Thursday, February 14, 2013

Melihat Jepang dari Dekat


Salju baru saja turun ketika sampai di Bandara Narita. Saya akan berada di Negeri Mata Hari Terbit ini selama 10 hari mengunjungi beberapa tempat, seperti sekolahan, kuil, universitas, mengikuti upacara sado, setsubun, dan berkunjung ke tempat-tempat wisata dan bersejarah.

Begitu keluar dari bandara saya langsung disergap udara dingin. Saya datang di bulan Januari ketika Jepang memasuki akhir musim dingin. Jepang mengenal empat musim: musim panas (natsu), Juni, Juli, Agustus; musim gugur (aki), September, Oktober, November; musim dingin (fuyu), Desember, Januari, Februari; dan musim semi (haru), Maret, April, dan Mei.

Jepang merupakan salah satu negara maju: Negara Asia yang berhasil belajar pada Barat (Eropa) tapi tak “terbaratkan”. Tahun 1890-an Jepang sudah modern dan meninggalkan negara-negara Asia lainnya. Meski banyak belajar dan bersentuhan dengan Barat, Jepang berhasil mempertahankan identitas kebudayaannya. Banyak tempat-tempat bersejarah di Jepang yang masih terawat dengan baik. Sebagai bangsa besar, Jepang menyimpan banyak tradisi dan kebudayan yang sampai sekarang masih dipertahankan. 

Di sini saya seperti menemukan pemandangan baru yang belum saya temukan sebelumnya. Orang-orang berjalan di trotoar dengan tertib dan disiplin. Trotoar hanya disediakan bagi pejalan kaki dan beberapa pengguna sepeda ontel. Saya tak melihat pengendara mobil atau motor yang ugal-ugalan, apalagi penyebrang jalan sembarangan. Semuanya seperti “mesin” yang tunduk mengikuti aturan. Setiap kali hendak menyebrang jalan, orang-orang dengan sabar menunggu di depan lampu merah hingga lampu menyala hijau. Zebracross betul-betul difungsikan untuk penyebrang jalan.

Meski berada di pusat kota, saya tak menjumpai kemacetan. Setiap kendaraan dapat melaju 60-80 km perjam. Jalanan terlihat agak lengang. Entah, ini berlaku bagi semua jalanan di Tokyo atau tidak. Yang membuat saya terkagum-kagum, saya tak menemukan papan reklame iklan yang biasanya terpasang di setiap sudut kota, pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko-toko. Apalagi gambar “calon” atau spanduk partai yang biasanya dipasang di sembarang tempat.

Di sini saya tak mudah menemukan mini market, pusat perbelanjaan (mall/mega mall), pasar tradisonal, atau pedagang asongan yang biasanya mangkal dipinggir-pinggir jalan. Tata kota (RTRW) yang baik, tertib, dan rapih, menambah pesona Ibu Kota Negara Jepang ini. Di sini pembagian wilayahnya sangat jelas: pusat perbelanjaan, perumahanan, perkantoran, pusat bisnis, pusat pemerintahan. Tak seperti Jakarta yang semuanya “pasar”, dipenuhi iklan, semerawut, dan terkesan tak memiliki aturan yang jelas. Pengusaha dapat dengan mudah membuka tempat hiburan atau pusat perbelanjaan dimanapun dia mau. Pedagang kaki lima pun dapat membuka usaha di tempat manapun yang dianggap strategis.

Yang bikin saya kaget, saya tak menemukan sepeda motor, kecuali hanya beberapa. Padahal, sebagaimana yang kita tahu, Jepang adalah produsen terbesar mobil/speda motor. Merek-merek besar seperti Honda, Suzuki, ataupun Kawasaki hampir membanjiri seluruh jalanan di Indonesia. Anehnya, di negeri asalnya, orang Jepang jarang sekali menggunakan sepeda motor.

Saya penasaran dan mencoba menanyakan pada orang Jepang sendiri yang kebetulan menemani perjalanan saya keliling Jepang. Menurutnya, setidaknya, ada dua alasan: pertama, moda transportasi umum, seperti kereta, bus, trem sudah dainggap cukup mengantar dan menemani mereka bepergian kemanapun. Mereka tak harus susah payah menggunakan kendaraan pribadi karena moda transportasi umum dianggap lebih ekonomis, tepat waktu, dan dapat dengan mudah ditemukan.

Kedua, bagi orang Jepang, sepeda motor dianggap kendaraan yang paling beresiko mengancam keselamatan. Artinya, bagi orang Jepang, sepeda motor adalah “sampah” yang tak layak digunakan, tapi menguntungkan. Akhirnya “sampah” itu dibuang di negara-negara “miskin” yang masyarakatnya belum memiliki kesadaran penuh tentang arti keselamatan jiwa. Indonesia adalah salah satu negara “tong sampah” itu.

Selama di hotel saya selalu menyempatkan diri untuk menikmati tayangan acara di televisi-televisi. Semua chanel dan stasiun tv saya tonton satu persatu. Ternyata, tak seperti televisi-televisi Indonesia, stasiun televisi Jepang tak banyak dijejali iklan, sinetron, atau acara-acara “sampah” lainnya. Tayangan televisi betul-betul diproteksi oleh negara, terutama untuk melindungi anak-anak.

13382154681283883685
SMA BUNKYO

Pertama kali saya berkunjung ke sekolahan SMA Bunkyo. Sekolahan ini berada di pusat kota Tokyo. Sekolah yang didirikan 30 April 1940 ini merupakan sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah. Sekolah ini memiliki 23 kelas (delapan kelas untuk murid kelas 1-2 tahun, sedangkan sisanya untuk murid kelas 3). Masing-masing kelas disi maksimal 4o orang. Sekolahan yang beralamat di 1-1-5 Nishi-Sugamo Toshima-ku, Tokyo ini memiliki laboratorium bahasa, ruang komputer, tiga laboratoriun sains, perpustakaan, ruang seminar, aula, ruang teater dan musik, kolam renang, gedung olahraga Kendo dan tenis, ruangan tradisional Jepang, dll.
 
Kurikulum dan mata pelajaran untuk kelas 1 dan 2 adalah: pelajaran Bahasa Jepang, geography, sosiologi, matematik, basic sains, biologi, fisika, kesehatan, kesenian (music/Fine art, Calligraphy). Sedangkan untuk kelas tiga ditambah pelajaran menulis dan membaca, ekonomi-politik, dan agak diperluas.

Siswa mulai masuk kelas pukul 8.25 dan keluar pukul 05.00 s/d 06.45. satu hari rata-rata menghabiskan 8 sampai 12 mata pelajaran yang masing-masing pelajaran membutuhkan waktu 55 menit.

