan ini. Pokoknya mencekam. Padahal pengusaha tahu, PHK butuh proses dan makan waktu berbulan-bulan dan amat mahal. Mana mungkin begitu dolar melambung pengusaha langsung PHK minggu depannya.
Sekarang tampak betul adanya kelompok yang menakut-takuti masyarakat karena tidak ingin kita keluar dari kesulitan. Untuk keluar dari lembah terdalam, pertama-tama kita harus percaya pada kekuatan kita, lalu bekerjasama, saling membangun. Bukan saling mengejek dan menarik kaki mereka yang tangannya sudah menyentuh bibir jurang.
Lantas siapa yang tidak mempan ditakut-takuti? Pertama, pasti kaum beriman. Mereka adalah orang yang percaya akan bantuan Allah dan terus berupaya. Kedua, mereka yang sudah berpengalaman, yang tahu bahwa susah tak akan berlansung selamanya.
Konflik Etnis Kalbar
Ini juga konflik yang mencekam. Saya teringat dengan konflik etnis di Kalbar 1999. Sebagai dosen terbang di Universitas Tanjung Pura, keluarga saya tentu terkejut ketika ada seseorang mengirimkan faksimili tentang kepala seorang petugas keamanan yang dipancung dan ditaruh di pagar hotel.
Keluarga saya menjadi heboh dan minta agar saya tidak berangkat. Tapi saya katakan mengajar ini juga ibadah. Anak-anak gelisah karena tahu kalau soal pendidikan, ayahnya tak bisa menyurutkan langkah. Mereka menelfon Kampus. Mahasiswa yang menjawab berebut bicara. “Minta tolong agar ayahmu berangkat, kami sudah lengkap dan menunggu,” kata mahasiswa saya.
Saya tak tahu percakapan selanjutnya, karena sudah harus segera berangkat. Di atas pesawat saya lihat bangku-bangku kosong ditinggalkan penumpang yang ketakutan. Purser yang bertugas, mengajak saya bicara dan bertanya-tanya mengapa saya nekat berangkat. Mereka menggunjingkan saya yang duduk di sudut jendela tanpa teman.
Di Bandara Supadio, Pak Efi, pimpinan universitas menjemput saya dengan riang. Putra Melayu asli Kalbar itu bercerita panjang lebar tentang kejadian beberapa hari lalu. Tetapi selebihnya tak ada tanda-tanda kejadian yang mengerikan di sana.
Pontianak aman dan mahasiswa saya bertepuk tangan saat menyambut saya karena kabarnya hanya satu dosen yang “berani” datang. Padahal mereka rata-rata berjuang 8 – 12 jam datang dari berbagai daerah pedalaman untuk mendengarkan kuliah saya.
Saya pun memberi bonus waktu dan bermalam di sana bersama mereka. Esoknya kami menengok para pengungsi dan mereka mentraktir saya makan kwetiau Apolo yang terkenal itu.
Saya katakan, sewaktu keadaan sulit kita justru harus belanja agar uang berputar. Mereka pun setuju dan pemilik warung gembira. Pegawainya pun bisa gajian.
Kita Aktor Utamanya
Belajar dari beragam peristiwa di atas, saya perlu mengajak Anda semua agar tidak tercekam dengan rasa takut yang berlebihan. Hidup bukanlah sebuah episode spekulasi seperti kita yang kini terperangkap menerka kurs dolar. Hidup adalah sebuah perjalanan panjang untuk meraih keberhasilan.
Kita sudah membuktikan bahwa hasil yang kita capai adalah berasal dari kerja keras, kepercayaan dan kreativitas. Bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, kita semua sepakat. Tetapi kita perlu berusaha semaksimal mungkin.
Benar, kita adalah aktor ekonomi, jadi hasil akhir dari episode kenaikan atau menguatnya dollar AS adalah juga karena peran kecil kita. Tetapi dalam usaha dan pekerjaan yang kita jalankan, kita adalah aktor utamanya. Mengapa ada pihak yang gemar menakut-nakuti?
Tentu ada banyak jawaban. Ada yang terlalu sayang dengan anda, tetapi juga benar, ada yang tak mau anda berhasil. Bagi kaum pemalas ini adalah kesempatan untuk beristirahat.
Bagi yang culas, setiap keberhasilan anda adalah tamparan besar bagi mereka. Itu sebabnya mereka akan terus menakut-nakuti, mencela, bahkan memasang perangkap dan beragam ranjau agar anda jatuh dan berhenti. Tetapi itu tak akan berarti kalau bangsa ini bukan penakut.
Sumber : unknown
@Rhenald_Kasali
Sejak kecil kita sering mendengar orang dewasa menakut-nakuti dengan setan. Dan akhirnya kita jadi urung melangkah. Malam hari kita bisa dicekam ketakutan, dan bermimpi yang aneh-aneh.
Sewaktu remaja, hal serupa juga berulang. Saat akan mendaki gunung misalnya, selalu ada saja yang mengatakan itu berbahaya, akan tersesat, kelaparan, dirampok, tersedak asap belerang, tergelincir dan seterusnya. Nyatanya, kita malah melihat puncak yang indah, dan hamparan bunga edelweis yang menakjubkan.
Memang kaki kita babak belur, dan sepanjang perjalanan ada jalur yang licin dan membuat Anda terjatuh. Tetapi semuanya bisa diatasi.
Sewaktu memasuki SLTA saya juga ditakut-takuti. Maklum ini SMA elit di tengah-tengah Menteng – Jakarta Pusat, yang rata-rata siswanya berasal dari kalangan atas. Selain mahal rata-rata alumnusnya diterima di kampus-kampus elit menjadi dokter, insinyur atau ekonom. Dan bahkan banyak yang keluar negeri. Namun sewaktu diterima, semuanya terbelalak.
