Ada fenomena aneh yang saya amati di kehidupan
sehari-hari. Ada 2 orang: yang pertama hidup berkecukupan dan sanggup
menghabiskan duit untuk barang mewah yang tidak perlu,
yang kedua kerja sebagai pembantu rumah tangga dan rela ngutang gaji 3
bulan untuk membeli handphone terbaru (saya tidak mengarang-ngarang, ini
pembantu teman saya) agar terlihat sukses ketika pulang kampung.
Orang yang pertama sebenarnya muak merasa
‘terpaksa’ ikut-ikutan habisin duit yang gak perlu buat menjaga gengsi.
Dia bilang kalau dia tidak beli barang bermerek dengan penghasilan dan
posisi dia sekarang orang2 sekitar bakal meledeki “Pelit loe!”.
Orang kedua menghabiskan duit yang tidak dia punya untuk barang yang
mungkin sebagai profesi dia yang sekarang terlalu ‘canggih’ dan tidak
sesuai sama keperluan dia (not fit for purpose).
Dari dua contoh diatas ada satu asumsi tak tersirat yang tampaknya merasuki masyarakat sekarang: “Semakin besar uang yang bisa dihabiskan untuk barang (gak peduli barangnya perlu atau tidak) semakin makmur kehidupannya”
Tulisan ini untuk menanggapi fenomena yg saya
uraikan diatas. Saya hanya akan menanggapi kasus yang pertama, tampaknya
orang masih tidak bisa membedakan antara pelit dan hemat (hidup
sederhana). Untuk kasus yang kedua, saya pernah mengulas secara tidak
langsung lewat tulisan psikologis mengelola keuangan pribadi disini.
Definisi Pelit dan Hemat
Pertama-tama, ada perbedaan fundamental yang besar antara pelit dan hemat. Collins English Dictionary mengdefinisikan Cheapskate (Pelit) as “a miserly person” or “a stingy hoarder of money and possessions (often living miserably)” while Frugal (Hemat) is defined as “practicing economy, living without waste, thrifty”.
Pelit: orang yang sengsara, penimbun uang dan harta benda (sering kali hidp menderita).
Hemat: hidup ekonomis, tanpa pengeluaran yang tak perlu dan cermat.
Dengan kata lain, orang yang pelit cenderung
hidup sengsara sementara orang hemat tidak meskipun pengeluaran mereka
kurang lebih sama. Untuk lebih jelasnya saya harap ilustrasi berikut
bisa lebih memperjelas perbedaannya:
Harga dan Kualitas
Orang yang Pelit akan selalu berusaha mendapatkan
harga TERMURAH tanpa peduli apakah kualitasnya sesuai untuk keperluannya
(fit for purpose). Harga tentu saja masih menjadi factor penentu untuk
membeli untuk orang Hemat tapi orang Hemat tidak ragu2 untuk membayar
sedikit lebih mahal untuk kualitas yang bagus dan masih mempertimbangkan
dengan penuh apakah kualitas yang ditampilkan memang perlu untuk
kebutuhanya. Contoh: si Hemat cenderung membeli mobil yang tidak rewel
nan andal (low maintenance and reliable) untuk membawa dia dari tempat A
ke tempat B tanpa embel2 ‘kemewahan’ yang tidak perlu seperti: jok
kulit, merek tertentu dan sebagainya. Contoh di dunia nyata: Tom Walton
(Billionaire, pendiri Walmart) dan Warren Buffet (Billionaire, investor,
pendiri Berkshire Hathaway). Baca juga ‘The Millionaire Next Door’ yang ditulis oleh Thomas J Stanley dan William D Danko kalau anda tertarik untuk mengintip lebih jauh sifat2 para jutawan.
Uang dan Kebahagiaan
Saya pribadi tidak pernah bertemu orang yang benar2
pelit seperti definisi diatas jadi saya tidak bisa benar2 tahu apa yang
sebenarnya di pikir si Pelit tentang uang. Tapi dugaan saya si Pelit
menabung uang semata-mata hanya untuk ditabung tanpa tujuan lebih jauh,
ketakutan akan kekurangan yang berlebihan dan menggengam uang dan harta
bedanya erat2 karena percaya itu semua bisa memberi dia ‘keamanan’.
Mengenai uang si Hemat bisa jadi dari luar mirip dengan si Pelit karena sikapnya ‘duit tidak tumbuh dari pohon’, tetapi si Hemat secara penuh kesadaran mengukur pengeluaran dia terhadap peningkatan kualitas hidup dan kebahagiaan.
Si Hemat tidak akan menghabiskan uang untuk gengsi2an atau ikut2an tapi
dia tidak ragu untuk mengeluarkan uang yang membuat dia bahagia atau
meningkatkan kualitas hidup. Dalam hal ini biasanya menyangkut orang2
tercinta, teman2 sejati yang berarti baginya, amal dan hobi dia.
Saya nyakin kita2 pernah melihat contoh ini di
dunia nyata. Orang tua yang bekerja keras dan berhemat mengumpulkan uang
agar bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Dari luar
kelihatannya si ortu pelit, ‘sengsara’ tidak pernah memanjakan diri.
Tapi dalam hati si ortu tidak melihat itu sebagai pengorbanan*, melihat
anaknya siap menghadapi masa depan dan hidup lebih baik dari dirinya
merupakan kebanggaan dan kebahagiaan sendiri bagi mereka.
*definisi pengorbanan: menukar sesuatu yang baik untuk sesuatu yang LEBIH BAIK
Bagaimana kalau hobi si Hemat ternyata memang
mahal? Teman saya hobi jalan2/travelling keliling dunia, dia bilang dia
tidak peduli shopping untuk fashion dan update barang2 elektronik. Lebih
baik duitnya dipake untuk pengeluaran yg benar2 berarti, yang benar2
bisa meningkatkan kebahagian/mencapai impian dia daripada ikut2an atau
untuk gengsi2an.
Kesimpulan
Si Hemat memangkas pengeluaran2 tidak berarti/tidak berguna tanpa ampun dan berfokus/memprioritaskan pada pengeluaran yang benar-benar
berarti untuknya (setiap orang berbeda, silahkan identifikasi apa yang
berarti untuk anda) sementara si Pelit memangkas semua pengeluaran
membabi buta tanpa berpikir lebih dalam dan bahkan pada kasus ekstrem
kalau bisa si Pelit ingin mendapat semuanya gratis.
Si Hemat memiliki kontrol yang lebih besar atas
pengeluarannya sendiri (majikan atas uangnya) dibanding si Pelit dan si
tukang gengsi2an & ikut2an yang menjadi hamba dari materi dan
uangnya.
Uang dan barang pada akhirnya hanyalah alat untuk
membantu (bukan melengkapi!) hidup kita bukan tujuan akhir itu sendiri
dan tidak sepatutnya kita mengidentifikasikan diri kita dari apa yang
kita pakai atau apa yang kita punya. Hanya karena kita sanggup membeli
bukan berarti kita harus membeli.
Putuskan dengan penuh kesadaran pengeluaran mana yang benar-benar
berarti, penting dan bisa meningkatkan kualitas hidup anda, hindari
sikap pasif yang dengan latah mengadopsi apapun yang dilempar
perusahan2an ke pasar.
Dulu kita dikenal sebagai manusia tapi di jaman yang serba materialistik dan konsumtif sekarang kita dikenal sebagai konsumen.