Sependek pengamatan saya, system pembelajaran di sana sebetulnya tak ada yang baru. System pengajarannya masih konvensional dengan menggunakan metode ceramah. Setiap kelas diisi 40-45 orang. Yang menurut saya agak unik, hampir semua sekolahan yang saya kunjungi alat pengajarannya masih menggunakan kapur tulis. Ini terjadi di Negara yang mengalamai modernisasi lebih awal. Mungkin yang membedakan sisitem sekolah di sana adalah kurikulum yang dipadatkan, tak melebar, dan lebih menitikberatkan pada pelajaran-pelajaran dasar. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, Jepang melakukan pemangkasan besar-besaran terhadap mata pelajaran “tak penting”. Prinsip mereka, lebih baik mengetahui sedikit tapi mendalam daripada mengetahui banyak tapi setengah-setengah

Pemerintah Jepang mewajibkan sekolah sembilan tahun (SD dan SMP). Kewajiban ini mulai berlaku bagi anak umur enam tahun. Ketika memasuki usia enam tahun, orang tua siswa akan menerima kartu undangan (pemberitahuan) dari kecamatan setempat agar menyekolahkan anaknya. Tanpa kartu ini pihak sekolah tidak akan menerima anak tersebut. Jadi, begitu anak lahir datanya langsung masuk data base Negara.

13382155671631470870
SMP CHITOSEBASHI

Setelah berkunjung ke SMA Bonkyu, saya mampir dan berkunjung ke SMP Chitosebashi. Sekolah ini berdiri tahun 1999. Ia gabungan dari dua sekolahan (SMP). Tingkat kelahiran yang rendah membuat banyak sekolahan di Jepang gulung tikar. Semua murid memakai baju seragam dan sepatu khusus yang disediakan pihak sekolah. Anak-anak di sekolahan ini sebelum masuk kelas wajib ke perpustakaan dan membaca buku minimal 10 menit. SMP terbaik se-Kec Oshima ini memiliki murid sekitar 440.

Di samping kegiatan belajar pelajaran utama, juga dilengkapi dengan kegiatan sekolah penunjang (gakushu katsudou), seperti piknik/darmawisata (tatewari ensoku), pelatihan penyelamatan diri pada saat terjadi bencana alam (hinan kunden), pelatihan menghadapi kebakaran (kasai kunden), guest teacher program, sport festival (undokai), juga festival sandiwara (gakugeikai). Selain itu, dibekali juga dengan kegiatan ekstra kurikuler (bukatsu), seperti komputer, seni (melukis ilustrasi, kaligrafi, music brass band), sport (sepak bola, base ball, basket)
 
Selesai berdiskusi, mendengar langsung penjelasan dari kepala sekolah ini, juga melihat-lihar ruangan kelas dan bagaimana murid-murid belajar, saya kembali lagi ke hotel. Sebelum pulang ke hotel, saya mencari masjid di kota Tokyo untuk melaksanakan salat Jumat —-waktu itu kebetulan hari Jumat. Saya Jumatan di Masjid Jami Tokyo. Masjid yang dibangun orang Turki pada 1998-2000 ini termasuk yang terbesar di Tokyo. Ada sekitar 50 masjid yang tersebar di Tokyo dan sekitarnya. Yang rajin bangun masjid di Jepang rata-rata orang ITB (India, Turki, Banglades).
 
Jangan membayangkan bangunan masjid seperti di Indonesia yang rata-rata besar dan megah meskipun belum tentu banyak jamaahnya. Di sini ruko juga terkadang dijadikan masjid. Tak mudah membangun masjid di Tokyo. Bukan karena peraturan pemerintah atau dilarang dan dihalang-halangi pemuka agama di sini, tanah dan bangunan di sini lumayan mahal. Sehingga, orang harus berpikir dua kali untuk membeli tanah dan membangun masjid di negara sekular ini. Meski begitu, di Tokyo sendiri terdapat sekitar 50 masjid yang dibangun oleh pendatang Islam di sini.
 
Jepang adalah negara sekular dalam arti tak berurusan dengan agama. Dalam hal beragama orang Jepang sendiri tak begitu “serius” dan “patuh” pada satu agama. Pada saat lahir orangg Jepang biasanya merayakan upacaranya di kuil Shinto, ketika kawin di Greja, dan waktu meninggal di Vihara Budha. Agama betul-betul masuk wilayah privat dan tak boleh dibicarakan dalam ruang publik. Bahkan, orang Jepang sendiri kebanyakan tak terlalu peduli dengan agama.
 
Selesai Jumatan saya menyempatkan diri melihat-lihat Tokyo dari atas Menara Tokyo. Rasanya indah sekali menikmati Tokyo dari ketinggian 155 m di Menara yang dibangun 1955 ini. Menara yang lebih tinggi dari Eiffel (320 m) ini total ketinggiannya 333 m. Menara yang konstruksinya terbuat dari besi dengan berat 4000 ton ini merupakan landmark Jepang. Selain menara ini, Jepang juga memiliki satu menara lagi yang baru selesai dibangun 2010 yang diberi nama Skytree setinggi 623 m.

Setelah itu saya dijadwalkan mengunjungi Pusat Penanggulangan Bencana di Kitaku. Di tempat ini saya diajari cara menghindari dan menyelamatkan diri dari bencana (kebakaran dan gempa), praktik memadamkan api, juga merasakan simulasi gempa. Jepang adalah negara yang rawan diguncang gempa. Karena itu, negara ini menetapkan “standar penyelamatan” yang diajarkan disekolah-sekolah dan setiap bangunan/gedung di Jepang rata-rata dilengkapi tanda khusus berupa gambar yang dipasang di tembok-tembok sebagai bentuk penyelamatan diri. 

13382156751812761810
HIROSHIMA
 
Tokyo-Hiroshima membutuhkan waktu sekitar 1 jam menggunakan pesawat. Di Hiroshima saya mengunjungi satu tempat penting bersejarah, yakni Gedung Peringatan Bom Atom, dan menginap selama dua hari bersama keluarga orang Jepang. Dua hal yang menurut saya paling menarik. Saya banyak belajar dari kunjungan ini. Sebagaimana kota-kota besar Jepang lainnya, Hiroshima adalah kota yang indah, bersih, rapih dan asri. Ia dibelah oleh dua aliran sungai besar yang airnya bersih dan jernih. Sebelum dijatuhi bom Atom, kota ini adalah kota pelajar dan pusat militer. Banyak universitas terkemuka lahir di kota ini.