Demikian juga sewaktu penentuan uang sekolah, tergantung pada kemampuan masing-masing. Dan orang tua saya hanya bisa mengatakan tak semenakutkan yang dikatakan banyak orang.
Krisis Ekonomi?
Demikianlah dalam hidup, kita selalu berhadapan dengan orang-orang yang gemar menakut-nakuti yang tujuannya mungkin baik, tetapi mungkin juga tidak. iapa yang akan mempercayai mereka?
Tentu orang-orang yang belum berpengalaman, yang punya harta banyak, yang takut kehilangan dan mereka yang tidak mau. Tidak mau apa? Ya tak mau kerja, tak mau berpikir.
Ada pepatah mengatakan, “If you want to, you’ll find the way. If you don’t want to, you’ll find excuses.” Artinya, hanya orang-orang yang mau bergerak yang akan menemukan jalannya. Sedangkan yang tak menginginkannya, akan terus membuat-buat alasan, merangkai cerita dan mengirim berita negatif.
Kehidupan ini sesungguhnya bukanlah kumpulan dari ramalan-ramalan perorangan yang berisi khayalan dan ocehan, melainkan sebuah akibat dari perbuatan jutaan manusia yang saling berinteraksi. Ada yang mengambil tindakan, dan ada yang bereaksi. Semua terpulang pada apa yang dipikirkan dan yang dipercayai.
Semua gagasan dan opini bertarung untuk meyakinkan sesuatu sambil berharap menjadi langkah yang masif. Ekonomi adalah sebuah kumpulan perilaku yang outcome-nya akibat dari perbuatan manusia, yang akhirnya membentuk sebuah pola. Pola itu bisa bergerak ke atas, bisa juga ke bawah. Bila itu bergerak ke bawah, bisa saja ia menukik balik ke atas, menjadi anomali karena manusianya berpikir positif.
Sebaliknya ia bisa bergerak makin liar, jatuh ke jurang (kendati fundamental ekonominya bagus), karena kita saling menyepak, menyalahkan, menakut-nakuti, dan menolak untuk bekerjasama karena mempercayai yang negatif.
Sikap suatu bangsa terhadap krisis sesungguhnya tercemin dalam apa yang mereka definisikan pada kata krisis itu sendiri. Di Barat, krisis dimaknai sebagai “Sebuah titik belok” for better or for worse.
Di China ia sebagai wei-ji yang artinya “kesempatan” atau ”peluang” dalam bahaya. Tetapi di sini, di Indonesia, John Echols dan Hassan Shadily (Kamus Bahasa Inggris-Indonesia) menjelaskan: krisis adalah sebuah situasi yang gawat, genting atau kemelut.
Krisis akan benar-benar membuat para penakut kecut saat media sosial dan media massa ramai-ramai melaporkan suasana yang genting. Hanya karena dollar melambung seribu – dua ribu perak dalam sebulan ini. Pokoknya mencekam. Padahal pengusaha tahu, PHK butuh proses dan makan waktu berbulan-bulan dan amat mahal. Mana mungkin begitu dolar melambung pengusaha langsung PHK minggu depannya.
Sekarang tampak betul adanya kelompok yang menakut-takuti masyarakat karena tidak ingin kita keluar dari kesulitan. Untuk keluar dari lembah terdalam, pertama-tama kita harus percaya pada kekuatan kita, lalu bekerjasama, saling membangun. Bukan saling mengejek dan menarik kaki mereka yang tangannya sudah menyentuh bibir jurang.
Lantas siapa yang tidak mempan ditakut-takuti? Pertama, pasti kaum beriman. Mereka adalah orang yang percaya akan bantuan Allah dan terus berupaya. Kedua, mereka yang sudah berpengalaman, yang tahu bahwa susah tak akan berlansung selamanya.
Konflik Etnis Kalbar
Ini juga konflik yang mencekam. Saya teringat dengan konflik etnis di Kalbar 1999. Sebagai dosen terbang di Universitas Tanjung Pura, keluarga saya tentu terkejut ketika ada seseorang mengirimkan faksimili tentang kepala seorang petugas keamanan yang dipancung dan ditaruh di pagar hotel.
Keluarga saya menjadi heboh dan minta agar saya tidak berangkat. Tapi saya katakan mengajar ini juga ibadah. Anak-anak gelisah karena tahu kalau soal pendidikan, ayahnya tak bisa menyurutkan langkah. Mereka menelfon Kampus. Mahasiswa yang menjawab berebut bicara. “Minta tolong agar ayahmu berangkat, kami sudah lengkap dan menunggu,” kata mahasiswa saya.
Saya tak tahu percakapan selanjutnya, karena sudah harus segera berangkat. Di atas pesawat saya lihat bangku-bangku kosong ditinggalkan penumpang yang ketakutan. Purser yang bertugas, mengajak saya bicara dan bertanya-tanya mengapa saya nekat berangkat. Mereka menggunjingkan saya yang duduk di sudut jendela tanpa teman.
Di Bandara Supadio, Pak Efi, pimpinan universitas menjemput saya dengan riang. Putra Melayu asli Kalbar itu bercerita panjang lebar tentang kejadian beberapa hari lalu. Tetapi selebihnya tak ada tanda-tanda kejadian yang mengerikan di sana.
