This blog is my library, mostly from other people's articles and only few are mine. I will re-read when I have time or whenever I want to
Tuesday, December 2, 2014
*Sirik Tanda Tak Mampu
Saya itu, kalau lihat buku2 dari penulis lain lebih laku, lebih banyak dibaca orang2, sementara buku2 saya ditengok saja tidak, kadang sakitnya tuh di sini. Kesal sekali. Jengkel. Untuk kemudian dalam diam bertanya, disebut apa rasa sakit ini? Kenapa saya tidak turut bahagia melihat buku2 penulis lain sukses? Aduh, jangan2 inilah yang disebut dengan "sirik"? Pun sama, saat melihat film2 orang lain lebih laku, berbondong2 orang menonton, sementara film2 dari buku saya sepi, lagi2 sakitnya tuh di sini. Saya mulai terpancing menjelek2an buku orang lain, film orang lain.
Apesnya, setiap hari rasa sakit ini muncul. Bukan cuma karena buku atau film. Melihat orang lebih pintar, maka muncullah rasa sakit hati itu. Tidak suka. Benci. Sesuatu yang tanpa alasan. Melihat orang lain lebih berhasil, sukses, muncul lagi sakitnya. Bahkan dalam kasus tertentu, kenal juga tidak, bukan siapa2 kita, tetap saja tiba2 kesal. Terus-terang saja, saya bingung dengan rasa sakit ini. Kenapa sih dia harus muncul? Kenapa sih dia tidak bisa dikendalikan? Misalnya, ada orang jadi menteri, top sekali tiba2, lantas saya mulai merasa belingsatan, mulai ilfil, untuk kemudian sibuk menulis hal2 jelek tentangnya. Padahal buat apa? Saya kenal juga tidak dengannya, hampir semua informasi yang saya terima hanya dari baca di internet--yang belum tentu juga benar. Seolah2 orang tersebut memang buruk semua isinya.
Tapi baiklah, saya akan lupakan sejenak rasa sakit ini. Saya akan coba berpikir lurus sebentar. Kenapa sih saya harus sakit hati? Kenapa sih saya tidak suka? Kenapa? Kenapa? Saya tidak mau terus dihinggapi rasa sakit hati aneh ini.
Setelah dipikirkan lama-lama dan lamat2, mungkin nasehat orang tua dulu benar sekali. Sirik itu tanda tak mampu. Kenapa saya sirik? Boleh jadi karena saya tidak punya solusi lain selain sirik saja. Agar hati saya senang, maka saya memutuskan sirik, membangun tembok argumen. Boleh jadi, hanya sirik itulah yang bisa saya lakukan. Di luar itu, saya memang tidak mampu. Jangankan berbuat sama seratus persen, mencontoh 10%nya saja saya tidak mampu. Aduh, malang sekali nasib saya. Membuat saya jadi termangu.
Baiklah, tidak apa2lah saya sirik, namanya juga manusia. Tapi sekarang saya akan berjanji, lebih baik saya fokus memperbaiki diri. Tidak apa buku2 saya tidak laku, tidak dibaca banyak orang, tapi saya akan terus belajar bagaimana menulis yang baik. Tidak mengapa juga film2 saya tidak laku, boleh jadi karena memang karya orang lain lebih bagus, maka lebih baik saya membuktikan kemampuan diri sendiri. Bekerja lebih giat, lebih kreatif.
Setelah dipikirkan dalam2, ketika orang tua dulu bilang, "sirik itu tanda tak mampu", mereka sepertinya tidak sedang mengolok2 orang2 yang sedang sirik--seperti saya. Mereka justeru sedang memberikan solusinya: "Nak, ayo, daripada sibuk sakit hati, menjelek2an orang lain, terus mencari keburukan orang lain, lebih baik buktikan kalau kita lebih mampu. Ayo bergegas berlomba2 dalam kebaikan, agar dunia ini jadi lebih baik." Sepertinya demikian maksudnya. "Nak, tidak masalah kalaupun kau belajarnya lambat, kemajuan kau lelet sekali, karena yang jadi masalah itu kalau kita hanya diam saja, mangkrak. Hanya sibuk sakit hati dan berkomentar".
Sepertinya nasehat orang tua ini benar. Baiklah, caiyo! Semangat!
Sumber : Darwis Tere Liye
https://www.facebook.com/notes/darwis-tere-liye/sirik-tanda-tak-mampu/842505149133388
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment