Angkor di Kamboja adalah situs arkeologi paling penting
di Asia Tenggara, menurut situs resmi UNESCO. Bangunan yang paling
dikenal dalam kompleks ini adalah Angkor Wat. Namun ternyata, kompleks
yang maha luas itu memiliki berbagai candi yang buat saya malah lebih
mengesankan dari sekadar Angkor Wat.
“You want small circle or big circle?” tanya Jay Lim, si supir tuk tuk dengan bahasa Inggris yang agak susah dipahami. Saya sampai harus memiring-miringkan kepala supaya bisa mendengar dengan benar. “Big circle needs two days.” Jaaah, wong saya di Siem Reap juga cuma dua hari, masak hanya keliling Angkor saja. Lagian sebesar apa sih kompleksnya kalau putaran kecil saja butuh sehari penuh?
Akhirnya saya pilih yang tur sehari saja, ongkosnya 20 dolar Amerika khusus untuk tuk tuknya, sementara tiket masuk kompleks juga 20 dolar per orang. Itu saja sudah mahal, bayangkan kalau dua hari, bisa tekor langsung.
Walau katanya sedang musim sepi, ternyata antrean wisatawan di loket tiket banyak juga. Lucunya, selain harus membayar, wisatawan juga akan difoto satu per satu. Persis seperti di imigrasi, walau mereka tidak melihat paspor kita. Mungkin sebagai tindakan preventif kalau-kalau ada yang melakukan vandalisme.
Kompleks Angkor ini tidak jauh dari pusat kota Siem Reap, hanya sekitar 6 km. Kebanyakan wisatawan berkunjung dengan menyewa tuk tuk seperti saya, namun ada juga yang menyewa mobil atau sepeda.
Begitu masuk gerbang saya langsung senang melihat hutan lebat yang mengelilingi kompleks. Bukan model taman-taman cantik yang ditanam seperti di candi-candi Indonesia, melainkan pohon-pohon besar yang banyak dan rimbun, dibiarkan tumbuh secara alami. Sepanjang jalan pun bersih, sangat jarang sampah plastik. Mungkin karena kompleks ini memang sengaja disterilkan dari pemukiman penduduk, jadi jarang ada tangan-tangan jahil yang buang sampah sembarangan.
Jay Lim menyarankan agar saya ke Angkor Thom lebih dulu, “Because the sun not too high,” katanya. Dia bilang bahwa Angkor Thom sangat besar jadi butuh waktu lama untuk berkeliling, lebih baik didatangi pagi hari.
“You want small circle or big circle?” tanya Jay Lim, si supir tuk tuk dengan bahasa Inggris yang agak susah dipahami. Saya sampai harus memiring-miringkan kepala supaya bisa mendengar dengan benar. “Big circle needs two days.” Jaaah, wong saya di Siem Reap juga cuma dua hari, masak hanya keliling Angkor saja. Lagian sebesar apa sih kompleksnya kalau putaran kecil saja butuh sehari penuh?
Akhirnya saya pilih yang tur sehari saja, ongkosnya 20 dolar Amerika khusus untuk tuk tuknya, sementara tiket masuk kompleks juga 20 dolar per orang. Itu saja sudah mahal, bayangkan kalau dua hari, bisa tekor langsung.
Walau katanya sedang musim sepi, ternyata antrean wisatawan di loket tiket banyak juga. Lucunya, selain harus membayar, wisatawan juga akan difoto satu per satu. Persis seperti di imigrasi, walau mereka tidak melihat paspor kita. Mungkin sebagai tindakan preventif kalau-kalau ada yang melakukan vandalisme.
Kompleks Angkor ini tidak jauh dari pusat kota Siem Reap, hanya sekitar 6 km. Kebanyakan wisatawan berkunjung dengan menyewa tuk tuk seperti saya, namun ada juga yang menyewa mobil atau sepeda.
Begitu masuk gerbang saya langsung senang melihat hutan lebat yang mengelilingi kompleks. Bukan model taman-taman cantik yang ditanam seperti di candi-candi Indonesia, melainkan pohon-pohon besar yang banyak dan rimbun, dibiarkan tumbuh secara alami. Sepanjang jalan pun bersih, sangat jarang sampah plastik. Mungkin karena kompleks ini memang sengaja disterilkan dari pemukiman penduduk, jadi jarang ada tangan-tangan jahil yang buang sampah sembarangan.
Jay Lim menyarankan agar saya ke Angkor Thom lebih dulu, “Because the sun not too high,” katanya. Dia bilang bahwa Angkor Thom sangat besar jadi butuh waktu lama untuk berkeliling, lebih baik didatangi pagi hari.