Sebelum mengunjungi Museum Perdamaian, saya mampir di Bangunan Peringatan Bom Atom Hiroshima. Ketika saya berkunjung ke sini, bangunan ini sedang direnovasi ulang. Awalnya tempat ini adalah gedung pusat bisnis pada zamannya. Gedung ini memiliki kubah yang terbuat dari tembaga. Pada saat bom atom dijatuhkan di kota ini, tembaga itu meleleh dan bangunannya rusak parah.

Bom yang meluluhlantakkan seluruh bangunan di Hiroshima dan menewaskan 140 ribu orang ini diledakkan pada 9 Agustus 45 pukul 8.15. Bom dengan panjang 3 m, berat 4 ton, dan berisi 5 kg uranium ini meledak 600 meter di atas rumah sakit Shima dan membentuk bola api (cendawan) besar yg panasnya kira-kira 1 juta drajat celcius. Perang memang selalu menyisahkan kesedihan. Meski “Little Boy” (nama bom atom ini) dijatuhkan atasnama “perdamaian” tapi ini adalah bukti kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Amerika.
 
Di belakang Gedung Perdamiana terdapat Lapangan Perdamaian. Di lapangan ini setiap 6 Agustus masyarakat Jepang memperingati peristiwa kejahatan kemanusiaan itu. Lapangan ini berada di tengah-tengah kota Hiroshima. Sebelum Bom Atom diledakkan di langit-langit kota ini, tanah lapang ini dipadati rumah dan bangunan. Dalam waktu sekejap, Bom Atom menyapu bersih dan membakar semua bangunan, pohon, dan makhluk hidup yang ada di sini. Bom Atom menandai berakhirnya Perang Dunia II. Dan, setelah itu, selama 6 tahun Jepang diduduki AS.
 
Di dalam gedung perdamaian terdapat replika “Little Boy”, bekas pakaian terbakar, batang besi yang meleleh, pecahan bangunan, photo-photo korban, replikan dan photo kota Hiroshima sebelum dan sesudah diluluhlantakkan, dll. Di musium ini penderitaan, kesedihan, kemarahan, tangisan, dan kutukan dari para korban masih terekam jelas. Hanya satu pesan dari para korban yang “diabadikan” dalam gedung ini (Spirit of Hiroshima): Hapuskan Senjata Nuklir Demi Perdamaian Dunia. 

13382157842049474189 

Sekitar 3 jam keliling dan photo-photo di tempat ini, saya kembali ke hotel untuk bertemu dengan rombongan keluarga Jepang yang rencananya saya akan menginap dan tinggal selama dua hari bersama mereka. Saya akan melihat dan merasakan langsung bagaimana hidup dengan keluarga orang Jepang. Tentunya ini pengalaman menarik.
 
Begitu sampai di hotel, ternyata keluarga Jepang itu sudah menunggu saya. Saya berkenalan dengan mereka. Sepasang suami-istri bernama Norio Sigetake dan Kunie Sigetake ini terlihat sangat hangat dan care menyambut saya. Rupanya mereka terbiasa bertemu dengan orang asing. Saya langsung diajak masuk mobil dan berangkat ke rumahnya.
 
Dari hotel ke rumahnya lumayan jauh, sekitar 2 jam menggunakan mobil. Sebelum sampai ke rumahnya saya diajak ke tempat wisata di sebuah bukit yang dari atas bukit itu saya bisa melihat Hiroshima. Kemudian mampir di mini market untuk membeli makanan dan kebutuhan dapur selama tinggal bersama mereka.

Begitu sampai di rumahnya, saya langsung disuguhi teh hijau panas tanpa gula, minuman khas Jepang. Ibu Kunie menunjukkan tempat tidur untuk saya, kamar mandi, ruang makan, dan ruangan tertentu di rumah tersebut. Rumahnya tak begitu besar, minimalis, hanya cukup untuk keluarga kecil. Ibu Kunie Sigetake memiliki dua anak yang sekarang sudah kawin dan memiliki pekerjaan sendiri di Tokyo. Anak-anaknya jarang pulang. Sepasang suami-istri ini sekarang tengah menikmati pensiunan dan hari tua mereka. Ibu Kunie adalah seorang seniman. Ia menunjukkan beberapa lukisannya. Meski baru kenal, saya dianggap sebagai anaknya sendiri. Saya dikenalkan dan disuruh memakai pakaian tradisional Jepang, Kendo. Saya makan dengan makanan khas Jepang. Juga banyak bercerita tentang tradisi dan kebudayaan masing-masing.
 
Suami-istri ini terlihat begitu damai. Mereka memiliki dua buah mobil (rata-rata keluarga Jepang yang tinggal dikampung memilki mobil), traktor, dan alat-alat pertanian. Meski usianya sudah kepala enam namun masih terlihat sehat dan lincah. Saya diajak jalan-jalan menikmati daerah sekitar Hiroshima dan berkunjung ke “kampung wisata” Takehara.

13382158761874305659

Di Takehara terdapat satu “kampung” yang masih merawat dengan baik rumah-rumah tradisional Jepang Abad 17-an. Atap bangunanya masih mengunakan kayu-kayu besar, arsitekturnya bagus-bagus, dan semuanya masih terlihat kuat dan kokoh. Di “kampung wisata” ini seolah-olah kita tersedot waktu di mana Jepang baru saja mau merangkak bangkit. Mungkin, kalau di Indoensia, tempat-tempat bersejarah seperti ini akan mudah digusur untuk Mall, apartemen, atau perkantoran. Dari sini saya melihat Jepang masih peduli terhadap peninggalan warisan budaya bangsanya. Inilah yang membuat Jepang sebagai bangsa berkarakter. Bangsa yang tak mudah dijajah dan ditaklukkan.

Setelah dua hari saya menginap bersama sepasang suami-istri yang baik ini, saya pergi ke Kyoto, salah satu kota penting di Jepang. Kyoto adalah Jogjanya Jepang. Sebelum restorasi Meiji dan pindah ke Edo (Tokyo), kota ini pernah dijadikan ibu kota negara. Kaisar Jepang membangun istana dan benteng di kota yang menyimpan ratusa kuil ini.
Kyoto pada akhir abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-19 merupakan ibu kota negara Jepang dan menjadi pusat kebudayaan. Kyoto termasuk salah satu kota kebudayaan terkaya di dunia. Tercatat sekitar 1.600 kuil Budha, 400 tempat Ibadah Shinto, istana kekaisaran, sejumlah khas taman Jepang, dan museum di Kyoto.

