Monday, August 4, 2014

CERPEN -- " SATU RASA "


Pengantar : Cerpen buah karya dari Ibu Fitriana ini sungguh sangat menginspirasi , pada awalnya saya membaca cerpen ini rasanya hanya biasa2 saja tetapi pada akhir dari kisah ini saya sungguh merasakan suatu gejolak perasaan yang sangat menggugah Semangat Persatuan, Inilah suatu Contoh Nyata yang akan Sangat Bagus untuk diterapkan utk menjaga Persatuan dan Kebhinekaan Bangsa kita ini.Ad 3.Cerpen “SATU RASA”

Oleh: Fitriana Utami Dewi

Cerpenis adalah alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unair Surabaya

Nama saya Dewi Andesa,
tapi saya lebih suka dipanggil Dewa sebagaimana teman-teman pria, akrab menyapa. Saya terlahir sebagai anak semata wayang, termasuk kategori wanita tomboy yang suka pilih-pilih dalam berteman.

Setelah lulus Sekolah Dasar (SD) Islam, sengaja saya memilih sekolah umum, ingin membuktikan pendapat teman-teman yang kerap mengundang tanya dibenakku, tentang orang-orang non Muslim yang sewenang-wenang, sombong, dan sangat benci orang Muslim.

Selain itu, juga ada rumor tentang keberadaan warga Tionghoa yang tak kalah hebohnya, mereka adalah penjajah yang ingin menguasai Indonesia lewat kemampuan dagang.

Awalnya, saya sempat terpengaruh. Kebetulan di komplek tempat tinggalku, ada satu keluarga keturunan Tionghoa kaya. Selama di komplek, ia tidak pernah menunjukkan sikap toleran dan bersahabat dengan tetangga. Jika ada tetangga sakit juga tidak mau menjenguk. Saya tidak suka dengan sikapnya seperti itu.

Walau kehidupan warga Tionghoa boleh dibilang masih bermasalah, beruntung mereka tidak diperlakukan tidak adil di komplek ini.

“Dewi… lagi berfikir tentang apa? Bisa ibu membantu masalah kamu?”, tiba-tiba Ibu menghampiri saya.

Saya pun bercerita tentang sikap tetangga Tionghoa yang menyebalkan itu. Tapi ibu hanya tersenyum.

“Masalah keluarga Pak Johan, bisa saja mereka bersikap seperti itu tidak sesuai dengan keinginannya. Sebenarnya mereka ingin bersosialisasi dengan para tetangga, tapi takut. Kejadian biadab yang menimpa warga Tionghoa di banyak daerah bila menimpa mereka. Jadi wajar kalau agak proteksi”, kata Ibu mencoba memberikan pengertian padaku.

Sikap ibu yang selalu meyakinkan untuk tidak berpikir negatif terhadap orang lain yang berbeda dengan latar belakang keluarga kami itulah, mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Umum. Dengan begitu saya bisa membenarkan perkataan Ibu.

Setelah mengikuti ujian seleksi, akhirnya saya diterima di sekolah negeri favorit di Surabaya. Dewi Andesa, nama itu tertulis jelas di papan pengumuman penerimaan siswa-siswi baru. Hatiku pun riang, harap dan cita selalu terbersit di pikiran saya untuk menguak sebuah warna kehidupan di negeri ini.

__________________

Setiba di sekolah, “Ups…! Rame banget,…!” celetukku.

Jam sudah menunjukan pukul Tujuh. Saya langsung menuju parkir sepeda yang pintu pagarnya akan ditutup oleh security sekolah.

“Ih…sebel. Hari pertama sekolah saja sudah hampir terlambat”, gerutuku. Setelah parkir sepeda, saya mempercepat langkah menuju kelas “1A” yang letaknya tidak jauh dari tempat parkir.

“Wah….semua tempat duduk sudah penuh,” kata saya lirih sambil mencari-cari tempat duduk kosong. Eits…! Tiba-tiba pandangan mata saya mengarah pada wanita bermata sipit yang sedari tadi hanya diam sambil mencoret-coret selembar kertas di atas bangkunya. Tanpa meminta izin darinya, langsung saja saya duduk di sampingnya.

“Hai teman, nama saya Dewi Andesa, panggil saja Dewa,” sambil tersenyum kuperkenalkan diriku seraya mengulurkan tangan bersahabat.

Wanita itu tertegun melihat gaya saya memperkenalkan diri, dia pun membalas uluran tanganku.

“Mei Lin, biasa dipanggil Meme”, jawabnya singkat dengan nada lirih.

“Wah…pucuk dicinta ulam pun tiba. Kebetulan saya bisa duduk sebangku dengan teman berpawakan Tionghoa,” komentarku dalam hati.

