" Yo ca vassasatam jive apassam dhammam uttamam ekaham jivitam seyyo passato dhammam uttaman ", Arti: Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat Kebenaran Luhur, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat Kebenaran Luhur". (Dhammapada : 115)
Buddha memberikan nasihat kepada para siswa-Nya agar tidak mempercayai sesuatu hanya karena hal tersebut merupakan tradisi yang telah turun-temurun atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat itu. Namun demikian, kita tidak dianjurkan untuk membuang semua tradisi secara mendadak. Petunjuk Buddha sebagai berikut; "Engkau harus mencoba tradisi tersebut dan menguji sepenuhnya. Jika tradisi itu masuk akal dan mendatangkan kebahagiaan bagimu dan kesejahteraan bagi orang lain, hanya dengan demikian kamu seharusnya menerima dan mempraktikkan tradisi tersebut".(Kalama Sutta). Toleransi terhadap tradisi yang terdapat dalam Agama Buddha memang tidak didapati dalam agama-agama yang berkembang. Bagi agama-agama yang ada, biasanya memberikan nasihat kepada umatnya yang baru memahami ajaran tersebut dianjurkan untuk membuang semua tradisi dan budayanya tanpa dianjurkan untuk mengamati apakah tradisi itu baik atau kurang baik. Namun demikian, Buddha menganjurkan agar tradisi yang dikembankan tetap berada dalam kerangka keagamaan. Jika seseorang sangat taat terhadap tradisi yang tidak berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, mereka dapat diperbolehkan asalkan tidak mengatasnamakan agama atau pun tidak membahayakan bagi dirinya sendiri maupun kehidupan orang lain.
Umat Buddha dalam tidak debenarkan apabila dalam menjalankan tradisi dan perayaan keagamaan dengan bersenang-senang dibawah pengaruh kepuasan nafsu atau dengan melaksanakan pesta dengan mengorbankan makhluk. Umat Buddha dalam melaksanakan tradisi hari raya dengan sikap yang berbeda, pada hari tersebut justru menyisihkan waktu untuk menjauhkan diri dari tindakan yang tidak baik dan memupuk perbuatan yang mulya seperti berdana, menolong orang atau makhluk lain agar terbebas dari penderitaan. Suatu tradisi yang dileburkan dalam konteks keagamaan dapat membuat kekeliruan dalam memahami suatu agama, namun sebaliknya, agama tanpa dibarengi dengan tradisi dan perayaan akan membosankan bagi umatnya. Kebiasaan yang sangat menonjol bagi kalangan anak-anak dan kaum muda justru penghargaan suatu agama karena adanya tradisi perayaan keagamaannya. Banyak dari kelompok umat beragama yang tertarik pada suatu agama kerana kemegahan upacara maupun perayaannya, sementara ada sebagian penganut agama yang lebih suka mempraktikan dan merenungkannya di dalam hati. Melihat perkembangan suatu agama dan jalan bagi para penganut agama yang berbeda-beda itu, maka tidak mengherankan apa bila dalam Agama Buddha terdapat bermacam-macam kelompok atau aliran.
Pendekatan paktik-praktik keagamaan tidak lepas dari tradisi, agama tidak serta merta lepas dari tradisi. Namun demikian, tradisi yang dikembangkan dalam konsep keagamaan Buddha seharusnya tradisi yang didasarkan pada nilai-nilai keimanan, rasa takut, rasionalitas, dan kelembutan. Keimanan akan menjadi dasar dalam praktek keagamaan yang dikembangkan untuk mengatasi rasa takut. Iman didasari oleh keinginan untuk memperoleh rasa percaya diri dalam menghadapi ketidakpastian hidup dan nasib manusia. Beberapa praktik keagamaan tumbuh sebagai hasil pengembangan pengetahuan, pengalaman intuisi, dan kebijaksanaan manusia. Pendekatan rasional dalam Agama Buddha merupakan penggabungan prinsip-prinsip dari nilai-nilai manusia dan hukum alam maupun hukum universal. Disebutkan dalam Sabda Buddha yang tercatat dalam Kitab Dhammapada " Harumnya bungga tak dapat melawan arah angin, begitu juga harumnya kayu cendana, bungga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik menyebar ke segenap penjuru".(Dhammapada: 54)
Ajaran Buddha merupakan ajaran yang menuntun pada indivudu untuk memiliki rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri. Hukum sebab-akibat atau hukum karma yang diajarkan oleh Buddha dilandasi pada prinsip menolong diri sendiri, bertanggung jawab atau kebahagiaan, penderitaan, bahkan keselamatannya sendiri.
Agama dalam konsep kebijaksanaan didasarkan pada konsep penerapan akal-budi dan berusaha untuk memahami hidup dan kenyataan dalam kondisi kehidupan duniawi melalui pengetahuan analitis. Cetana atau niat baik adalah unsur umum yang diajarkan dalam konsep agama. Agama akan memberikan kedamaian bagi pengikutnya karena dilandasi pada prinsip tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Dalam sabda Buddha dinyatakan sebagai berikut " Orang yang pikirannya tidak dikuasai nafsu dan kebencian, telah mengatasi keadaan baik dan buruk; maka orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan". (Dhammapada: 39)
No comments:
Post a Comment