Hiroshima-Kyoto saya menggunakan kereta cepat (shinkansen). Hiroshima-Kyoto yang berjarak ±600 km lebih ditempuh hanya 1.44 menit. Kereta listrik dengan kecepatan 360 km perjam ini terhubung ke seluruh kepulauan Jepang dan tak pernah telat kecuali 7 detik. Saya punya keyakinan sejak dulu negara kita sebetulnya mampu membikin kereta seperti ini. Hanya, duitnya banyak dikorupsi pejabat dan politisi kita. Juga, lebih parah lagi, ilmuan kita lebih senang jadi kuli di luar negeri ketimbang membangun negara sendiri.

Di Kyoto tempat pertamakali yang saya kunjungi adalah Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies) Universitas Kyoto. Di sini saya bertemu dengan Profesor Okamoto Masaaki dan mendengarkan presentasi hasil penelitiannya tentang dinamika Islam di Indonesia. Menurutnya hasil penelitiannya, ternyata proses Islamisasi di Indoensia tidak berbanding lurus dengan perolehan suara partai Islam. Terbukti, kata dia, masyarakat lebih memilih partai nasionalis ketimbang partai islam. Sepanjang 1999 sampai 2009 perolehan partai Islam hanya 38-29 %. Ini tak sebanding dengan ghirah/semangat umat Islam dalam berlomba-lomba menerapkan Perda-Perda Syariat yang total jumlahnya 78 perda di 52 Kab/Kota.
 
Saya dicekoki banyak data tentang dinamika dan realitas umat Islam di Indonesia menurut pandangan “orang luar”. Setelah mendengar paparan beliau, berdiskusi, kurang lebih selama 2 jam, saya bertandang ke SMK Pertanian. Ini adalah satu-satunya sekolah pertanian di Kyoto. Sekolah ini memiliki luas bangunan 40,901 m dan tempat olehraga 7,658 m. Juga mempunyai sawah yang lumayan luas, peternakan sapi perah, pengolahan pupuk, laboratorium bunga, tempat membuat taman.
 
Sekolah ini memiliki banyak jurusan. Di antaranya, jurusan menanam padi, bio tumbuh-tumbuhan, penanaman bunga, peternakan, pertanian, dan pertamanan. Ketika menginjak kelas 2 para siswa mulai diperbolehkan memilih jurusan sesuai minat den keinginan masing-masing. Sekolah yang sudah berumur 30 tahun ini memiliki asrama sendiri. Bagi tingkat pertama wajib tinggal diasrama, sementara tingkat dua dan tiga boleh memilih. Rata-rata lulusan sekolah ini 1/3 melanjutkan ke universitas, 1/3 lagi ke akademi kejuruan, dan 1/3 lagi melanjutkan kerja. Sekolah ini memiliki 165 laki-laki dan 75 perempuan.

1338216138675230871 

Model pendidikan seperti ini, menurut saya, lebih cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara dengan potensi alam yang luar biasa besar. Tapi semuanya belum digarap dan didayagunakan secara maksimal, baik pertanian, kehutanan, kelautan, perkebunan, maupun pertambangan. Dengan menciptakan sekolah berbasis pada pertanian, kelautan, atau kehutanan, potensi alam di negara ini akan bisa dimanfaatkan secara baik oleh bangsa kita sendiri. Dengan demikian, pendidikan tidak membuat terasing bagi siswanya, karena mereka dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan lingkungan sosial-budayanya.

Setelah berkeliling melihat-lihat seluruh bangunan dan fasilitas yang dimiliki SMK ini, saya pergi ke Kuil Kyomizu (air jernih). Kyomizu Temple adalah salah satu kuil di Kyoto. Kuil ini di ditemukan dan direnovasi kembali pada Abad XVI. Bangunannya masih terlihat kekar dan terbuat dari kayu-kayu besar. Berkeunjung ke kuil ini rasanya seperti berada dalam film The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise itu. Sangking banyaknya kuil dan sebagai bentuk penghormatan terhadapnya, pemerintah setempat membuat peraturan batas tinggi bangunan. Sehingga, di kota “seribu kuil” ini jangan harap Anda akan menemukan gedung-gedung pencakar langit seperti di Tokyo. Namun, satu hal yang mejadi ciri kota-kota di Jepang: rapi, bersih, tertib, dan asri.

Sebelum beristirahat di hotel, saya diajak mampir dulu di “warung teh” menikmati ritual minum teh. 

1338216296789328427
CHANOYU; UPACARA MINUM TEH 

Rasanya tak lengkap datang ke Jepang kalau belum menikmati ritual minum teh. Ritual ini disebut chado, sado, atau chanoyu. Ia dilakukan diruangan tertentu yang disebut chashitsu. Ruangan ini rata-rata terbuat dari bambu, ukurannya tak terlalu besar, dihiasi dengan beberapa lukisan dinding (kekejiku), rangkaian bunga (chabana), juga wangi-wangian.
Teh memiliki sejarah panjang. Di Jepang teh erat kaitannya dengan pembawa agama di negeri ini. Ia dihubung-hubungkan dengan pembawa ajaran Zen di Jepang. Konon, tradisi minum teh ada hubungannya dengan Zen yang awalnya sebagai obat.

Seni upacara teh mulai dipopulerkan oleh Sen Rikyu. Pengikutnya menjulukinya “chaisei” (santo-nya teh). Karena di tangan Sen Rikyu ini tradisi minum teh memiliki nilai politis dan ekonomis. Ia terus mengembangkan seni meminum teh. Meski kematiannya tragis karena disuruh melakukan ritual bunuh diri oleh Toyotomi Hidoyeshi, ia tetap dipandang sebagai penyempurna tradisi minum the.
 
Awalnya teh hanya disuguhkan buat orang-orang tertentu yang memiliki strata sosial tinggi. Sekarang, setelah Jepang mengalami modernisasi, ritual ini tak lagi sakral. Di tangan kapitalisme, tradisi ini sudah dikomersialisasikan dan kehilangan spiritualitasnya.
Untuk menikmati ritual minum teh ini, saya dibawa ke lantai empat disebuah bangunan mewah. Di situ terdapat ruangan yang didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai chasitsu (ruangan khusus menjamu tamu menikmati teh). Ruangan terbuka dengan lebar 3 meter persegi ini disampingnya terdapat pintu kecil (nijri-guchi). Lewat pintu kecil ini saya disuruh masuk dan membungkuk bersimpuh seperti seorang kawula menghadap priyayi. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat lubang berisi tungku memasak air. Tungku itu bisa ditaruh di bawah atau di atas. Jika musim dingin, tungku itu diangkat ke atas sekaligus sebagai penghangat ruangan.
 