Secara fisik Meme berbeda dengan teman-teman, dia satu-satunya peranakan Tionghoa yang kehadirannya di kelas “1A” kurang disenangi teman-teman. Kebetulan, waktu itu keberadaan warga Tionghoa di kota kami masih bermasalah.

Karena tujuan awalku ingin mempunyai banyak teman dari latar berbeda. Saya pun harus bisa mengalahkan egoku yang suka memilih dalam berteman. Ada Johan pria hitam dan pendek dari Sumenep, Jesicha yang tinggi dari Sumedang, dan masih banyak lagi lainnya.

______________________

Sudah sebulan ini saya belajar di sekolah baru. Yang pasti menyenangkan. Tidak hanya saya yang suka bermain kartu, motor cross, tetapi hobyku juga disukai teman-teman di sekolah. Uang pemberian ibu selalu habis untuk itu. Malahan, uang tabungan yang kusimpan sejak SD, ludes untuk memenuhi kesenanganku.

Meme, temanku yang satu ini memang lain. Waktu istirahat sekolah, saya tidak pernah melihatnya di kantin. Bila diajak, menolak dan tidak mau bermain bersama teman lain. Sikapnya yang tertutup dengan teman-teman membuat saya semakin penasaran.
Pantas, semua teman di kelas kurang suka dengannya.

Kali ini, saya penasaran, ingin sekali bermain ke rumah Meme. Beruntung ia membolehkan.

“Meme saya ambil sepeda dulu, ya?”, Meme hanya senyum dan menganggukkan kepala.

“Me…, pulang sekolah biasanya kamu naik apa?”, tanyaku sembari menuntun sepeda menuju pintu gerbang sekolah.

“Jalan kaki”, jawabnya singkat.

“Tidak naik angkot atau sepeda?,” Tanya saya lagi. Meme hanya melempar senyum.
Tanpa komando, ia pun langsung duduk di goncengan sepeda.

20 menit mengayun sepeda, tapi belum juga sampai. “Lumayan jauh, sudah jalannya bergelombang, masuk lorong-lorong, lama-lama capek juga,” gerutuku dalam hati.

“Stop…stop…! Dewa sudah sampai. Itu rumah saya,” pinta Meme sambil menunjuk rumahnya.

“Alhamdulillah…, akhirnya sampai juga”, bisikku sambil menghembuskan nafas panjang.

Setiba di rumah Meme, kami disambut sorakan adik-adik Meme, “Kak Me sudah pulang…,” berulangkali kata itu diucapkan hingga masuk ke rumah Meme.

“Wah…, bahagianya. Jadi terharu, walaupun tergolong pemukiman kumuh, suasana guyup seolah selalu menyelimuti masyarakat yang tinggal di daerah ini,” komentarku.

Meme langsung mencium tujuh adik-adiknya yang sedari tadi menunggu kepulangannya. Mama Meme juga terlihat sibuk mempersiapkan botol-botol jamu yang sudah terisi, siap untuk dijual.

“Sudah pulang Me…?”, tanya Mama Meme sambil memasukkan botol jamu ke dalam tenggok.

“Iya nih Ma…”, jawabnya singkat. “Ma…ini teman sekolah Meme”, Meme memperkenalkan saya.

“Dewa tante, teman Meme”, saya mengulurkan tangan dengan sedikit menganggukkan kepala.

“Saya Mama Ling”, jawabnya ramah.

“Ya.. beginilah keadaan rumah Meme, sudah kecil, jelek lagi. Ini saja masih kontrak,” kata Mama Ling sambil menyuguhkan satu botol jamu kencur buatannya.

“Bukannya jamu itu untuk dijual, kenapa disuguhkan?”, tanyaku.

“Jangan khawatir, tante buatnya banyak. Diminum ya?”,pintanya.

“Me…tolong jaga adik-adik kamu. Jangan keluar rumah kalau papa belum datang! Mama berangkat dulu,” pesan Mama ling.

“Pantas, Meme tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler, apalagi bermain sepulang sekolah. Lha wong dia harus menjaga tujuh adiknya yang masih kecil-kecil. Ditambah lagi keadaan keluarganya yang tergolong kurang mampu”, kataku lirih.

Saya sangat kagum dengan Meme, ia merawat adik-adiknya dengan penuh kasih sayang. “Maaf ya Dewa, suasana rumah membuat kamu kurang nyaman, memang seperti ini keadaan saya”, kata Meme sambil mengambil Bakpao dari dandang.

“Adik-adik…saatnya makan siang”, teriak Meme sambil membagikan Bakpao.

“Kok hanya Bakpao, apa mengenyangkan? kamu tidak membuat nasi Me..?” tanyaku.

