Dikisahkan Sang Buddha sedang berdiam di kota tetangga Jetavana. Beberapa orang dalam rombongan sedang membicarakan tentang sifat-sifat mulia Y.A. Sariputta. “Betapa besar kesabaran yang dimiliki Ayāsma Agung kita,” mereka berujar, “bahkan walaupun seseorang memaki dan memukulnya, tidak sedikit pun jejak kemarahan.”
“Siapa orang yang tidak pernah merasakan api amarah?” Pertanyaan ini muncul dalam benak seorang brahmana, pemegang pandangan salah. Dan ketika serombongan orang itu memberitahukan padanya, “Dia adalah Sesepuh kami, Sariputta,” dia membalas : “Itu pastilah karena tidak ada orang yang pernah berusaha memancingnya marah.”
“Bukan demikian brahmana,” mereka menjawab.
“Baiklah kalau begitu, saya yang akan menyulut kemarahannya.”
“Sulutlah kemarahannya bila kamu bisa!”
“Serahkan padaku,” kata si brahmana.
“Aku tahu apa yang akan kulakukan padanya.”
Y.A. Sariputta saat itu sedang ber-pindapatta dan memasuki kota.
Mendekatinya dari belakang, brahmana itu memberikan pukulan keras pada punggung Y.A. Sariputta. “Apa itu?” kata Y.A. Sariputta dan hanya melihat sekilas ke belakang.
Beliau kemudian melanjutkan perjalanannya.
Api penyesalan yang mendalam muncul dari setiap lekuk tubuh brahmana itu.
Bersujud dengan sendirinya di kaki Ayāsma, dia akhirnya memohon maaf.
“Atas apa?” tanya Sariputta dengan lembut.
“Atas ujian kesabaran yang telah saya lakukan padamu,” jawab brahmana itu dengan penuh penyesalan.
“Baiklah, saya memaafkanmu.”
“Yang Mulia,” kata si brahmana, “bila Anda sungguh-sungguh bersedia memaafkan kesalahanku, datanglah berpindapatta hanya di rumahku.” Dia mengambil patta Ayāsma Sariputta yang setuju untuk pergi bersamanya dan melayaninya dengan mendanakan makanan.
Akan tetapi mereka yang melihat penyerangan itu menjadi sangat marah. Mereka berkumpul di rumah si brahmana bersenjatakan tongkat dan batu untuk membunuh brahmana itu.
Ketika Y.A. Sariputta terlihat berjalan dengan brahmana tersebut sambil membawa mangkuk Y.A. Sariputta, mereka semua menangis :
“Yang Mulia, perintahkan brahmana ini untuk memutar badannya!”
“Untuk apa, wahai perumah tangga?” tanya Sariputta.
Mereka menjawab :
“Laki-laki ini telah memukul Anda. Kami akan memberikan apa yang pantas didapatnya!”
“Namun apa maksudmu? Apa kamu atau saya yang dia pukul?"
“Adalah Anda, Yang Mulia.”
“Bila demikian, dia telah memukulku dan pula telah menerima maaf dariku. Sekarang pergilah.”
Kemudian Y.A. Sariputta memohon pamit kepada brahmana itu untuk pulang dan dengan tenang pulang menuju vihara.
Peristiwa ini tertulis dalam Uraian Dhammapada. Kepada para bhikkhu, Sang Buddha membabarkan syair Dhammapada 389 dan 390 berikut ini :
Janganlah seseorang memukul brahmana;
Jangan pula brahmana yang dipukul itu membalas pukulan tersebut.
Malulah mereka yang memukul brahmana;
Lebih malu lagi adalah brahmana yang membalas pukulan tersebut !
Bagi seorang brahmana, tidak balas membenci adalah kekayaan yang besar,
Apabila sebelumnya ia selalu merasa gembira dengan membenci orang lain.
Ini adalah perubahan yang sangat berarti.
Secepat pikiran yang disertai kebencian menghilang,
Secepat itulah penderitaan juga akan menghilang.
