15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)
15 tahun yang lalu hari ini, sebuah tragedi melumpuhkan nalar dan hati kita di Jakarta. Hari-hari yang paling menakutkan dalam sejarah hidup saya sebagai seorang perempuan Tionghoa di Indonesia, di mana naluri saya terasa terjambak untuk kemudian bertanya secara kritis apa makna menjadi seorang "Indonesia".
Sejujurnya, saya bukan seorang perempuan yang mudah takut. Sebagai seorang siswi di sebuah SMP Katolik di daerah Pecinan, saya sudah terbiasa "tawuran" dan berkelahi dengan lawan jenis yang secara fisik lebih besar dari saya. Tapi 15 tahun lalu, saya mengenal rasa takut yang begitu melumpuhkan.
15 tahun sudah
lewat, 15 tahun saya menunda-nunda menulis tentang kejadian saat itu dan
tentang timbunan amarah, kesedihan, rasa syukur dan harapan sepanjang
15 tahun ini yang menjadikan saya seperti apa adanya sekarang - dari
perempuan Katolik kelas menengah Tionghoa yg memilih menjadi peneliti di
thinktank dengan sejarah kontroversial demi Indonesia yg lebih baik.
Paling tidak 6
tahun sudah lewat di mana saya sedang berjuang menyelesaikan studi di
Tiongkok, sebuah negara di mana kerusuhan Mei 98 merupakan "label
populer" bagi Indonesia - Indonesia yang "bengis", Indonesia yang
"kejam", Indonesia yang "kotor dan menjijikan", Indonesia yang
"anti-Cina". Sepanjang 6 tahun tersebut, hampir setiap kali orang
Tiongkok mengetahui saya adalah Tionghoa Indonesia, mereka selalu merasa
"kasihan" pada saya karena saya (Tionghoa) selalu diperlakukan seperti
kotoran di negara saya sendiri.
Saya selalu mencari cara untuk mengikis stigma "Mei 98" itu dalam rangka memperkuat Kemitraan Strategis antara Indonesia dan Tiongkok. Bukan hal yang mudah dilakukan. Berkali-kali saya katakan kepada mereka, "Indonesia sekarang sudah berbeda dengan Indonesia di Mei 98. Situasi Tionghoa sudah berubah, kalian jangan lagi benci atau takut pada Indonesia." Dari jawaban mereka, "O ya? Benarkah? Aman sekarang?" dll dll, entah mereka benar percaya ucapan saya atau tidak.
Mungkin mereka lebih percaya omongan saya sebagai seorang keturunan Tionghoa daripada koran yang mereka baca, atau ucapan pejabat pemerintah Indonesia yang mereka temui, atau justru masih tidak terlalu percaya.
Saya selalu mencari cara untuk mengikis stigma "Mei 98" itu dalam rangka memperkuat Kemitraan Strategis antara Indonesia dan Tiongkok. Bukan hal yang mudah dilakukan. Berkali-kali saya katakan kepada mereka, "Indonesia sekarang sudah berbeda dengan Indonesia di Mei 98. Situasi Tionghoa sudah berubah, kalian jangan lagi benci atau takut pada Indonesia." Dari jawaban mereka, "O ya? Benarkah? Aman sekarang?" dll dll, entah mereka benar percaya ucapan saya atau tidak.
Mungkin mereka lebih percaya omongan saya sebagai seorang keturunan Tionghoa daripada koran yang mereka baca, atau ucapan pejabat pemerintah Indonesia yang mereka temui, atau justru masih tidak terlalu percaya.
Dengan penyesalan
yang sebesar-besarnya, untuk sekarang ini, saya masih belum bisa menulis
tentang apa yang terjadi 15 tahun lalu di rumah saya. Jangan tanya
kenapa. Tapi yang jelas, saya dan keluarga masih terhitung "beruntung"
dibandingkan keluarga-keluarga yang lain saat itu. Saya ingin menulis
tentang itu, menulis sesuatu yang berarti, tapi belum bisa rasanya.
Saya pernah membuat sebuah tulisan singkat saat
awal membuat blog ini, yang hanya menyebut secara sepintas tentang
kejadian saat itu. Tapi blog itu hanya berupa nostalgia, tanpa agenda,
tanpa misi... Hanya sejumput paragraf pembuka untuk menjadi seorang
blogger yang sedang bermimpi. Tidak cukup berarti rasanya.
Saat ini, saya
hanya bisa meng-copy-paste status Mbak Dewi yang mengajak kita semua
untuk TIDAK LUPA, tidak lupa pada perempuan Tionghoa yang menjadi korban
perkosaan, pada komunitas Tionghoa, pada korban kerusuhan terlepas dari
latar belakang etnis atau agama atau lainnya, pada para pelaku
kejahatan, terutama para anjing-anjing politik elit yang saat ini merasa
di atas angin dan merasa dirinya berpeluang menjadi pimpinan tertinggi
Negara Kesatuan Republik Indonesia terlepas dari peran mereka dalam
kejadian 15 tahun yang lalu.
Catatan rekaman
peristiwa 15 tahun yang lalu ini ditulis oleh seorang sahabat perempuan
yang berjiwa besar dan berhati bersih, Dewi Tjakrawinata. Saya mendapat
kehormatan dan kesukacitaan mengenal perempuan hebat ini dari
pengalaman membantu advokasi RUU kewarganegaraan beberapa saat sebelum
kemudian menjadi UU di tahun 2006.