“Bakpao juga mengenyangkan!”, lagi-lagi Meme menjawab singkat.

“Ini…jatah makan siang untuk kamu, juga ada!”, sambil memberikan satu buah Bakpao pada saya.

Saya heran, melihat kebahagiaan saudara Meme. Meski tidak makan nasi, Bakpao pun sudah membuat perut mereka kenyang.

Tak lama, Papa Leo datang sambil meletakkan sepeda kebo-nya di samping gang rumah. “Siang anak-anak…, papa sudah pulang ...”, teriak Papa Leo sambil melepaskan topi yang sedari tadi dipakai.

“Siang papa…”, semua saudara Meme menjawab bersama-sama dan menyambut gembira kedatangan Papa Leo.

Saya pun banyak bercakap dengan beliau. Walaupun penghasilan sehari-hari sebagai tukang sol sepatu keliling sangatlah minim untuk kebutuhan keluarga, tetapi beliau tetap bersyukur.

“Penghasilan saya dan istri hanya cukup untuk membuat Bakpao, dan biaya pendidikan Meme. Selebihnya untuk membeli bahan jamu dan sol sepatu, itupun kalau ada,” cerita Papa Leo sembari mengusap keringat dikeningnya.

“Dewa…, maaf ya! saya tinggal sebentar. Saya mau menidurkan adik-adik dulu,”  izin Meme.

Meskipun hanya sehari, tetapi cermin kebiasaan keluarga Meme menjadikan pelajaran berharga buat saya. “Ternyata ini, alasan Meme tidak mau diajak ke kantin”, bisikku dalam hati.

Papa Leo-pun melanjutkan ceritanya, dua tahun lalu keluarganya berdomisili di Wonogiri-Solo, mereka adalah salah satu korban diskriminasi rezim Orde Baru pasca pemberontakan G30 S PKI. Rezim Orba memberikan persepsi yang salah bahwa Republik Rakyat Tiongkok-lah yang berada di balik pemberontakan PKI, dan Tionghoa disamakan dengan komunis.

Inilah yang membangkitkan rasa benci masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa. Permasalahan itu lantas berdampak buruk bagi kelangsungan hidup warga Tionghoa di Indonesia. Banyak aturan pemerintah yang harus dipatuhi, mulai aturan tentang peraturan warga Tionghoa tidak boleh menjadi PNS hingga dipersulitnya proses pembuatan KTP.

Fenomena itu membuat dampak negatif warga Tionghoa, selalu ada anggapan orang Tionghoa itu licik, mau menang sendiri, eksklusif dan srigala ekonomi. Hal ini membuat masyarakat pribumi menjadi geram dan marah dengan membakar rumah-rumah, Gerai maupun pertokoan milik warga Tionghoa di negeri ini. Termasuk, beberapa rumah dan pertokoan milik keluarga Meme di Wonogiri juga tidak luput dari amukan para tetangga. Beruntung, keluarga Meme berhasil menyelamatkan diri dan hidup di Kota Pahlawan.

“Sungguh kisah perjalanan keluarga yang penuh dengan perjuangan. Jadi, mereka dulu keluarga kaya dan kini harus berjuang lagi dari awal tanpa merasa malu dan gengsi”, selintas saya berpikir.

“Sejak peristiwa itu Meme berubah menjadi pendiam. Dulu Meme adalah gadis centil, pintar, dan dermawan. Setiap akhir bulan, Meme aktif memberi kaos, dan sebagian uang tabungannya untuk anak-anak panti. Tapi, karena keadaan kami…...Walau demikian, Meme tetap gadis rajin dan penurut”, kenang Papa Leo dengan suara lirih.

“Kasihan Meme… di sekolah ia sering dicuekin bahkan di maki teman-teman. Sedangkan saya hanya bisa diam. Padahal Meme tidak seburuk yang mereka sangka”, pikirku lagi.

Cerita Papa Leo terhenti, karena kedatangan Meme dari bilik pintu kamar. “Wah.. serius sekali, papa cerita apa?”, tanya Meme sambil mengurai rambutnya.

“Cuma pembicaraan biasa, oya papa ke kamar dulu? kalau mau ngobrol dengan temanmu silahkan”, ujar Papa Leo sembari mengipas-ngipaskan topinya.

Tak banyak komentar, saya langsung pamit pulang takut kemalaman.

______________

Kumerenung apa yang saya alami tadi siang di rumah Meme. “Walaupun saat ini keluarga Meme kurang mampu, itu karena takdir. Andai peristiwa itu tidak menimpa keluarga Meme pasti kehidupan mereka tidak seperti sekarang. Tapi…sudahlah nasi sudah menjadi bubur”, dengan hati gelisah saya pandangi dinding atap kamar sembari mendengarkan alunan musik Kitaro.