Setelah itu datang dua orang cewek cantik berpakaian tradisional Jepang (kimono) menyambut saya dengan sangat ramah. Mereka membawa mangkuk terbuat dari kramik (chawan) berisi bubuk teh (matcha) sekaligus pengaduknya yang terbuat dari bambu (chasen). Sebelum teh tersebut dituang air, terlebih dahulu disuguhi manisan terbuat dari tepung agar teh tak terasa pahit. Setelah manisan itu habis saya makan, baru teh itu diseduh air panas dan diserahkan ke saya. Kalau saya membawa seorang teman, maka saya harus mendahulukan teman saya dulu sambil berkata padanya, “dozu!” (silahkan!). Teman saya akan menjawab, “Itadakimas!” (terimakasih).

Sebelum diminum, teh dalam cawan itu harus diaduk memutar ke arah kanan sebanyak lima kali. Kemudian diputar ke arah berlawanan sebanyak lima kali juga. Baru setelah itu diminum. Teh yang disuguhkan berwarna hijau kental. Rasanya pahit.
Beruntung saya menikmati “ritual” minum teh bersama dua gadis cantik Jepang. Menurut gadis ini, dalam sejarahnya minuman teh merupakan suguhan khusus bagi tamu-tamu terhormat yang memiliki strata sosial tinggi. Teh yang disuguhkan terbuat dari daun teh pilihan dan berkualitas tinggi. Meski rasanya pahit, karena ditemani dua gadis manis ini, rasanya jadi ikut manis.

Tradisi ritual minum teh ini masih dipertahankan oleh masyarakat Jepang sebagai kekayaan budaya mereka. Sebagai sebuah custom, tradisi ini memiliki banyak makna. Juga bisa dimaknai ulang sesuai dengan perkembangan zaman. Orang Jepang pada hakikatnya sangat menghormati tamu. Penghormatan ini terwujud dalam tradisi yang sudah berumur berabad-abad ini. Di samping itu, dengan masih dirawatnya tradisi ini, Jepang masih memegang teguh nilai-nilai budayanya.
 
Ruangan jamuan teh dengan pintu kecil menunjukkan bahwa setiap orang yang masuk ke ruangan ini berkedudukan setara. Sama-sama harus membungkuk, duduk bersimpu, dan menghadap majikan. Kalau ia dilakukan beramai-ramai, maka wajib mendahulukan orang disamping kita. Ini menunjukkan bahwa kita harus mendahulukan orang lain (altruisme) ketimbang diri kita sendiri. Orang Jepang terkenal gigih, tak kenal lelah dan putus asa, pekerja keras, mendahulukan orang lain. Karakter seperti ini muncul dari tradisi dan budaya mereka sendiri. Dan masih dipertahankan hingga sekarang. Saya kira bangsa kita bisa belajar dari mereka. Kita sebetulnya memiliki nilai-nilai itu. Hanya belum banyak yang melakukannya. 

1338216352204580278
KUIL TODA-JI
 
Keesokan harinya saya pergei ke Nara berkunjung ke kuil Toda-ji. Kuil Toda (Toda-ji) adalah salah satu kuil Budha di Propinsi Nara. Kuil ini dibangun pada 728 oleh Kaisar Shomu (724-749). Di dalamnya terdapat patung Budha berukuran sangat besar terbuat dari perunggu. Menurut Biku Morimoto, sesepuh biku di kuil ini, Toda-ji sudah mengalami perubahan dan perbaikan sebanyak 2 kali. Halaman kuil ini sangat luas dikelilingi asrama. 

Pada zamannya kuil ini adalah “pesantren” bagi calon biku yang akan disebar di berbagai daerah. “Pesantren” itu kini sudah menjadi tempat wisata dan sedikit sekali yang berdoa.
Kuil Toda-ji berada di tengah-tengah taman Nara. Di taman ini hidup puluhan rusa yang akrab sekali dengan manusia. Rusa “haram” diburu apalagi dibunuh, karena dipercaya sebagai “pembantu” Dewa. Kuil-kuil di Jepang rata-rata terbuat dari kayu sejenis pinus. Tiang-tiangnya berukuran besar sebesar badan manusia. Dilihat dari konstruksi bangunannya, teknologi Jepang saat itu kelihatannya masih kalah sama “soko tatal-nya” Sunan Kali Jaga di Masjid Demak/ Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Sayangnya, sekarang ini teknologi kita kalah jauh sama Jepang.

Di kuil tua ini saya sempat berdiskusi dengan Biksu Morimoto. Biksu yang pernah “nyantri” dan belajar sejarah Islam di Mesir selama 1,5 tahun ini banyak tahu tentang Islam. Ia mantan Grand Syaikh di Kuil Toda-ji. Menurut dia, antara Nabi Muhammad dan Budha memiliki banyak kesamaan. Salah satunya, Nabi Muhammad memulai misi kenabiannya setelah mendapat “pengalaman spiritual” ketika khalwat di Gua Hira. Begitu juga Budha, ia mendapat “pencerahan spiritual” setelah bertapa selama 6 tahun. Morimoto mengajak umat Islam untuk saling mencari titik temu, nilai-nilai universal kemanusiaan, bukan memperuncing perbedaan, apalagi permusuhan diantara keduanya (Budha-Islam).

Selepas berdiskusi dengan Morimoto saya disuruh mampir ke sekolah Todai-ji. Sekolah yang didirikan 1926 ini merupakan sekolah swasta favorit di kota Nara. Ia berada dibawah kendali Kuil Toda-ji. Kurikulum pelajarannya tak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain di Jepang yang saya kunjungi. Hanya, fasilitas di sini terlihat lebih komplit dan terkesan elit. 

13382164241683064359
OSAKA

Nara-Osaka tak begitu jauh. Ditempuh hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam menggunakan bus. Osaka adalah nama prefektur (propinsi) dan ibu kotanya sekaligus. Sejak didirikan sekitar 1.500 tahun silam, Osaka adalah kota bisnis yang sangat dinamis. Adalah Kaisar Nintoku di abad ke-14 yang memilih Naniwa (Osaka) sebagai ibukota kekaisaran Yamato (Jepang), serta memulai etika bisnis yang berkembang hingga kini. Saat dipimpin oleh shogun (panglima) Toyotomi Hidoyeshi yang mendirikan Osaka Castile di Abad ke-16, Osaka mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat komersial dan industri terkemuka Jepang.
 