Dhammapada, 389 & 390
Kerendahan hati Y.A. Sariputta pun sebesar kesabarannya.
Beliau mau menerima koreksi dari siapapun tidak hanya dengan kepatuhan, namun juga dengan penghargaan.
Seperti yang dikatakan dalam uraian Devaputta Samyutta, Susima Sutta, pada suatu ketika, akibat kelalaian sesaat, ujung bawah jubah Y.A. Sariputta terjuntai. Saat melihat hal itu, seorang samanera berusia tujuh tahun memberitahukan hal itu kepada Y.A. Sariputta.
Y.A. Sariputta berhenti dan memperbaiki lipatan jubahnya dalam cara yang benar.
Kemudian beliau berdiri sebelum samanera muda yang dengan kedua tangan beranjali mengatakan : “Sekarang sudah benar, Guru!”42
Terdapat pula suatu kisah dalam Kitab Pertanyaan-Pertanyaan Raja Milinda, yang menggambarkan tentang karakteristik Y.A. Sariputta :
“Mereka yang dalam kehidupan ini juga, pada usia tujuh tahun telah mencari perlindungan,
Bila dia adalah saya, saya akan menerimanya dengan rendah hati.
Melihatnya, saya memberikannya ketekunan dan perhatian.
Dengan rasa hormat bolehlah saya berulang kali menempatkannya sebagai guru!”
Pada suatu kesempatan Sang Buddha dengan lembut menegur Sariputta karena tidak membabarkan AjaranNya kepada mereka yang sebenarnya patut mendapatkannya.
Ketika Brahmana Dhanañjani sedang terbaring menjelang kematiannya, dia dikunjungi oleh Sariputta.
Sariputta menganggap bahwa para brahmana seharusnya tinggal dalam alam brahma (atau “bersatu dengan Brahma”) dan mengajarkan kepada brahmana Dhanañjani cara untuk mencapai alam brahma melalui Brahma-vihara.
Hasilnya, seperti yang diperkirakan, brahmana tersebut terlahir kembali ke alam Brahma.
Ketika Y.A. Sariputta kembali dari kunjungannya, Sang Bhagava bertanya kepadanya :
“Mengapa Sariputta, ketika masih ada hal yang lebih pantas dilakukan, kamu mengajarkan kepada Brahmana Dhanañjani menuju alam Brahma, dan kemudian berdiri dari kursimu dan meninggalkannya?”
Y.A. Sariputta menjawab :
“Saya berpikir : ‘Brahmana ini pantas terlahir dalam alam Brahma.
Tidakkah seharusnya saya menunjukkan kepadanya cara untuk bersatu dengan Brahma?”
“Brahmana Dhanañjani telah meninggal, Sariputta,” ujar Sang Buddha, “dan telah terlahir kembali dalam alam Brahma.”
Kisah ini, yang dapat ditemukan dalam Dhanañjani Sutta dari Majjhima Nikaya (97), menarik sebagai sebuah ilustrasi tentang ketidakpuasan kelahiran kembali dalam alam Brahma bagi mereka yang sesungguhnya mampu memutus lingkaran tumimbal lahir. Walau terkadang Sang Buddha sendiri menunjukkan cara menjadi bersatu dengan Brahma, sebagai contoh dalam Tevijja Sutta; Sang Buddha melihat kemungkinan bagi Dhanañjani untuk menerima Ajaran yang lebih tinggi, namun Y.A. Sariputta, kurang dalam mengetahui keinginan hati orang lain (lokiya-abhiñña), sehingga tidak mampu melihat kebenaran itu.
Akibatnya Dhanañjani akan menghabiskan suatu masa yang tak terhitung lamanya di alam Brahma dan akan terlahir kembali sebagai seorang manusia sebelum akhirnya dia dapat mencapai cita- cita tertinggi — Nibbana.
