Wednesday, September 28, 2011

Egois



***
Empat tahun sebelumnya…

“ Will you marry me?” Dia berlutut ketika menanyakannya kepadaku. Bukan di restoran, bukan di tempat romantis, hanya di ruang tamu rumahku. Tak lupa membuka tempat cincin yang sudah disiapkannya dari seminggu sebelumnya.

“ Yes, I do!”
Aku tertawa riang, berteriak girang! Sudah lama kutunggu kata-kata itu keluar dari mulut kekasihku yang amat kucintai. Amat kukasihi. Dan amat kurindukan untuk mengisi hari-hariku di sepanjang waktuku. Memenuhi hidupku dengan cinta, memenuhi rumah kami dengan suara satu, dua, sampai tiga anak kecil. Ya, aku memimpikannya. Sampai hari itu, aku mengalaminya. Aku bersorak dan melambung tinggi. Melampaui bintang-bintang, menembus awan, menggapai rembulan. Lalu pulang kembali ke bumi dengan degupan jantung yang kencang, aliran adrenalin yang membuncah, dan senyum manis tak habis-habisnya. Kekasih yang kucintai, yang sudah melewati masa pacaran selama lima tahun lebih, kini melamarku!


Dua minggu yang lalu…


“ Kamu EGOIS!” Begitu tuturnya kencang. Sambil menudingkan jari telunjuk ke arahku, muka merah padam menahan amarah. Kadang keadaan itu diperparah ketika dia melemparkan piring-piring ke lantai, sehingga mengakibatkan serpihan piring itu menjadi berbahaya bila dilewati dengan kaki polos tanpa alas kaki.

Tak mau kalah, kulontarkan kekesalanku dengan mengungkapkan hal serupa, “ Kamu yang EGOIS!” Dengan rentetan tambahan kecerewetanku sebagai wanita, satu kata darinya memancing setidaknya sepuluh kata ekstra dariku. “ Kamu sendiri yang terlalu sibuk dengan urusan kantor, terlalu memperhatikan keluargamu dan tak sempat memperhatikan aku dan keluargaku sama sekali! Kamu mengharapkan aku yang terus-menerus menghargai dan menghormati keluargamu. Padahal, ayahmu, ibumu, saudaramu… Tak ada satu pun dari mereka yang layak dapat penghormatan itu!”
“Kakakmu, penjudi ulung. Tukang menghabiskan uang keluarga, termasuk uangmu yang kamu serahkan kepada ayah dan ibumu. Dan herannya, kau selalu memberi lagi dan lagi, memberikan ‘supply’ tanpa henti. Padahal kau tahu sendiri, itu sia-sia, tak ada artinya lagi. Tapi kau masih juga tak mau menyerahkannya kepadaku untuk sedikit menyumbang ke panti asuhan. Atau memberikan kepada pihak keluargaku yang sakit keras. Padahal kamu sendiri memberikannya kepada orang yang kemudian menghamburkannya. Biarpun itu kakakmu!”

Sekalian saja kuselesaikan kalimatku. Tapi tunggu dulu, sayangku, aku belum cukup!

“Belum lagi ayah dan ibumu. Papa dan mamamu. Mereka tak ubahnya parasit alias benalu yang selalu menghisap dirimu. Menghisap seluruh penghasilanmu. Walaupun kau tahu, tapi kau tak peduli itu!”