Pontianak aman dan mahasiswa saya bertepuk tangan saat menyambut saya karena kabarnya hanya satu dosen yang “berani” datang. Padahal mereka rata-rata berjuang 8 – 12 jam datang dari berbagai daerah pedalaman untuk mendengarkan kuliah saya.
Saya pun memberi bonus waktu dan bermalam di sana bersama mereka. Esoknya kami menengok para pengungsi dan mereka mentraktir saya makan kwetiau Apolo yang terkenal itu.
Saya katakan, sewaktu keadaan sulit kita justru harus belanja agar uang berputar. Mereka pun setuju dan pemilik warung gembira. Pegawainya pun bisa gajian.
Kita Aktor Utamanya
Belajar dari beragam peristiwa di atas, saya perlu mengajak Anda semua agar tidak tercekam dengan rasa takut yang berlebihan. Hidup bukanlah sebuah episode spekulasi seperti kita yang kini terperangkap menerka kurs dolar. Hidup adalah sebuah perjalanan panjang untuk meraih keberhasilan.
Kita sudah membuktikan bahwa hasil yang kita capai adalah berasal dari kerja keras, kepercayaan dan kreativitas. Bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, kita semua sepakat. Tetapi kita perlu berusaha semaksimal mungkin.
Benar, kita adalah aktor ekonomi, jadi hasil akhir dari episode kenaikan atau menguatnya dollar AS adalah juga karena peran kecil kita. Tetapi dalam usaha dan pekerjaan yang kita jalankan, kita adalah aktor utamanya. Mengapa ada pihak yang gemar menakut-nakuti?
Tentu ada banyak jawaban. Ada yang terlalu sayang dengan anda, tetapi juga benar, ada yang tak mau anda berhasil. Bagi kaum pemalas ini adalah kesempatan untuk beristirahat.
Bagi yang culas, setiap keberhasilan anda adalah tamparan besar bagi mereka. Itu sebabnya mereka akan terus menakut-nakuti, mencela, bahkan memasang perangkap dan beragam ranjau agar anda jatuh dan berhenti. Tetapi itu tak akan berarti kalau bangsa ini bukan penakut.
Sumber : unknown
kenali untuk mendeteksi pria materialistis alias matre. Check it out!
1. Awalnya tidak pelit
Tipe pria matre ini awalnya memang tergolong royal. Pada awalnya dia menghujani Anda kiriman bunga, cokelat, dan benda-benda unik. Tentunya, Anda bisa luluh pada godaan pria romantis itu. Tapi belum tentu pria ini matre, jadi perhatikan lagatnya setelah beberapa waktu, apakah berubah dan justru mulai berani meminjam/meminta sesuatu kepada anda? Jika iya, bingo!.
2. Penampilan gaya
Sebagai wanita, sebaiknya mengenal baik pria seperti apa yang sedang mendekati Anda. Jangan mudah tertarik pada penampilan saja, sebab biasanya pria matre itu penampilannya bergaya. Untuk mengenalinya juga bisa dilihat dari cara dia memilih teman dan pasangan. Coba perhatikan, siapa-siapa saja temannya atau mantan-mantannya. Apakah selama ini ia hanya bergaul dengan kalangan jetset saja atau tidak.
3. Banyak alasan pada saat mau membayar sesuatu
Pria matre biasanya enggan mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk keperluan pasangannya. Dan, kondisi semacam ini berlangsung terus-menerus. Ciri lainnya, mereka terlalu berhitung alias pelit, tapi bisa royal untuk kesenangannya sendiri. Mereka juga tidak punya rasa sungkan untuk meminta sesuatu dari sang kekasih.
4. Narsis tanpa bukti
Biasanya pria matre ini mengaku punya perusahaan sendiri namun tidak bersedia menyebutkan lokasi kantornya, ini salah satu tandanya. Sering mengumbar kekayaan dirinya ataupun orangtuanya demi membuat wanita merasa tidak masalah bila memberikan uang. Hati-hati cantik untuk pria berlagat seperti ini.
5. Memanfaatkan kelemahan perempuan
Pria matre hanya fokus pada kekayaan yang dimiliki perempuan. Kecenderungannya, Pria ini mencari pasangan yang tak percaya diri namun banyak harta. Ketidakpercayaan diri perempuan, sebagai kelemahan, justru memudahkan cowok ini meluncurkan aksinya untuk mengeruk harta pasangannya.
6. Atraktif di mall dan tempat shopping
Coba ajak Pria yang Anda curigai sebagai pendulang emas ini ke mall. Katakan padanya, Anda baru saja mendapat bonus dari kantor dan bermaksud membelanjakannya. Biasanya, pria super matre ini akan terlihat lebih bersemangat mencoba berbagai jenis barang bagus dan mahal, terutama barang yang menjadi incarannya.
Ketika rasa ingin membeli muncul, ia akan bertanya, “Bagus tidak sayang?”
Kalau Anda menjawab bagus, ia akan berkata, “Aduh, sayangnya dompetku ketinggalan. Kamu bayarin dulu, ya?”
7. Sering pinjam uang
Pria ini selalu punya alasan untuk meminjam uang kepada pasangannya. Mulai ibunya sakit keras, adiknya di luar negeri kecelakaan mobil, apa pun dijadikan alasan untuknya meminjam uang kepada Anda. Percayalah, ia tidak akan mengembalikan uang itu, bahkan sampai hubungan Anda dan dia berakhir.
Menghadapi pria matre ini anda bisa melalukan beberapa tindakan. Misalnya, Anda yang biasanya murah hati, tiba-tiba menolak jika dia meminta sesuatu. Atau, biasanya ringan mentraktir, jadi mulai hitung-hitungan. Yang biasanya mudah memberi hadiah, dihentikan dulu untuk sementara.