Y.A. Sariputta juga menerima teguran lembut ketika beliau bertanya kepada Sang Buddha mengapa Sasana (Ajaran) dari beberapa Buddha di masa lampau tidak bertahan lama dan Sang Buddha menjawab bahwa hal itu dikarenakan Mereka Yang Tercerahkan tidak membabarkan banyak Dhamma, tidak menurunkan disiplin bagi umatnya, tidak pula mengadakan pengulangan Patimokkha.
Sariputta kemudian berkata bahwa sudah saatnya bagi Sang Bhagava untuk menurunkan disiplin-disiplin dan Patimokkha, sehingga Kehidupan Suci dapat berlangsung lama. Sang Buddha berkata :
“Biarlah, Sariputta ! Sang Tathagata sendiri akan mengetahui waktu yang tepat untuk itu. Sang Tathagata tidak akan menurunkan vinaya maupun pengulangan Patimokkha sebelum tanda-tanda ketidakjujuran telah muncul dalam Sangha.”43
Kekhawatiran murid terhadap keberlangsungan Sasana selama mungkin merupakan karakteristik Sariputta; demikian pula karakteristik yang sama dari Sang Buddha sehingga Beliau tidak akan menerapkan vinaya sampai memang sudah waktunya disiplin itu diperlukan.
Beliau kemudian menjelaskan kepada Sariputta bahwa pada waktu itu pencapaian tingkat kesucian terendah dalam anggota Sangha adalah Sotapanna (mungkin kenyataan ini tidak disadari oleh Y.A. Sariputta), dan oleh karena itu menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan para bhikkhu belum benar-benar diperlukan.
Catuma Sutta44 menuliskan kejadian lain ketika Sesepuh Agung ditegur oleh Sang Bhagava. Sejumlah besar bhikkhu yang baru saja ditahbiskan, sebagaimana yang dikatakan dari uraian tersebut, oleh Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, mendatangi Sang Buddha untuk memberikan penghormatan untuk pertama kalinya. Saat kedatangan mereka dibagi dalam empat kelompok dan mulai bercakap-cakap dengan para bhikkhu yang menetap di Catuma. Mendengar hiruk pikuk yang terjadi, Sang Buddha memanggil para bhikkhu menetap untuk menanyakan kepada mereka tentang keributan itu dan dijawab bahwa hiruk pikuk itu disebabkan oleh para pendatang baru. Dalam naskah ini tidak disebutkan apakah para bhikhu pendatang itu hadir saat itu, tapi mereka pastilah berada disana karena Sang Buddha kemudian menegur mereka dengan ucapan berikut: “Pergilah para bhikkhu, Aku menolakmu. Kamu tidak seharusnya bersamaku.”
Bhikkhu-bhikkhu yang baru saja ditahbiskan pergi, tapi beberapa bhikkhu yang tersadarkan diperbolehkan untuk menetap.
Sang Buddha kemudian berkata kepada Y.A. Sariputta :
“Bagaimana menurutmu Sariputta, ketika Aku menolak kelompok bhikkhu-bhikkhu itu?”
Y.A. Sariputta menjawab :
“Saya berpikir : ‘Yang Terberkahi mengharapkan untuk tetap berada dalam ketenangseimbangan dan tetap dalam keadaan kebahagiaan disini dan saat ini; jadi kami juga akan tetap berada dalam ketenangseimbangan dan tetap dalam keadaan kebahagiaan disini dan saat ini.”
“Hati-hati, Sariputta ! Jangan biarkan pikiran semacam itu timbul/muncul kembali dalam dirimu !” Sang Buddha berkata.
Kemudian bertanya kepada Maha Moggallana pertanyaan yang sama.
“Ketika Yang Terberkahi menolak para bhikkhu tersebut,” jawab Maha Moggallana, “Saya berpikir : ‘Yang Terberkahi mengharapkan untuk tetap berada dalam ketenangseimbangan dan tetap dalam keadaan kebahagiaan disini dan saat ini. Sedangkan saya dan Y.A. Sariputta sekarang harus mengurus komunitas para bhikkhu.’”