“ Stop! Hentikan Ava! Kamu sudah tahu kondisi itu sebelum kita menikah. Sewaktu kita pacaran, tak satu pun keadaan itu kusembunyikan dari hadapanmu. Aku tak pernah membohongimu. Dan kamu mengatakan hal-hal itu seolah mereka adalah orang lain, orang yang tak dikenal. Ava, yang kamu hina itu ayah dan ibuku! Papa dan mamaku! Katanya kamu rajin ke gereja, rajin berdoa. Nah, koq sampai sebegitu hebat kebencianmu kepada mereka? Seolah omong kosong saja semua ibadahmu kalau kamu tidak bisa menghormati orang tuaku yang karena perkawinan ini menjadi orang tuamu juga. Semua kata yang bernada kasih, sabar, murah hati, jauh dari dirimu. Tak keliru juga kalau aku tak mau menjejakkan kakiku ke gerejamu. Karena setelah kamu pergi ke sana pun, tak ada perubahan. Sama saja!” Adit mulai melancarkan serangan baliknya. Dan kali ini dia menyinggung agama yang kuanut dan kebiasaan menggereja yang kulakukan. Sepertinya persoalan tambah parah. Tapi sudah terlanjur sakit hati dengan ini semua, aku membalas lagi.

“Jangan jadikan gereja dan aku sebagai alasan kamu tidak mau ke gereja. Itu persoalanmu dengan Tuhan, Adit! Aku akui, memang aku masih belum mampu mengampuni secara sempurna keluargamu. Tetapi dengan ke gereja, setidaknya aku memulai proses itu. Aku tak pernah merasa bahwa diriku orang yang hebat, penuh kasih, selalu sabar dan selalu murah hati. Asal kamu tahu ya, aku merasa jauh dari itu semua. Namun karena itulah aku makin mendekat kepada Tuhan. Stop juga untuk membawa-bawa Tuhan ke dalam pertengkaran kita. Tuhan tidak salah. Jangan DIA dianiaya lagi. Aku memang belum mampu mengasihi keluargamu. Tapi kamu juga tak pernah punya waktu buatku. Tak ada sedikit pun porsi waktumu untukku. Ketika sampai di rumah, kamu terlalu sibuk untuk sekadar bertanya bagaimana hari ini kulalui? Apa aku ada masalah, apa semua lancar atau baik-baik saja? Kau selalu sibuk, sehabis makan malam, kerjamu kalau tidak baca koran, nonton TV, atau main internet, FB-an melulu! Aku bukan benda mati yang bisa menerima kalau dicuekin terus-terusan, Adit! Itu satu hal. Perhatianmu yang tak lagi sama seperti dulu. Hal kedua, kau selalu mengutamakan keluargamu di atas keluargaku. Dan di mana prioritasmu akan aku? Tak ada sama sekali. Aku mulai meragukan cintamu padaku.
Belum sampai empat tahun pernikahan kita, kamu sudah begini. Bagaimana aku bisa berpikir untuk menghabiskan masa tuaku bersamamu? Kalau sekarang saja aku sudah berpikir untuk minggat! Kalau bercerai tak diperbolehkan oleh agama yang kuanut, aku ambil langkah pisah saja. Lagian kita belum punya anak, jadi tak ada beban. Pisah dulu, sambil merenung dan berpikir jernih. Biar kita sama-sama tanpa emosi yang negatif yang terlanjur meracuni kita berdua selama ini. Kalau kita panas, kita tak akan pernah bisa mencari kedamaian itu. Bukan begitu, Dit?” Suaraku dari tinggi menjadi rendah dan semakin lembut. Satu sisi aku merasa seperti paduan suara, tapi ini semua kulakukan sendiri. Seorang diri. Bukan bersama kumpulan anggota koor lainnya.

Kulihat wajah Adit sedikit berubah.Tidak lagi segarang tadi, tidak lagi sesadis tadi. Dan sinar matanya tak lagi sinis kepadaku. Walaupun belum terlalu tenang, tapi kurasakan dia mulai berpikir lebih jernih. Sedikit kelembutan terdapat di wajahnya. Wajah Adit yang dulu kucintai. Seperti ini!