Tindakan Mbak Dewi
untuk memberikan tiketnya kepada seorang perempuan Tionghoa dan ibunya
yang ketakutan mengingatkan saya pada seorang ibu tua yang menjadikan
dirinya tameng bagi keluarga saya saat rumah kami diserang.
Mereka bukan Tionghoa, tapi mereka perempuan.
Sesama perempuan yang tergerak hatinya untuk memberikan perlindungan kepada kaumnya.
Kehadiran perempuan-perempuan macam Mbak Dewi, ibu tua yang saya tidak pernah tahu namanya, dan perempuan-perempuan lain yang berjuang untuk tidak lupa dan memberikan penghiburan dan juga keadilan bagi para korban itulah bagian dari esensi kebajikan Indonesia sejati yang mengawal keyakinan saya kalau Indonesia akan menjadi lebih baik, suatu saat nanti.
Mereka bukan Tionghoa, tapi mereka perempuan.
Sesama perempuan yang tergerak hatinya untuk memberikan perlindungan kepada kaumnya.
Kehadiran perempuan-perempuan macam Mbak Dewi, ibu tua yang saya tidak pernah tahu namanya, dan perempuan-perempuan lain yang berjuang untuk tidak lupa dan memberikan penghiburan dan juga keadilan bagi para korban itulah bagian dari esensi kebajikan Indonesia sejati yang mengawal keyakinan saya kalau Indonesia akan menjadi lebih baik, suatu saat nanti.
Maaf jika masih
harus menunda menulis pengalaman 15 tahun lalu, tapi saya tidak lupa,
dan saya berterima kasih pada Mbak Dewi yang sudah mengingatkan saya.
Berikut uraian status Facebook beliau:
"15
tahun lalu di sebuah hotel di Singapura, aku terduduk memandang dengan
tidak percaya siaran televisi Indonesia: amuk massa, chaos. Itu Negara
ku, itu kotaku, itu bangsaku, bedil itu.... . Aku menyuruh Kevin yang
saat itu berumur 5 tahun untuk pergi ke tempat temannya yang menginap di
hotel yang sama. Aku tidak mau ia punya kenangan buruk tentang negara
ibunya. Morgan dalam kandungan ku. Kami dipaksa mengungsi dari Jakarta
karena perusahaan di mana Pol bekerja saat itu tidak berani ambil resiko
dan tidak bisa menjamin keselamatan keluarga expatriate yang ada di
Indonesia. Sampai saat ini aku masih ingat situasi ketika kami berangkat
beberapa hari sebelumnya. Sebelumnya kami semua di tempatkan di sebuah
hotel yang dijaga sangat ketat dengan tank dan tentara yang siap tembak
dengan senjata laras panjang. Pada hari keberangkatan kami di bawa
dengan 3-4 bus besar yang dikawal panser. Sepanjang jalan Semanggi
menuju bandara kami melihat asap dan api di mana2; ruko-ruko yang
dijarah kemudian dibakar tapi juga sepi yang menghujam: ini kota
kelahiranku? Ponsel tidak berfungsi, sebelum berangkat aku hanya sempat
bicara dengan ibuku untuk saling menguatkan dan mendoakan. Di bus kami
itu hanya aku dan sopir yang orang Indonesia. Sesak dada dan kehabisan
kata untuk menjawab pertanyaan keluarga lain. Aku juga tidak tahu apa
yang sesungguhnya terjadi. Adakah teman yang tahu saat itu juga apa yang
terjadi ? Di bandara ke chaos an menjadi luar biasa. Ini bukan bandara
tapi tempat pengungsian ratusan ribu orang sepertinya tumplek di sana.
Tidak ada yang percaya setiap kali aku ceritakan kemudian, bahwa pegawai
penerima uang fiscal sampai terjepit di antara tumpukan rupiah yang
menggunung. Pada saat terakhir GM perusahaan di mana Pol bekerja
memintanya untuk tinggal dan meneruskan membantu proses pengungsian,
karena ia satu2nya expat yang lancar berbahasa Indonesia. Aku sempat
menawarkan tiketku dan Kevin ke seorang perempuan muda keturunan
Tionghoa dan ibunya yang menangis terus hampir histeris. Saking chaosnya
bahkan tiket kami pun tidak ada namanya. Kami sudah meneyerahkan tiket
kami ketika tiba-tiba si perempuan tersadar dan hampir terjatuh,
mengatakan : terima kasih mba, tapi kami tidak bisa berangkat ibu saya
tidak punya paspor. Si ibu menggelosor dan menyuruh anaknya saja yang
berangkat sambil melolong. Saya bahkan tidak sempat menanyakan apa-apa
lagi karena panitia pengungsian kemudian mendorong saya untuk masuk ke
ruang tunggu. Lama sesudahnya dan sampai sekarang setiap kali tragedi
Mei diangkat saya ingat wajah perempuan muda itu dan ibunya. Di manakah
mereka ? #menolak lupa dengan apa yang terjadi dengan perempuan
keturunan Tionghoa"
Jangan lupa akan
Mei 1998, jangan lupa akan semua tindak pelanggaran hak asasi manusia
yang pernah terjadi dalam sejarah tanah air kita.
Jangan lupa.
#MelawanLupa
#MelawanLupa
No comments:
Post a Comment