Di Osaka kami berkunjung dan melihat-lihat Osaka Castle. Benteng yang dibangun Shogun (panglima) Toyotami Hideyoshi ini berada di tengah-tengah kota Osaka. Halamannya luas dan dikelilingi parit berukuran besar membentuk sungai. Benteng yang didirikan Abad XVI ini menjadi icon Osaka dan merupakan benteng kedua setelah Benteng Edo di Tokyo yang sekarang menjadi istana Kaisar. Dari atas benteng ini kita bisa melihat kota Osaka. Setiap harinya dibanjiri wisatawan, baik domestik maupun manca negara. Di kota ini saya pertamakalinya menikmati hujan salju. 

133821648321526212

Selanjutnya saya mengunjungi Kuil Horyu-ji (Horyu Temple). Ini adalah kuil kayu tertua di dunia. Halaman kuil ini sangat luas. Kuil Horyu-ji dibangun 1.300 tahun silam oleh kekaisaraan Yomei. Di kuil ini terdapat tiga bangunan besar, satu pagoda, dikelilingi pagar tembok, dan tiga pintu masuk.

Kuil-kuil tua di Jepang rata-rata dibangun oleh Kaisar. Pada masa kekaisaran, agama menjadi bagian integral dari kekuasaan. Pasca Perang Dunia II, atas intervensi dan desakan AS, Jepang menjadi negara sekular: otoritas kaisar disunat dan peran agama disingkirkan. Sehingga, banyak Kuil-Kuil tua dan bersejarah di Jepang selain dibuat tempat ibadah juga dijadikan tempat wisata. Para biksu di sini pandai juga melakukan komersialisasi tempat ibadah.

1338216655811553632
KOBE DAN UPACARA SETSUBUN

Dari Osaka langsung ke Kobe. Di kobe saya akan menyaksikan upacara Setsubun. Beruntung saya bisa mengikuti upacara tahunan ini. Setsubun adalah upacara peringatan pergantian tahun berdasarkan penanggalan bulan. Ia jatuh pada 4 Februari dan diperingati sehari sebelumnya. Dalam memperingati ritual tahunan ini ratusan orang Shinto berkumpul di halaman kuil. Puluhan orang perwakilan mereka berdoa dan setelah itu melempar kacang ke tengah kerumunan massa. Hal ini diyakini dapat membuang sial dan bagi orang yang terkena lemparan kacang dipercaya akan mendapat keberuntungan.

Pagi harinya saya harus berangkat ke Narita untuk terbang lagi ke Indonesia. Saya banyak menemukan pengalaman dan pelajaran baru dari kunjungan ini. Terimakasih kepada Ibu Miyo Furusawa yang telah menemani dengan sabar selama di Jepang. Terimakasih juga buat Pak Sozaburo Mitayama (Kawata) yang dengan senang hati ikut membantu perjalanan saya ke sana. Ini akan menjadi pengalaman tak terhapuskan sepanjang perjalanan hidup saya. 


 

Moral di SD Jepang


SEKOLAH DI JEPANG VS SEKOLAH DI INDONESIA ?
SUDAHKAH MENTERI PENDIDIKAN KITA MENGETAHUINYA ?

Photo: SEKOLAH DI JEPANG VS SEKOLAH DI INDONESIA ?
SUDAHKAH MENTERI PENDIDIKAN KITA MENGETAHUINYA ?

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. 

Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. 
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.

Sumber: edukasi.kompasiana.com 

Bandingkan dengan SD kita yg masih saja meributkan ANAK-ANAK SD HARUS SUDAH BISA CALISTUNG dan KKM, REMIDIAL, TES dan UAN. 

Mari kita renungkan dan mari kita bagikan ke sebanyak2 orang yg semestinya mengetahui hal ini terutama di Kementrian Pendidikan Nasional agar mengetahui hal ini sebagai bahan pembelajaran dan segera melakukan perubahan yg mendasar terhadap sistem persekolahan di Indonesia.
 Rak Sepatu di SD Jepang / photo: Junanto
Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.

Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.


1309648412741772454
Menyiapkan Makan Siang utk teman2nya /foto: Junanto

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka 
Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

 1309648442372945940
Mengantar minuman untuk teman / foto: Junanto

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.

 
Bandingkan dengan SD kita yg masih saja meributkan ANAK-ANAK SD HARUS SUDAH BISA CALISTUNG dan KKM, REMIDIAL, TES dan UAN.

Mari kita renungkan dan mari kita bagikan ke sebanyak2 orang yg semestinya mengetahui hal ini terutama di Kementrian Pendidikan Nasional agar mengetahui hal ini sebagai bahan pembelajaran dan segera melakukan perubahan yg mendasar terhadap sistem persekolahan di Indonesia.

Tantangan Seorang Buddhist

"Tantangan Seorang Buddhist"

Oleh: Bhante Kheminda

 
Hidup sebagai umat Buddha di negara yang mayoritas masyarakatnya non-Buddhist sungguh berat, tantangannya begitu kuat. Dikabarkan bahwa banyak umat Buddha yang sudah pindah ke penganut agama lain. Apakah hal ini menjadi masalah yang sangat penting? Apakah tantangan kita sebagai umat Buddha adalah untuk bisa menumbuh kembangkan agama Buddha, semakin banyak umat manusia yang memeluk agama Buddha?

Saat saya menyelesaikan pendidikan di Myanmar, guru penahbis saya berpesan; "Seandainya kamu menjadi seorang bhikkhu misionaris, harap diingat bahwa kerja misionaris kamu bukan mengubah orang lain yang beragama non-Buddhist menjadi beragama Buddha. Kerja misionaris kamu adalah untuk mengubah mereka yang masih menderita agar menjadi manusia manusia yang bahagia, mengubah mereka yang masih banyak kemelekatan menjadi bebas, bisa memahami kehidupan ini dengan baik sehingga bisa menjadi manusia yang semakin hari semakin bahagia.

Sehingga pada saat membabarkan Dhamma di dalam negeri maupun di luar negeri tidak pernah sekalipun saya berpikir untuk mengubah mereka yang beragama non-Buddhist menjadi umat Buddha. Saya hanya menyampaikan kepada mereka bahwa inilah ajaran Buddha, ajaran yang luar biasa. Ajaran yang kalau dipahami dan dipraktekan maka kebahagiaan pasti akan kita alami dalam kehidupan ini.

Dalam perjalanan di Indonesia, hampir setiap hari berceramah, saya bisa mengerti bahwa umat Buddha belum memahami ajaran Buddha sebagaimana mestinya. Masih banyak umat Buddha yang menganggap ajaran ini tidak ada bedanya dengan agama lain. Demikian juga secara filosofis, tujuan, dan sebagainya. Sejak menjadi Bhikkhu, tidak sedetikpun saya berpikir ingin masuk surga. Sungguh bagus bisa terlahir di surga. Namun tujuan kita adalah mencapai nibbana; suatu alam di mana sudah tidak ada lagi kelahiran dan kematian.