Peperangan demi peperangan. Argumentasi demi argumentasi. Berantem dan lagi-lagi berantem. Seperti sudah jadi makanan kami sehari-hari. Terkadang kupikir, dengan menikahi seseorang yang kucintai saja hasilnya begini. Bagaimana kalau aku menikahi orang yang tidak kucintai? Selalu ada dua kemungkinan memang. Mungkin saja aku malah mencintainya pelan-pelan. Cinta datang kemudian. Atau mungkin juga aku malah semakin muak melihat wajahnya, karena memang sekali tak cinta, sulit untuk mencintainya dan aku tak mau belajar untuk mencintai orang yang tak kucintai? Entahlah. Semua kelihatan begitu rumit. ‘So complicated’

Apakah pernikahan bertujuan untuk membuat rumit hidup pasangan kita? Apa pernikahan memang buat menghancurkan salah satu atau kedua pihak yang terlibat didalamnya? Apakah memang tak ada kebahagiaan dalam pernikahan? Itu cuma ada di TV, di sinetron, di film drama ‘Hollywood’, di film drama Korea, India, Taiwan, Jepang? Tapi tak pernah eksis di dunia nyata?

Kugigit bibirku pelan. Semua ini begitu menyesakkan. Aku merasa begitu sendirian. Apalagi demi mendapatkan anak karena kami juga belum dikaruniai Si Jabang Bayi, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Yang walaupun atas persetujuan Adit tapi tetap saja membuat segalanya jadi begitu runyam. Ternyata, tanpa penghasilan, aku semakin tertekan. Terbiasa punya uang sendiri, kemudian harus apa-apa minta dari Adit dan harus atas persetujuannya memang tidak mudah. Banyak kali aku merasa bersalah, sepertinya merepotkan dan menyusahkan Adit saja. Oleh karena itu, pelan-pelan aku mencoba bisnis melalui internet. Seperti banyak yang dilakukan orang. Aku mulai menjual baju dan pernak-pernik anak-anak. Biar memancing juga diriku agar cepat-cepat ‘ketularan’ membelinya buat anakku dan Adit.

Tapi harapan tinggal harapan. Aku tak pernah menyangka bahwa hidup perkawinan kami bukan saja berubah warna dari ceria penuh semburat indah Sang Pelangi menjadi berwarna monokromatis. Hitam, paling-paling bergeser ke arah abu-abu. Menyedihkan sekaligus menyesakkan. Siapa yang tak ingin seperti pasangan-pasangan yang ada di gereja, saling peluk mesra ketika salam damai? Siapa yang tak ingin seperti pasangan-pasangan yang masih tetap baik dan mesra, meskipun sudah menikah dua puluh tahun? Masih bergandengan tangan dan saling memeluk? Biarpun aku butuh bahu Adit, namun sering kali aku terlalu sombong untuk berkata jujur pada suamiku sendiri. Kesannya aneh. Namun, karena pertikaian demi pertikaian itu membuat kami tak lagi mesra seperti dulu. Tak lagi saling mengasihi seperti dulu. Malahan kami semakin sibuk dengan urusan masing-masing. Seolah perahu pernikahan ini dinahkodai dua orang. Yang satu mau ke kiri, yang satu mau membawa kapal ini ke kanan. Membuatnya terbelah di tengah-tengah. Kehilangan kendali, tak tentu arah.

Mungkin, kata hatiku, kami harus memikirkan pisah rumah. Setelah selama ini kami memang sudah pisah kamar. Tak ada arti lagi kalau sekamar isinya hanya rebutan selimut dan akhirnya punya dua selimut untuk masing-masing. Tak ada lagi kalau sekamar isinya hanya saling membelakangi dan saling punggung-memunggungi. Tak ada artinya lagi, kalau dari adu argumen, akhirnya malas bicara satu sama lain. Antara diam atau perang. Tak pernah ada kata manis, tak pernah ada senyum ramah. Padahal katanya aku ini tulang rusuknya. Halah! Persetan dengan semua teori cinta! Teori cinta, kata mesra, sudah tak laku di kamusku!