“Ucapan yang baik, Moggallana, ucapan yang baik!” kata Sang Guru. “Entah Aku sendiri atau Sariputta atau Moggallana yang harus mengurus komunitas para bhikkhu.”
Sutta ini sendiri sebenarnya kurang akan detail-detail yang tentunya akan membuat kisah ini lebih mudah dimengerti semua maksudnya, tapi adalah mungkin mengingat para bhikkhu yang ditolak merupakan murid-murid dari Sariputta dan Maha Moggallana.
Sang Buddha menunjukkan ketidakpuasanNya terhadap mereka dan mengindikasikannya dengan keinginannya untuk menyendiri dan bahwa mereka telah bertindak salah.
Suatu ketika Sang Buddha menetap di Jetavana, Y.A. Sariputta menjadi korban sebuah tuduhan keliru.
Dikisahkan bahwa di penghujung musim hujan, Sesepuh memohon pamit kepada Sang Bhagava dan pergi bersama rombongan bhikkhunya dalam sebuah perjalanan. Sejumlah besar para bhikkhu juga memohon pamit kepada Sariputta dan ketika melepaskan mereka beliau mengetahui orang dan nama keluarga mereka. Diantara mereka terdapat seorang bhikhu yang tidak dikenali pribadi maupun nama keluarganya, tapi sebuah keinginan besar muncul dalam dirinya kalau Siswa Utama itu harus mengenalinya sebelum kepergiannya.
Di dalam segerombolan bhikkhu, sayangnya, Y.A. Sariputta tidak memberikannya perhatian yang dimaksud, dan bhikkhu itu kemudian bersedih hati. “Dia tidak menyalamiku seperti yang dia lakukan kepada bhikkhu-bhikkhu lain,” pikir bhikkhu tersebut dan kemudian menaruh sakit hati kepada Sariputta. Pada saat yang sama kebetulan hem jubah Sesepuh bersentuhan dengannya dan hal ini menambah rasa jengkelnya. Dia kemudian mendekati Sang Buddha dan menyatakan protes :
“Yang Mulia, Y.A. Sariputta tak diragukan lagi berpikir dalam dirinya sendiri bila, ‘Aku adalah Siswa Utama,’ memukul saya hingga hampir melukai telinga saya. Dan setelah melakukannya tanpa permintaan maaf dari saya, dia pergi melakukan perjalanannya.”
Sang Buddha kemudian meminta kehadiran Sariputta.
Sementara itu, Y.A. Maha Moggallana dan Y.A. Ananda, mengetahui bahwa sebuah fitnahan telah muncul, memanggil semua bhikkhu dan mengadakan suatu pertemuan.
“Mendekatlah, para bhikkhu!” mereka berseru.
“Ketika Y.A. Sariputta sedang berhadapan mata dengan mata dengan Sang Guru, dia akan meraung auman seekor singa !”45
Dan demikianlah. Ketika Sang Bhagava bertanya kepada Sariputta, daripada menyangkal keluhan tersebut Sariputta berkata :
“O Yang Mulia, seseorang yang tidak melakukan perenungan terhadap tubuh (tidak menyadari) dengan penghargaan terhadap tubuhnya, orang seperti itu akan dapat menyakiti seorang bhikkhu lainnya dan pergi tanpa memohon maaf.”
Kemudian dilanjutkan raungan singa Y.A. Sariputta.
Dia membandingkan kebebasannya dari bibit-bibit amarah dan benih- benih kebencian dengan kesabaran ibu bumi yang rela menerima segalanya, entah itu bersih maupun kotor; ketenangan pikirannya dengan seekor kerbau jantan dengan tanduk yang patah, terhadap pemuda Candala si pengemis, terhadap air, api dan angin, dan terhadap pembersihan atas segala kekotoran; dia membandingkan tindasan yang dia rasakan dari tubuhnya sendiri dengan derita ular-ular dan mayat-mayat, dan pemeliharaan tubuhnya dengan penumpukkan lemak dalam tubuh. Dalam sembilan kiasan tersebut dia mengutarakan nilai-nilai kebajikan dirinya, dan sembilan kali pula bumi ini berguncang menanggapi ungkapan kebenaran ini. Semua bhikkhu yang hadir menyaksikan terpesona oleh kekuatan agung ungkapan itu.