Lakukan berulang kali agar ia menangkap isyarat pelan-pelan, tapi ‘menusuk’ dari Anda. Cara ini cukup mujarap dan jitu untuk mengukur kesungguhan cintanya dan sedikit menyentil hatinya yang kikir. Bukankah tanggung jawab seperti demikian itu adalah tugas laki-laki?. Bila saat pacaran dia sudah berani seperti ini, apalagi kalau sudah menikah.
Jika ia belum menyadari dan berubah dari sifat matrenya, apa boleh buat, anda harus berani mengambil keputusan untuk kelanjutan hubungan anda. Karena, banyak kasus konflik suami-istri yang berakhir pada perceraian, bersumber dari masalah keuangan.
Jangan mau ambil resiko cantik, pria seperti ini tidak pantas untuk kalian yang baik. Cintailah pria yang tulus mencintai anda, bukan mencintai materi anda. So, keep be carefull
Sumber : unknown
Ekonomi

Hati-hati "Sudden Shift", Fenomena Perubahan Abad Ke-21

ist
Prof Rhenald Kasali
Senin, 24 Agustus 2015 | 05:41 WIB
Oleh Rhenald Kasali @Rhenald_Kasali
KOMPAS.com — Lima tahun yang lalu, mantan Dirut Pertamina, Ari Soemarno, pernah menyampaikan sepotong data kepada saya. Itu tentang shale gas, yang kalau sampai kongres Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk dieksplor dan diekspor, maka harga gas dunia akan turun.
Data itu rupanya segera direspons oleh para pemain saham yang mengakibatkan harga-harga saham perusahaan tambang batubara kita anjlok. Mengapa demikian? Inilah gejala perubahan mendasar yang disebut 3S: sudden shift, speed, dan surprise!"
Sudden shift
Daripada mereka-reka kapan dollar AS akan kembali turun, atau tenggelam dalam rasa takut yang besar bahwa PHK besar-besaran akan terjadi, lebih baik kita paham apa yang tengah terjadi, mengapa, dan bagaimana meresponsnya.
Gejala ini kita sebut sudden shift (tiba-tiba berpindah). Faktanya, konsumennya tetap di situ, populasinya tetap besar (8 miliar jiwa), semuanya butuh makan, minum, transportasi, gadget, hiburan, dan sebagainya. Akan tetapi, siapa yang menikmati perpindahan itu?
Sudah begitu, perpindahannya mengejutkan karena seakan tiba-tiba (sudden), cepat sekali (speed), dan membuat kita terkaget-kaget (surprise). Mengapa? Ini karena kita mengabaikan, kita menyangkal, kita gemar berolok-olok, berpolitik, bersiasat, berpura-pura menyelamatkan (padahal menyesatkan); kadang mengatasnamakan rakyat pula, menghiburnya, berpura-pura seakan-seakan masalahnya ada di tempat lain.
Kembali ke shale gas, Ari Soemarno memberi tahu saya bahwa cost-nya sangat rendah, demikian harga jualnya, yakni seperempat dari harga jual gas konvensional. Saya membayangkan, begitu informasi itu beredar, maka para pemakai minyak (oil) pun akan beralih. Oleh karenanya, harga minyak pun akan guncang. Lalu pada akhirnya, tambang energi lain akan terganggu: batubara.
Di luar dugaan saya, ternyata batubara terkena imbasnya lebih dulu, lalu baru minyak. Maklum, harga kertasnya (saham) sudah lama dijadikanbubble; lagi pula, ia sangat merusak lingkungan. Kini harga minyak dunia baru turun 50-60 persen. Para ahli menduga, ia masih akan turun hingga sekitar 10 dollar AS (saat ini masih sekitar 47 dollar AS) per barrel.
Bisa dibayangkan kerugian apa yang akan diderita pengusaha-pengusaha minyak, kalau mereka tak berani merevolusi biaya-biaya "kenikmatan" yang selama ini sudah dirasakan para pegawai. Dulu, saat harga minyak di bawah 10 dollar AS per barrel, mereka sanggup berproduksi dengan biaya 6 dollar AS per barrel. Namun, begitu harga pasarnya 120 dollar AS per barrel, mereka berproduksi dengan biaya 100 dollar AS per barrel. Segala yang membuatnya mahal akan membuat manusia meningkatkan biaya kenikmatan.
Zalora
Di Bandara Halim Perdanakusuma, saya menerima CEO Zalora Indonesia. Anak-anak muda tentu lebih tahu apa itu Zalora. Ini situs belanja online yang sedang digemari konsumen muda. Dengan belanjaonline, selain mendapat barang-barang baru, anak-anak muda bisa mendapat harga yang lebih murah.
Saat itu, saya baru membaca data penjualan ritel Indonesia yang dilaporkan turun besar-besaran. Keadaan ekonomi pun kita persalahkan. Bahkan, para politisi menduga adanya miss managementdalam pemerintahan.
Saat industri ritel konvensional melaporkan penurunan 3-4 persen, Zalora justru mengatakan bahwa omzet mereka naik 240 persen. "Dalam dunia online, kalau kami tumbuhnya di bawah 100 persen, itu sama dengan kegagalan," ujar mereka.
Saya pikir Zalora masih kecil. Namun, bayangan saya kembali ke tahun 1998 saat semua orang dicekam rasa takut akibat gelombang PHK. Investor asing pun hengkang. Ketika para ekonom di Fakultas Ekonomi UI masih berpikir keras bagaimana menciptakan iklim yang kondusif agar investasi asing kembali lagi, saya memilih untuk mendorong lahirnya entrepreneur lokal.