Pemahaman bahwa semua agama adalah sama merupakan suatu alasan yang membuat banyak umat Buddha yang belum memahami ajaran agama Buddha akhirnya berpindah ke agama lain. Bahkan saya pernah mendengar; karena semua agama sama, lebih baik memilih agama yang terbaru daripada yang kuno, agama yang sesuai dengan zaman. Agama Buddha dianggap ketinggalan zaman.

Sebagai umat Buddha, jangan pernah berkecil hati bila menjadi umat minoritas. Sudah menjadi karakteristik dari Dhamma, tidak akan banyak orang yang bisa memahami Dhamma. Sesaat setelah pencerahan, Sang Buddha sebenarnya tidak mau membabarkan Dhamma. Setelah Brahma Sahampati mengajukan permintaan, "Di alam semesta ini, ada makhluk yang memiliki sedikit debu di mata mereka. Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka," Beliau akhirnya bersedia mengajarkan Dhamma. Anda adalah umat yang hanya memiliki sedikit debu di mata Anda. Anda bisa melihat bahwa ajaran ini benar-benar ajaran yang membebaskan, yang membuat Anda menjadi tuan bagi kehidupan Anda sendiri.

Sejak menjadi umat Buddha, saya tidak pernah sekali pun berdoa; meminta tolong agar saya bahagia, terhindari dari penderitaan, diberikan rezeki. Saya benar-benar menggunakan kebijaksanaan saya, hasil dari belajar dan berlatih Dhamma, untuk menginvestigasi segala permasalahan kehidupan. Dengan kebijaksanaan yang diperoleh dari belajar dan berlatih, saya gunakan untuk kemajuan spiritual. Saya bisa merasakan dan melihat dengan jelas perbedaan ketika saya belum berlatih dan setelah berlatih Dhamma. Dulu, saya sering diombang-ambingkan oleh masalah kehidupan, tidak bisa menerima, tidak bisa memahami. Kini, saya semakin bisa menerima apa pun tanpa menghendaki sesuatu tersebut menjadi berbeda.

Mengapa harus sedih kalau ada kawan yang pindah ke agama lain? Sudah menjadi karakteristik kehidupan; ada yang keluar, ada yang masuk. Apakah hal yang demikian menjadi masalah penting bagi kita? Hal tersebut tidak ada gunanya bagi perkembangan spiritual kita. Saya percaya bahwa masa depan agama Buddha terletak pada pendidikan, bukan terletak pada vihara. Ajaran agama Buddha harus ditransformasikan dari kitab suci kepada umat sehingga umat bisa memahami dengan baik dan benar. Bila anda bisa memahami ajaran Buddha dengan baik dan benar maka tidak akan ada lagi ajaran lain yang bisa menganggu dan mengoyahkan keyakinan Anda.

Saya bisa katakan bahwa keyakinan masyarakat Myanmar terhadap agama Buddha sudah demikian kuatnya sehingga tidak bisa digoyahkan. Mereka sudah tahu bahwa agama Buddha berbeda dengan ajaran agama lain. Jangan pernah melepaskan apa yang sudah menjadi keyakinan Anda. Jangan mudah terpukau pada apa yang ada di luar sana. Terimalah apa yang ada. Bahagia dengan apa yang Anda miliki saat ini.

Apa yang sesungguhnya menjadi tantangan kita sebagai umat Buddha? Guru Agung kita menyampaikan bahwa tujuan berlatih Dhamma adalah untuk mencapai suatu kondisi batin yang tidak tergoyahkan oleh apa pun permasalahan yang datang kepada kita. Batin kita mudah goyah, diterjang oleh kekotoran batin. Batin kita mudah masuk ke dalam suatu keadaan emosi negatif, akhirnya membuat kita menderita.

Apa yang harus kita lakukan untuk mencapai kondisi batin yang seimbang, tidak mudah goyah oleh perubahan kekotoran batin sendiri?

Kita harus membangun pandangan benar, unsur pertama dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dari pandangan benar akan muncul pikiran benar dan selanjutnya akan muncul unsur yang lain dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Apa itu pandangan benar? Memahami bahwa segala sesuatu yang kita alami merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri. Segala sesuatu yang kita alami ada sebabnya. Sebabnya muncul dari kita sendiri, bukan orang lain. Pandangan benar akan berkaitan dengan kebahagiaan.

Bagaimana caranya memperoleh pandangan benar? Pertama; parathogosa, mendengarkan dari orang lain. Misalnya mendengarkan ceramah Dhamma seperti saat ini. Kedua; yoniso manasikara, sikap batin yang benar. Senantiasa memahami bahwa segala sesuatu yang kita alami merupakan hukum sebab akibat yang sedang berlangsung. Akibatnya, kita sendiri yang menerima. Setelah memahami, kita menempatkan batin di sisi yang positif sehingga bisa menerima keadaan dengan tenang seimbang.

Kehidupan kita adalah bagaimana mengendalikan pikiran kita sendiri. Kalau anda memikirkan hal yang positif, batin Anda akan Bahagia. Sebaliknya kalau anda memikirkan hal yang negatif, Anda akan menderita. Kita mempunyai pilihan, apakah memikirkan hal yang positif atau negatif. Pilihan ada di tangan Anda.

Setiap saat, pikiran kita bermain di tiba bagian kehidupan yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Kadang kita mengingat masa lalu. Kadang merancang masa depan. Kadang benar-benar bisa berada saat ini, detik ini.

Bagaimana mengendalikan pikiran saat lari ke masa lalu? Sungguh baik jika kita bisa mengingat segala kegagalan dan kesalahan yang kita buat di masa lalu agar bisa belajar dari kesalahan tersebut. Namun waktu kita sangatlah terbatas. Bukankah lebih baik memikirkan hal positif yang sudah kita lakukan di masa lalu. Banyak orang menghabiskan waktunya untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Bukankah lebih bagus bila Anda menggunakan waktu tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan kelebihan Anda?

Mengingat perbuatan baik yang dilakukan bukan suatu bentuk kesombongan. Ini adalah salah satu meditasi, latihan batin yang disebut caganusati; perenungan terhadap kemurahan hati (caga), kedermawanan, kebajikan yang kita lakukan. Ini adalah latihan untuk melihat dengan jelas bahwa perbuatan baik inilah yang merupakan sumber kebahagiaan. Saat kita merenungkan perbuatan baik di masa lalu dengan jelas maka kita bisa meningkatkan komitmen kita untuk semakin sering melakukan perbuatan baik tersebut.