Setelah Sariputta menyatakan nilai-nilai luhurnya, tekanan dan rasa penyesalan memenuhi seluruh tubuh bhikkhu yang tadinya telah menuduhnya dengan tidak adil. Dengan segera dia berlutut di kaki Yang Terberkahi, mengakui fitnahan dan mengakui kesalahannya.
Kemudian Sang Buddha berkata :
“Sariputta, maafkanlah penipu ini, bila tidak kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian.”
Jawab Sariputta adalah :
“Yang Mulia, saya dengan tulus hati memaafkan bhikkhu ini.”
Dan dengan tangan bersikap anjali, dia menambahkan,
“Semoga bhikkhu ini juga memaafkan saya bila saya dengan cara apapun telah menyakiti dirinya”
Dengan cara beginilah mereka berdamai.
Bhikkhu-bhikkhu lainnya kagum dan berkata :
“Lihatlah, saudara-saudaraku, kebaikan tak terhingga dari sang Sesepuh !
Dia tidak memberi kesempatan api kemarahan maupun kebencian muncul menghadapi kebohongan ini, bhikkhu penfitnah ini !
Bahkan dia memohon maaf sebelum dia (bhikkhu itu), menyatukan tangannya dalam sikap penghormatan, dan memohon maafnya.”
Komentar Sang Buddha adalah :
“Para bhikkhu, adalah tidak mungkin bilamana Sariputta dan dari orang sepertinya terbit api kemarahan ataupun kebencian. Pikiran Sariputta seperti bumi pertiwi ini, kokoh bagai benteng kota, bagai sebuah danau dengan air yang tenang.”
Tanpa pertentangan bagaikan bumi, kokoh bagaikan benteng kota,
Dengan pikiran seperti air danau yang jernih,
merekalah orang-orang yang berkelakuan baik
Baginya tidak ada lagi tumimbal lahir46.
Peristiwa lain yang serupa dengan ini, terjadi pada masa awal Sangha, tidak berakhir dengan bahagia karena si pemfitnah menolak untuk mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Dia adalah seorang bhikkhu yang bernama Kokalika yang mendekati Sang Buddha dengan sebuah fitnahan terhadap kedua Siswa Utama :
“Sariputta dan Moggallana mempunyai niat buruk, O Yang Mulia !” katanya. “Mereka dalam genggaman ambisi setan.”
Sang Bhagava membalas :
“Jangan berkata demikian, Kokalika! Jangan berkata demikian !
Milikilah rasa persahabatan dan kepercayaan terhadap Sariputta dan Moggallana !
Mereka berkelakuan baik dan terpuji !”
Tapi Kokalika yang tersesat tidak menghiraukan nasehat Sang Buddha. Dia tetap memegang teguh fitnahannya dan segera sesudahnya seluruh tubuhnya tertutupi oleh bisul, yang terus timbul sampai akhirnya dia meninggal akibat penyakitnya itu.
Peristiwa ini dikenal dengan luas. Kejadian ini tertulis dalam kitab-kitab berikut dalam Sutta–pitaka : Brahma Samyutta No.10; Sutta Nipata, Mahavagga No.10; Anguttara Nikaya V. 170 dan Takkariya Jataka (No. 481)
Sebuah perbandingan dari kedua kejadian ini mengungkapkan betapa pentingnya rasa penyesalan.
Baik Y.A. Sariputta maupun Maha Moggallana tidak menghendaki bhikkhu Kokalika menjadi sakit akibat kebenciannya, dan permintaan maafnya, yang telah dia tawarkan pada mereka, tidak akan membuat perbedaan terhadap sikap kedua Siswa Utama. Sakit yang diderita oleh bhikkhu Kokalika sepenuhnya adalah akibat dari perbuatannya sendiri.
No comments:
Post a Comment