***
Entah angin apa yang membuatnya pulang lebih cepat dari biasanya. Tak lagi sibuk dengan TV, koran, atau internetnya. Dan dia diam dengan tenang di meja makan sambil minum kopi instan kesukaannya, 3 in 1. Sepertinya dia menungguku. Ingin bicara sesuatu. Tapi, adakah aku yang berpikir terlalu berlebihan?

Kini dengan ketenangannya Adit sudah bersiap membuka mulutnya.

“ Ava, kita cerai saja. Sudah kupikirkan, tak ada gunanya bagiku untuk bertahan dalam perkawinan semacam ini. Perkawinan yang kupikir akan selalu menjadi sumber cinta dan kekuatan, malahan merusakkanku pelan-pelan. Hidupku semakin hancur. Dan anggaplah aku benar-benar egois. Aku mohon maaf untuk semua keegoisanku. Dan ini saatnya aku undur diri. Kamu bersiap saja menunggu surat cerai dari pengacaraku.”

Ucapannya pelan. Tapi amat menusukku. Tak pernah kusangka akan begini jadinya. Ketika kau pikir kau menikahi pacarmu yang kaucintai, tentunya kau pikir, itu akan jadi perkawinan sekali seumur hidup. Satu untuk selamanya. Namun, apa daya, hidup terkadang membawa kita ke arah yang tak pernah bisa diprediksi sebelumnya. Dan aku terkejut! Tidak heran, karena sudah setidaknya menduga bahwa memang hubungan kami tak lagi sehat. Tapi, tidak dengan cerai! Tuhan, apa memang sudah tidak ada harapan bagi kami berdua untuk kembali seperti semula?

Aku diam, tak menjawab. Namun aku segera lari ke kamarku. Tempat di mana aku bisa menumpahkan segala air mata yang sudah kutahan dari tadi. Adit, kita memang terlanjur salah langkah. Ketika setiap langkah yang kita ambil bukan lagi menyatukan kita, malahan memisahkan kita. Semakin membentangkan jarak di antara kita. Dan celakanya, jarak itu semakin lebar. Semakin jauh…Apakah memang kau tak dapat kurengkuh?

Tapi, kukuatkan diriku. Baiklah, Adit! Kalau itu yang kau mau. Cerai tampaknya tidak terlalu jelek juga untuk kondisi kita. Tanpa anak. Dan sejujurnya pada saat membayangkan aku akan menyandang status janda cerai dari suami, aku mulai risau… Mungkin pilihan bukan padaku, tapi apa mau dikata. Ini kenyataan yang tak mampu kuubah. Mungkin saatnya aku harus menerima apa adanya.

Mungkin juga Adit punya calon penggantiku. Ah, pikiranku makin melebar, makin negatif. Tapi, aku tak pernah membayangkan bisa mencintai orang lain seperti aku mencintai Adit. Dan tak pernah pula kusangka, cinta yang begitu dalam dan tulus, bisa berakhir begini. Hancur berantakan.

Sudahlah, Adit! Akan kukabulkan maumu! Tuhan, bantu aku. Kuatkan aku…

***
Dengan pelan kupencet bel pintu rumah orang tuaku. Rumah Mama yang sarat kasih. Dimana aku dari kecil dibesarkan dalam lingkungan tak kurang cinta. Hanya untuk menemukan bahwa di perkawinanku, aku gagal karena kurang menyertakan cinta didalamnya. Tak ada gunanya lagi bila aku tinggal di tempat Adit. Buat apa? Mending aku pulang ke Mama yang selalu siap membuka kedua belah tangannya dan menerimaku.

Tiba-tiba aku tertegun. Mengapa Adit ada di rumah Mama? Ada sandiwara macam apa pula ini? Aku tak mengerti. Kucoba untuk lari dari rumah kami, tapi dia malah mendekat ke sini. Adit, cukuplah. Aku lelah. Lebih baik kita akhiri saja ini semua biar mudah bagiku dan dirimu.