“Benar kata ibu, tidak semua orang Tionghoa eksklusif. Meski keluarga Meme tidak punya tapi mereka sangat baik dan ramah. Tidak seperti yang kukira selama ini,” kataku.

“Lalu bagaimana caranya saya membantu keluarga Meme?,” tanyaku.

“Uang tidak punya. Hampir setiap hari saya habiskan untuk hal-hal tidak berguna, main motor-cross, kartu…untuk apa semuanya? Hanya untuk kesenangan sesaat. Ih…dasar Dewa bodoh…!?!, bisikku menyesal.

_______________________

Meski terbilang siswa baru, tapi posisiku sangat berpengaruh di sekolah. Karena seminggu lagi sekolah akan mengadakan pentas seni, dan kepala sekolah akan memberikan penghargaan bagi tiga karya terbaik. Sudah barang tentu saya tidak ingin melewatkannya. Saya juga melibatkan Meme dalam kegiatan tahunan itu. Beruntung Meme menerima tawaran saya.

“Me…pentas nanti kamu berencana menampilkan karya apa?,” tanyaku dengan penuh antusias.

“Entahlah saya juga masih bingung, apa saya nanti bisa?,” jawab Meme ragu.

“Kamu pasti bisa Me…, gimana kalau kamu menampilkan drama?,” kataku memberikan pendapat.

“Bagus juga ide kamu. Tapi…drama itukan butuh banyak orang?,” ujar Meme bimbang.

“Tenang saja, saya akan bantu kamu. Lagian itu baguskan biar teman-teman kenal kamu lebih dekat, tidak punya persepsi buruk tentang kamu?,” kataku meyakinkan Meme.

“Terus tentang tema, gimana kalau tentang persatuan bangsa”, lagi-lagi saya berpendapat, sedangkan Meme hanya melongok.

“Begini Me…maksudku walaupun kita berbeda dari latar belakang tapi kalau kita tinggal dan hidup di Indonesia berarti kita adalah saudara. Lalu pesan yang akan kita sampaikan, sesama saudara tidak boleh saling mencela, memaki. Kalau kita tetap bersikap seperti itu, bagaimana Negara kita bisa maju, mungkin yang ada malah perpecahan dan menjadi Negara terjajah?,” saya berusaha menjelaskan.

“Boleh…, brilian juga ide kamu. Iya saya setuju”, jawab Meme dengan cepat sembari mengeluarkan kertas dan bolpoint dari dalam tas yang digunakan untuk menulis skenario.

Setelah skenario jadi, Saya pun segera mengumpulkan teman-teman di kelas “1A”, banyak dari mereka yang ingin menjadi aktris dan aktor drama. Selain tema menohok juga merupakan realita kehidupan masyarakat Indonesia. Awalnya mereka menolak karena penulis skenario drama, Meme. Tetapi setelah saya beri penjelasan, mereka pun menerima Meme.

Tak butuh waktu lama untuk latihan, hanya lima hari teman-teman sudah menguasai dialog plus akting masing-masing. Banyak hal yang diperoleh saat latihan.
Termasuk sikap teman-teman terhadap Meme tidak seperti biasa. Mereka senang dan bahkan Meme menjadi siswi percontohan di kelas kami. Selain pintar menulis skenario drama, sikap sederhana, selalu rendah hati terhadap guru dan teman itulah yang membuat teman-sekelas kagum kepadanya.

______________

Acara demi acara akhirnya berlangsung sukses. Tak kuduga, penampilan drama kelas”1A” mendapat respon luar biasa dari para guru dan teman-teman di sekolah.
Bahkan kami mendapatkan juara pertama dalam pentas seni tahun ini. Sengaja saya suruh Meme untuk mewakili teman-teman menerima hadiah langsung dari Kepala sekolah. Karena ia yang menulis skenario drama, juga saya ingin menunjukkan di hadapan ribuan teman-teman di sekolah, sekelumit perjuangan dan harapan warga minoritas di Indonesia.

Ucapan selamat-pun datang silih berganti. Sungguh even yang tak terlupakan.
Hadiah berupa tropy dan sertifikat disumbangkan untuk sekolah. Sedangkan, uang tunai sebesar tiga juta rupiah, atas kesepakatan teman-teman kelas “1A”, diberikan untuk biaya sekolah Meme. “Saya terima hadiahnya, ini arti persahabatan dan perjuangan hidup”, ungkap Meme bahagia.***

Dimuat atas seizin dari Bp. DR.Choirul Mahfud Marsahid.
( suami dari penulis Cerpen ini , Ibu Fitriana Utami Dewi )


Sumber : https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-cerpen-satu-rasa-/10152583095225238

No comments:

Post a Comment