Saya masih ingat ejekan para ekonom yang mengabaikan kemampuan bangsa ini berwirausaha. Saya bahkan ditanya, apa bisnis yang akan dikembangkan wirausaha lokal? Saya sebutkan nama-nama produk mereka: kacang (Garuda dan Dua Kelinci), herbal (Sido Muncul), kosmetik (Wardah), bola buatan masyarakat di Majalengka, dan lain-lain.
Di luar perkiraan saya, mereka mempertanyakan, "Sampai kapan kacang dan jamu bisa menciptakan lapangan kerja? Yang bisa itu otomotif. Rakyat kita itu pegawai, bukan entrepreneur."
Anda tahu berapa jumlah wirausaha kita sekarang? Jangan lagi mengatakan masih di bawah 1 persen. Kalau mereka yang sudah terlibat dalam sektor informal saja sudah 60 juta orang, bisa hitung sendiri berapa banyak orang yang sudah bergulat dalam bidang kewirausahaan.
Demikian juga dengan Zalora dan mereka yang bergerak dalam sektor ekonomi kreatif lainnya, jumlahnya saat ini memang masih kecil. Namun, mereka memiliki daya disruptif yang bisa menggerus para pelaku usaha konvensional.
Semua shifting
Pergeseran konsumsi tak hanya terjadi dalam dunia energi dan belanja, tetapi juga dalam konsumsi di segala bentuk kehidupan kita. Semuanya bergeser. Keseimbangan baru belum terbentuk, tetapi pindah-pindahnya mulai terasa.
Minggu lalu, 17 Agustus 2015, Indonesia-X baru saja meluncurkan situs belajar bebas biaya (massive online course). Rumah Perubahan ikut didalamnya.
Pernahkah Anda membayangkan bahwa kampus-kampus besar sedang berjuang melawan perubahan? Ya, di seluruh dunia, bukan cuma surat kabar berbasis kertas yang kesulitan karena hadirnya media-media online, kampus–kampus juga kini ditantang dunia untuk belajar online.
Bahkan gelar akademis pun kini mulai ditinggalkan para kaum terpelajar dunia. Para pemberi kerja mulai melirik mereka–mereka yang tak bergelar. Dari "siapa kamu" (atau "apa gelar akademismu"), dunia manajemen mulai beralih pada "apa yang bisa kamu lakukan". Lihatlah di perusahaan-perusahaan besar, di kartu-kartu nama para pimpinan dan stafnya. Tak banyak lagi yang mencantumkan gelar akademisnya.
Gerakan masif ini membuat kaum muda beralih dari membeli degree (gelar formal) menjadi membeli keahlian dan paket–paket kursus, yang mereka ramu sendiri racikannya. Ini bukan lagi racikan akademik yang dibuat pemerintah karena mereka ingin membangun keahlian yang unik, yang tidak massal dan siap pakai. Pasar tenaga kerja global pun mengakomodasi mereka. Apa yang bisa mereka berikan di dunia kerja bukan lagi rangkaian mata kuliah racikan kampus.
Indonesia-X dengan demikian menjadi pelopor belajar online yang heboh. Kelak, Anda bisa mengambil kursus apa saja. Karena murah (gratis),switching cost-nya menjadi rendah. Perubahan pun terjadi.
Go-Jek, Uber, Seven Eleven, dan lain-lain.
Kalau Anda belum puas dengan contoh–contoh di atas, maka pelajarilah segala fenomena di dunia transportasi, ritel, telekomunikasi, trading, financing, dan sebagainya. Anda pasti akan menyaksikan gejala sudden shift ini.
Konsumen perbankan pun mulai meninggalkan kunjungan ke loket-loket bank. Mereka beralih kemobile banking. Pemakaian voice dalam berkomunikasi beralih ke cara-cara baru: data. Darivoice ke BBM, lalu pindah lagi ke Whatsapp dan media sosial.
Sama halnya pertarungan sengit yang tengah dihadapi tukang-tukang ojek pangkalan versus Go-Jek dan Grab-Bike, atau taksi biasa versus Uber. Semua mengalami gejala shifting.
Jadi, jangan melulu menyalahkan krisis ekonomi dunia karena krisis berdampak pada semua usaha, dan kali ini terjadi luas di seluruh dunia. Yang jauh lebih penting bukan krisis itu sendiri, bukan dollar AS, melainkan mengenai apa respons kita terhadap usaha yang kita jalani, dan apa respons kita untuk mempersiapkan masa depan anak-anak kita dalam dunia yang benar-benar baru ini.
Kalau Anda diamkan, bukan krisis yang menghantam, melainkan persaingan baru melaluibusiness model yang benar-benar berbeda.
Lagi pula, krisis selalu menjadi alasan bagi kaum malas untuk berhenti bekerja, dan bagi mereka yang senang mencari kambing hitam untuk menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukannya.
Selamat merenungkannya!
Sumber : unknown

Hati-hati "Sudden Shift", Fenomena Perubahan Abad Ke-21

ist
Prof Rhenald Kasali
Senin, 24 Agustus 2015 | 05:41 WIB
Oleh Rhenald Kasali @Rhenald_Kasali
KOMPAS.com — Lima tahun yang lalu, mantan Dirut Pertamina, Ari Soemarno, pernah menyampaikan sepotong data kepada saya. Itu tentang shale gas, yang kalau sampai kongres Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk dieksplor dan diekspor, maka harga gas dunia akan turun.