Bagaimana menyikapi saat pikiran mengingat segala sesuatu yang mungkin akan terjadi di masa depan? Ada dua hal yang sering terjadi; kuatir akan sesuatu; mungkin hal buruk yang akan terjadi dan ketakutan terhadap kegagalan yang terjadi di masa depan. Dalam kondisi seperti ini, kita kembali kehilangan keseimbangan, kehilangan kebahagiaan.

Ketika kita berpikir tentang masa depan, kalau kita tidak benar-benar menjaganya, pikiran akan membesar-besarkan masalah yang ada. Mengapa kita harus takut? Bukankah kita bisa belajar dari masa lalu, yang kita kuatirkan seringkali tidak menjadi kenyataan yang tidak terwujud. Kita juga bisa belajar dari masa lalu. Kehidupan kita tidak hanya sekali. Kita sudah berputar-putar di lingkungan tumimbal lahir. Dalam kehidupan sebelumnya, kita pernah lahir di alam penuh penderitaan dan kita bisa mengatasi kesulitan tersebut.

Daripada Anda takut dan kuatir tentang masa depan, bukankah lebih baik kita hidup saat ini? Bangunlah apa yang sudah Anda capai dalam kehidupan ini, khususnya kebahagiaan Anda.

Inilah tantangan hidup kita sebagai umat Buddha, bagaimana membuat batin kita agar menjadi tenang seimbang sehingga kita bisa mengalami kebahagiaan dalam kehidupan ini. Jangan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Tetap memiliki batin yang teguh dalam Dhamma.

 
Sumber: Newsletter Connection (buddhist Fellowship Indonesia) Agustus 2012

Jangan Lupa Yah Untuk Like Fanpage Ini:   http://www.facebook.com/artikelbuddhis

Saking Indahnya, Sawah Ini Terlihat Seperti Lukisan


img
Warna-warni yang sungguh indah (Daily Mail/Exclusivepix)
  • img 
     Terasiring ini berada di pegunungan (Daily Mail/Exclusivepix)
  • img
    Kadang, sawah pun berwarna merah (Daily Mail/Exclusivepix)

  • img
    Curam dan indah (Daily Mail/Exclusivepix)

  • img
    Persawahan ini bisa memenuhi pangan ribuan penduduk (Daily Mail/Exclusivepix)

Yuanyang - Di pedalaman China, ada kompleks persawahan yang sangat indah jika dilihat dari atas. Sawah yang berundak dan warna air serta padi yang cantik membuat siapapun yang memandang seperti sedang melihat sebuah mahakarya lukisan Tuhan.

Tidak seperti sawah-sawah lain, kompleks persawahan di Pegunungan Ailao, Yuanyang, barat daya China memiliki warna dan pola yang sangat indah. Dari Daily Mail, Senin (11/2/2013), terasering di sini sering disebut sebagai 'Stairway to Heaven' atau tangga menuju surga. Ini karena undak-undaknya sangat tinggi, mencapai 2.000 mdpl.

Sekilas, persawahan ini terlihat seperti lukisan nan indah. Kompleks persawahan ini dimiliki suku Hani yang memang sudah tinggal di pegunungan tersebut dari 2.500 tahun lalu. Para pendahulu harus berusaha keras bertahan hidup di pegunungan. Akhirnya, mereka membuat lahan sawah yang hingga kini masih jadi mata pencaharian utama suku Hani.

Kemampuan mereka ternyata lebih dari sekadar bertahan hidup. Karena terdapat karya seni yang mendalam di terasering tersebut. Kaisar dari Dinasti Ming menjuluki seni ukir dari persawahan tersebut sebagai sesuatu yang berseni tinggi. Bahkan UNESCO telah menetapkan kawasan tersebut sebagai Situs Warisan Budaya dan Alam.

Kawasan ini dilindungi oleh pemerintahan China karena setiap tahun berhasil memenuhi kebutuhan makanan ribuan orang. Anda pun bisa melancong ke sana dan melihat sendiri bagaimana indahnya sawah suku Hani. Pada musim dingin hingga musim semi, seluruh sawah akan terisi air. Warna yang terlihat akan kebanyakan coklat.

Tak lama, padi akan ditanam dan warna akan perlahan berubah jadi hijau muda. Musim tanam hingga panen berlangsung dari bulan Maret hingga November. Anda tinggal pilih, ingin menikmati pemandangan yang seperti apa.


Source : http://travel.detik.com/read/2013/02/11/131306/2166602/1383/saking-indahnya-sawah-ini-terlihat-seperti-lukisan?v771108bcj


-o0o-


Biasanya, sawah hanya berupa lahan yang ditanami tanaman padi berwarna hijau. Namun, hal menarik terjadi di persawahan di China. Di pedalaman China, ada kompleks persawahan yang sangat indah jika dilihat dari atas. Sawah yang berundak, warna air, dan tanaman padi yang cantik membuat siapapun yang memandang seperti sedang melihat sebuah mahakarya lukisan Tuhan.

Dikutip dari Daily Mail, kompleks persawahan di Pegunungan Ailao, Yuanyang, barat daya China memiliki warna dan pola yang sangat indah. terasering di sini sering disebut sebagai 'Stairway to Heaven' atau tangga menuju surga. Ini karena undak-undaknya sangat tinggi, mencapai 2.000 mdpl. Wah!

Sekilas, persawahan ini terlihat seperti lukisan nan indah. Kompleks persawahan ini dimiliki suku Hani yang memang sudah tinggal di pegunungan tersebut dari 2.500 tahun lalu. Para pendahulu harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup di pegunungan. Akhirnya, mereka membuat lahan sawah yang hingga kini masih jadi mata pencaharian utama suku Hani.

Kaisar dari Dinasti Ming menjuluki seni ukir dari persawahan tersebut sebagai sesuatu yang berseni tinggi. Bahkan UNESCO telah menetapkan kawasan tersebut sebagai Situs Warisan Budaya dan Alam. Kawasan ini dilindungi oleh pemerintahan China karena setiap tahun berhasil memenuhi kebutuhan makanan ribuan orang.

Pada musim dingin hingga musim semi, seluruh sawah akan terisi air. Warna yang terlihat akan kebanyakan coklat. Tak lama, padi akan ditanam dan warna akan perlahan berubah jadi hijau muda. Musim tanam hingga panen berlangsung dari bulan Maret hingga November. Kita tinggal pilih, ingin menikmati pemandangan yang seperti apa.


Sumber : https://id.berita.yahoo.com/terlalu-indah-sawah-ini-dikira-lukisan-031600802.html