Adit terlihat biasa. Senyum lembutnya mekar. Dan dia berkata, “Maafkan aku , Ava.”

“ Ih, Adit….! Apa pula ini???”

“ Va, Mama sudah bilang padaku. Hasil tes kamu positif, kan? Kenapa kamu tidak bilang kepadaku?”

“ Dit, aku sudah malas memberitahumu. Lagian, kalau yang kau inginkan hanya cerai. Bagaimana mungkin kau mau anak dariku lagi?” jawabku pelan.

“ Va, aku tetap mau. Aku mau dan sangat mau! Tidak mungkin tidak! Aku begitu merindukan darah dagingku sendiri…Dan itu hanya kuinginkan dari dirimu.” Tatapan Adit yang lembut mulai menggangguku. Aku sendiri dilanda kebingungan. Karena itulah aku pergi ke rumah mamaku. Tak kusangka juga, di antara peperangan kami, pernah satu malam Adit pulang dengan mabuk dan masuk ke kamarku. Dan saat itulah setelah setahun kami tidak berhubungan, akhirnya malam itu entah mengapa aku juga mau. Mungkin pada dasarnya aku masih cinta? Dan dia masih suamiku yang sah? Tapi tak pernah kuduga aku akan hamil. Setelah semua pergolakan yang terjadi di antara kami. Perseteruan. Kemarahan. Perang. Akankah anak ini mendamaikan? Atau menambah persoalan kami? Tapi dia tidak salah. Dia tak pernah salah, karena dia dari Tuhan.

Setelah lelah menunggu, aku hampir putus asa juga, apalagi ketika Adit minta cerai. Kupikir, aku takkan pernah hamil, tapi kenyataannya? Aku … Ah, sudahlah…Aku sakit kepala memikirkannya…

Mama tersenyum ramah dan tulus. Senyum itu yang selalu membuatku kuat. Dan kali ini senyum itu yang mendamaikan aku dengan Adit.

“ Va, Adit sudah berjanji akan lebih memperhatikanmu dan calon anak kalian. Dia juga berjanji bekerja lebih keras. Tapi dia minta kamu juga tidak menghina keluarganya lagi. Dia pun akan mengatur keuangannya, terutama sehubungan dengan kakaknya itu.” Suara lembut mama membelah keheningan suasana.

Aku masih tak tahu harus bagaimana. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Sebetulnya, cerai adalah daftar terakhir di pikiranku. Selain tak diizinkan untuk cerai dalam agamaku, tapi aku juga sebetulnya masih cinta padanya. Kalau memang tak ada orang ketiga, buat apa kami cerai? Dan anak ini? Hmmm, aku tersenyum…Tuhan, Kau hadirkan dia di saat kami sudah menyerah dan putus asa. Ketika kami angkat tangan, betul Tuhan, Engkau turun tangan. Kata-kata itu sudah kudengar puluhan kali, sampai aku mengalaminya sendiri…

Aku hanya diam. Tersenyum. Tidak menjawab apa pun untuk saat ini. Hanya mataku basah oleh air mata bahagia. Dan kulihat Adit berjalan ke arahku. Memelukku. Tanpa jawaban, kalian sudah tau akhirnya, bukan?

“ Kamu egois!”
Takkan lagi kulontarkan kata-kata itu pada suamiku. Tak mau lagi! Biarlah hari-hari kami menjadi hari-hari penuh kasih, saling berbagi, mengobati luka di hati kami. Dan tentunya hari-hari kami takkan lagi sama, dengan hadirnya buah hati kami…

‘Isn’t it sweet?’ Akhirnya, matahari hadir lagi dalam hidup kami. Terangi kami dengan sinarmu, Mentari! Dan berikan kami hangatmu saat ini dan selamanya!


HCMC, 14 December 2009

-fon-

No comments:

Post a Comment