Data itu rupanya segera direspons oleh para pemain saham yang mengakibatkan harga-harga saham perusahaan tambang batubara kita anjlok. Mengapa demikian? Inilah gejala perubahan mendasar yang disebut 3S: sudden shift, speed, dan surprise!"
Sudden shift
Daripada mereka-reka kapan dollar AS akan kembali turun, atau tenggelam dalam rasa takut yang besar bahwa PHK besar-besaran akan terjadi, lebih baik kita paham apa yang tengah terjadi, mengapa, dan bagaimana meresponsnya.
Gejala ini kita sebut sudden shift (tiba-tiba berpindah). Faktanya, konsumennya tetap di situ, populasinya tetap besar (8 miliar jiwa), semuanya butuh makan, minum, transportasi, gadget, hiburan, dan sebagainya. Akan tetapi, siapa yang menikmati perpindahan itu?
Sudah begitu, perpindahannya mengejutkan karena seakan tiba-tiba (sudden), cepat sekali (speed), dan membuat kita terkaget-kaget (surprise). Mengapa? Ini karena kita mengabaikan, kita menyangkal, kita gemar berolok-olok, berpolitik, bersiasat, berpura-pura menyelamatkan (padahal menyesatkan); kadang mengatasnamakan rakyat pula, menghiburnya, berpura-pura seakan-seakan masalahnya ada di tempat lain.
Kembali ke shale gas, Ari Soemarno memberi tahu saya bahwa cost-nya sangat rendah, demikian harga jualnya, yakni seperempat dari harga jual gas konvensional. Saya membayangkan, begitu informasi itu beredar, maka para pemakai minyak (oil) pun akan beralih. Oleh karenanya, harga minyak pun akan guncang. Lalu pada akhirnya, tambang energi lain akan terganggu: batubara.
Di luar dugaan saya, ternyata batubara terkena imbasnya lebih dulu, lalu baru minyak. Maklum, harga kertasnya (saham) sudah lama dijadikanbubble; lagi pula, ia sangat merusak lingkungan. Kini harga minyak dunia baru turun 50-60 persen. Para ahli menduga, ia masih akan turun hingga sekitar 10 dollar AS (saat ini masih sekitar 47 dollar AS) per barrel.
Bisa dibayangkan kerugian apa yang akan diderita pengusaha-pengusaha minyak, kalau mereka tak berani merevolusi biaya-biaya "kenikmatan" yang selama ini sudah dirasakan para pegawai. Dulu, saat harga minyak di bawah 10 dollar AS per barrel, mereka sanggup berproduksi dengan biaya 6 dollar AS per barrel. Namun, begitu harga pasarnya 120 dollar AS per barrel, mereka berproduksi dengan biaya 100 dollar AS per barrel. Segala yang membuatnya mahal akan membuat manusia meningkatkan biaya kenikmatan.
Zalora
Di Bandara Halim Perdanakusuma, saya menerima CEO Zalora Indonesia. Anak-anak muda tentu lebih tahu apa itu Zalora. Ini situs belanja online yang sedang digemari konsumen muda. Dengan belanjaonline, selain mendapat barang-barang baru, anak-anak muda bisa mendapat harga yang lebih murah.
Saat itu, saya baru membaca data penjualan ritel Indonesia yang dilaporkan turun besar-besaran. Keadaan ekonomi pun kita persalahkan. Bahkan, para politisi menduga adanya miss managementdalam pemerintahan.
Saat industri ritel konvensional melaporkan penurunan 3-4 persen, Zalora justru mengatakan bahwa omzet mereka naik 240 persen. "Dalam dunia online, kalau kami tumbuhnya di bawah 100 persen, itu sama dengan kegagalan," ujar mereka.
Saya pikir Zalora masih kecil. Namun, bayangan saya kembali ke tahun 1998 saat semua orang dicekam rasa takut akibat gelombang PHK. Investor asing pun hengkang. Ketika para ekonom di Fakultas Ekonomi UI masih berpikir keras bagaimana menciptakan iklim yang kondusif agar investasi asing kembali lagi, saya memilih untuk mendorong lahirnya entrepreneur lokal.
Saya masih ingat ejekan para ekonom yang mengabaikan kemampuan bangsa ini berwirausaha. Saya bahkan ditanya, apa bisnis yang akan dikembangkan wirausaha lokal? Saya sebutkan nama-nama produk mereka: kacang (Garuda dan Dua Kelinci), herbal (Sido Muncul), kosmetik (Wardah), bola buatan masyarakat di Majalengka, dan lain-lain.
Di luar perkiraan saya, mereka mempertanyakan, "Sampai kapan kacang dan jamu bisa menciptakan lapangan kerja? Yang bisa itu otomotif. Rakyat kita itu pegawai, bukan entrepreneur."
Anda tahu berapa jumlah wirausaha kita sekarang? Jangan lagi mengatakan masih di bawah 1 persen. Kalau mereka yang sudah terlibat dalam sektor informal saja sudah 60 juta orang, bisa hitung sendiri berapa banyak orang yang sudah bergulat dalam bidang kewirausahaan.
Demikian juga dengan Zalora dan mereka yang bergerak dalam sektor ekonomi kreatif lainnya, jumlahnya saat ini memang masih kecil. Namun, mereka memiliki daya disruptif yang bisa menggerus para pelaku usaha konvensional.
Semua shifting
Pergeseran konsumsi tak hanya terjadi dalam dunia energi dan belanja, tetapi juga dalam konsumsi di segala bentuk kehidupan kita. Semuanya bergeser. Keseimbangan baru belum terbentuk, tetapi pindah-pindahnya mulai terasa.
Minggu lalu, 17 Agustus 2015, Indonesia-X baru saja meluncurkan situs belajar bebas biaya (massive online course). Rumah Perubahan ikut didalamnya.
Pernahkah Anda membayangkan bahwa kampus-kampus besar sedang berjuang melawan perubahan? Ya, di seluruh dunia, bukan cuma surat kabar berbasis kertas yang kesulitan karena hadirnya media-media online, kampus–kampus juga kini ditantang dunia untuk belajar online.
Bahkan gelar akademis pun kini mulai ditinggalkan para kaum terpelajar dunia. Para pemberi kerja mulai melirik mereka–mereka yang tak bergelar. Dari "siapa kamu" (atau "apa gelar akademismu"), dunia manajemen mulai beralih pada "apa yang bisa kamu lakukan". Lihatlah di perusahaan-perusahaan besar, di kartu-kartu nama para pimpinan dan stafnya. Tak banyak lagi yang mencantumkan gelar akademisnya.
Gerakan masif ini membuat kaum muda beralih dari membeli degree (gelar formal) menjadi membeli keahlian dan paket–paket kursus, yang mereka ramu sendiri racikannya. Ini bukan lagi racikan akademik yang dibuat pemerintah karena mereka ingin membangun keahlian yang unik, yang tidak massal dan siap pakai. Pasar tenaga kerja global pun mengakomodasi mereka. Apa yang bisa mereka berikan di dunia kerja bukan lagi rangkaian mata kuliah racikan kampus.
Indonesia-X dengan demikian menjadi pelopor belajar online yang heboh. Kelak, Anda bisa mengambil kursus apa saja. Karena murah (gratis),switching cost-nya menjadi rendah. Perubahan pun terjadi.
Go-Jek, Uber, Seven Eleven, dan lain-lain.
Kalau Anda belum puas dengan contoh–contoh di atas, maka pelajarilah segala fenomena di dunia transportasi, ritel, telekomunikasi, trading, financing, dan sebagainya. Anda pasti akan menyaksikan gejala sudden shift ini.
Konsumen perbankan pun mulai meninggalkan kunjungan ke loket-loket bank. Mereka beralih kemobile banking. Pemakaian voice dalam berkomunikasi beralih ke cara-cara baru: data. Darivoice ke BBM, lalu pindah lagi ke Whatsapp dan media sosial.
Sama halnya pertarungan sengit yang tengah dihadapi tukang-tukang ojek pangkalan versus Go-Jek dan Grab-Bike, atau taksi biasa versus Uber. Semua mengalami gejala shifting.
Jadi, jangan melulu menyalahkan krisis ekonomi dunia karena krisis berdampak pada semua usaha, dan kali ini terjadi luas di seluruh dunia. Yang jauh lebih penting bukan krisis itu sendiri, bukan dollar AS, melainkan mengenai apa respons kita terhadap usaha yang kita jalani, dan apa respons kita untuk mempersiapkan masa depan anak-anak kita dalam dunia yang benar-benar baru ini.
Kalau Anda diamkan, bukan krisis yang menghantam, melainkan persaingan baru melaluibusiness model yang benar-benar berbeda.
Lagi pula, krisis selalu menjadi alasan bagi kaum malas untuk berhenti bekerja, dan bagi mereka yang senang mencari kambing hitam untuk menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukannya.
Selamat merenungkannya!
Sumber : unknown
Kultwit Rhenald Kasali 3/8 2015.
(1) Bangsa yg Punya mata uang kuat itu menyenangkan tp juga berbahaya. Alam semesta ini selalu balance… maka akan ada masanya mencapai equilibrium.
(2) Menjadi pertanyaan mengapa Rupiah terkesan loyo? Apakah benar dia yg loyo atau karena the USD is too strong? Jawabnya adalah mata uang USD saat ini tengah berada pada posisi super strong dan ini sesungguhnya rawan juga bagi Amerika, krn exportnya jadi tidak kompetitif. P&G, Coke, GE, Catterpilar, Detroit, Microsoft, Aple..dll bakal kesulitan.
(3) Tapi ini terjadi merata, bukan krn mata uang lain yg loyo, tapi karena kebijakan jangka menengah The Fed, begini ceritanya.
(4) Pada tahun 2008 Amerika dilanda krisis. Mereka pontang-panting. Obama pusing, maka dicari jalan keluar.
(5) Tahun 2009 The Fed (bank central Amerika) mulai mengambil kebijakan Quantitative Easing secara besar2an. Intinya, Amerika mencetak dolar dalam jumlah besar untuk menarik obligasinya. Jumlahnya amat besar: USD 3.5-4.5 T.
(6) Dengan program itu, dolar mengalir deras ke emerging countries, termasuk Brazil, Indonesia, Chili dll.
(7) Dengan demikian supply dollar di emerging countries jadi berlimpah, wajar kl kursnya turun. Dan Rupiah terkesan membaik saat itu. Maka mata uang berbagai bangsa, antara 2009-2012 terkesan menguat, dan kepala2 negara emerging countries senang.
(Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD)
2009 : 9.447,00
2010 : 9.036,00
2011 : 9.113,00
2012 : 9.718,00
2013 : 12.250,00
2014 : 12.500,00
2015 : 13.500,00
(8) Sayangnya kebijakan itu ada batas waktunya, dan pemerintah Amerika sudah jauh2 hari mengingatkan akan ada batas waktunya dan batas waktunya adalah tahun lalu.
(9) Program quantitative easing diakhiri bertahap. Rupiah yg menguat 2009-2013.
(10) Perlahan2 goyah Quantitative easing diakhiri, dolar dipanggil pulang. Bunga T-bond dilepas, naik perlahan- lahan, dolar pun pulang kandang ke USA
(11) Investor di US yg senang bisa dapat return lbh baik, tapi yg meminjam jadi kena beban bunga lebih mahal. Maka mereka yg biasa pinjam uang di bank USA utk main saham di Asia dan Amerika Latin mulai mengurungkan niatnya. Pasokan dolar di negara2 Asia tiba-tiba menjadi seret, dan menguatlah dolar. Dollar mengguncang bukan hanya indonesia.
(12) Menurut Morgan Stanley, The Fed dan bbrp biro riset, negara yg bakal mengalami negara yg bakal mengalami kesulitan utama: Brazil, Chile, Turkey, Afsel, lalu kemungkinan Indonesia. Itu sdh diumumkan th lalu. Menjadi masalah, sejak 2009 kita tak membuat planning apa2.
(13) Bahkan subsidi BBM tdk dialihkan ke sektor produktif Infrastruktur tdk dibangun, penegakkan hukum terkesan diabaikan, pelabuhan tidak dibenahi sejak 5 thn lalu. Dgn demikian, saatnya tiba kita tdk siap.
(14) Bahkan hiruk pikuk politik membuat kebijakan Menkeu yg saat itu dijabat Sri Mulyani menjadi krg berkesinambungan.
(15) Kini masalahnya sudah di depan mata...ibarat kita ingin merubah udara panas menjadi hujan, rasanya sia2. Tapi bukan tak ada jalan. Sampai di sini dulu ya agar kita paham penyebabnya...nanti kita lanjutkan lagi.
Kiriman Rhenald Kasali di grup FE UI Angk 80.
(1) Bangsa yg Punya mata uang kuat itu menyenangkan tp juga berbahaya. Alam semesta ini selalu balance… maka akan ada masanya mencapai equilibrium.
(2) Menjadi pertanyaan mengapa Rupiah terkesan loyo? Apakah benar dia yg loyo atau karena the USD is too strong? Jawabnya adalah mata uang USD saat ini tengah berada pada posisi super strong dan ini sesungguhnya rawan juga bagi Amerika, krn exportnya jadi tidak kompetitif. P&G, Coke, GE, Catterpilar, Detroit, Microsoft, Aple..dll bakal kesulitan.
(3) Tapi ini terjadi merata, bukan krn mata uang lain yg loyo, tapi karena kebijakan jangka menengah The Fed, begini ceritanya.
(4) Pada tahun 2008 Amerika dilanda krisis. Mereka pontang-panting. Obama pusing, maka dicari jalan keluar.
(5) Tahun 2009 The Fed (bank central Amerika) mulai mengambil kebijakan Quantitative Easing secara besar2an. Intinya, Amerika mencetak dolar dalam jumlah besar untuk menarik obligasinya. Jumlahnya amat besar: USD 3.5-4.5 T.
(6) Dengan program itu, dolar mengalir deras ke emerging countries, termasuk Brazil, Indonesia, Chili dll.
(7) Dengan demikian supply dollar di emerging countries jadi berlimpah, wajar kl kursnya turun. Dan Rupiah terkesan membaik saat itu. Maka mata uang berbagai bangsa, antara 2009-2012 terkesan menguat, dan kepala2 negara emerging countries senang.
(Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD)
2009 : 9.447,00
2010 : 9.036,00
2011 : 9.113,00
2012 : 9.718,00
2013 : 12.250,00
2014 : 12.500,00
2015 : 13.500,00
(8) Sayangnya kebijakan itu ada batas waktunya, dan pemerintah Amerika sudah jauh2 hari mengingatkan akan ada batas waktunya dan batas waktunya adalah tahun lalu.
(9) Program quantitative easing diakhiri bertahap. Rupiah yg menguat 2009-2013.
(10) Perlahan2 goyah Quantitative easing diakhiri, dolar dipanggil pulang. Bunga T-bond dilepas, naik perlahan- lahan, dolar pun pulang kandang ke USA
(11) Investor di US yg senang bisa dapat return lbh baik, tapi yg meminjam jadi kena beban bunga lebih mahal. Maka mereka yg biasa pinjam uang di bank USA utk main saham di Asia dan Amerika Latin mulai mengurungkan niatnya. Pasokan dolar di negara2 Asia tiba-tiba menjadi seret, dan menguatlah dolar. Dollar mengguncang bukan hanya indonesia.
(12) Menurut Morgan Stanley, The Fed dan bbrp biro riset, negara yg bakal mengalami negara yg bakal mengalami kesulitan utama: Brazil, Chile, Turkey, Afsel, lalu kemungkinan Indonesia. Itu sdh diumumkan th lalu. Menjadi masalah, sejak 2009 kita tak membuat planning apa2.
(13) Bahkan subsidi BBM tdk dialihkan ke sektor produktif Infrastruktur tdk dibangun, penegakkan hukum terkesan diabaikan, pelabuhan tidak dibenahi sejak 5 thn lalu. Dgn demikian, saatnya tiba kita tdk siap.
(14) Bahkan hiruk pikuk politik membuat kebijakan Menkeu yg saat itu dijabat Sri Mulyani menjadi krg berkesinambungan.
(15) Kini masalahnya sudah di depan mata...ibarat kita ingin merubah udara panas menjadi hujan, rasanya sia2. Tapi bukan tak ada jalan. Sampai di sini dulu ya agar kita paham penyebabnya...nanti kita lanjutkan lagi.
Kiriman Rhenald Kasali di grup FE UI Angk 80.
Subscribe to:
Posts (Atom)