Jadi tuk tuk meluncur melewati kompleks Angkor Wat, langsung menuju ke Angkor Thom. Di luar gerbang selatan terjadi kemacetan. Bagaimana tidak? Tuk tuk, mobil, sepeda, semuanya antre masuk ke gerbang yang sempit. Saya sih tidak keberatan menunggu sebentar, terlebih gerbang masuk menuju Angkor Thom ini luar biasa. Di kanan kiri terdapat patung-patung dewa penjaga dan dewa iblis. Jumlahnya 54 patung pada masing-masing sisi, banyak yang sudah tidak berkepala sehingga dibuatkan kepala baru. Gerbangnya sendiri juga asli dari abad 12, terdapat wajah dewa di bagian atasnya.
Luas kompleks Angkor Thom adalah 9 km persegi, bayangkan kalau harus memutari semuanya! Wisatawan umumnya mengunjungi kompleks-kompleks candi besar. Yang pertama saya datangi adalah Candi Bayon.
“I’ll be waiting in front of Terrace of the Leper King, under the trees,” kata Jay Lim, menunjuk ke arah kanan, sambil mengangsurkan secarik kartu nama. Ya, sudah umum pengemudi tuk tuk di sini memiliki kartu nama. Katanya, kalau saya tidak bisa menemukannya dan tidak punya nomor lokal Kamboja, bisa minta tolong supir tuk tuk yang lain untuk menelponkan Jay Lim. Itu sudah umum dilakukan di Siem Reap.
Saya suka Candi Bayon ini karena arsitekturnya memang “sangat Kamboja”. Kompleksnya tidak berdinding sehingga mudah mengambil foto dari sudut manapun. Banyak puing-puing masih berserakan, bagi saya justru memberi kesan cantik dan misterius.
Dari Bayon saya berjalan mengikuti orang menuju ke Baphuon. Yang paling menakjubkan di candi ini adalah jembatannya yang panjang dan cantik. Kalau candinya sendiri menurut saya mirip dengan candi-candi di Indonesia. Di pintu masuk candi ada larangan bagi ibu hamil dan anak di bawah 12 tahun. Kenapa ya, pikir saya. Ternyata tangganya sangat terjal dan sempit, memang cukup berbahaya bagi anak-anak dan mereka yang kurang sehat.
Saya sudah ngos-ngosan saja berjalannya. Matahari sangat terik dan lembap karena lokasi yang berada di tengah hutan. Bolak-balik saya menenggak air mineral. Keringat sudah dari tadi mengucur di seluruh tubuh. Namun, Angkor Thom bukan cuma itu, masih ada Terrace of the Elephants. Sesuai dengan namanya, di sini terdapat patung-patung gajah. Lalu ada pula Terrace of the Leper King, katanya dinamai demikian karena dulu rajanya mengidap penyakit lepra.
Lega rasanya sampai di tuk tuk dan bisa mengistirahatkan kaki. Tak terasa, waktu sudah tengah hari padahal kami berangkat sejak pukul 08.00. “Lunch now or Ta Phrom?” Jay Lim kembali bertanya. Yeah, Ta Phrom tempat syutingnya Tomb Raider yang dibintangi Angelina Jolie! Akhirnya kami ke Ta Phrom dulu karena perut juga tidak terlalu lapar akibat kebanyakan minum.
Bagi saya, Ta Phrom jelas kompleks favorit. Dulunya, kompleks ini adalah biara dan perguruan tinggi. Ini adalah satu-satunya yang memang dibiarkan tanpa pemugaran. Pihak berwenang hanya membuat tiang-tiang pengaman, jalan setapak, dan pagar-pagar untuk memastikan keselamatan pengunjung. Yang lainnya tetap dalam kondisi sediakala seperti ketika pertama kali ditemukan.
Karena itu, Ta Phrom hanya terdiri dari puing-puing candi yang telah runtuh. Yang paling mengesankan adalah akar, dahan, pohon besar yang seolah-olah tumbuh keluar dari puing-puing. Saya pernah membaca alasan tidak melakukan rehabilitasi adalah karena kompleks ini sudah sangat menyatu dengan hutan dan alam. Dikelilingi hutan lebat membuat Ta Phrom terasa mistis dan misterius.
Ada beberapa candi lain yang kami kunjungi selepas makan siang. Beberapa sedang dipugar dengan bantuan dari negara lain.
Siang telah berganti sore ketika akhirnya tuk tuk saya tiba di depan kompleks Angkor Wat. Matahari masih sangat terik sehingga saya cepat-cepat berjalan menuju ke bangunan utama sehingga dapat berteduh. Beberapa biksu muda tampak dari kejauhan.
Sebenarnya Angkor Wat dibangun pada abad 12 sebagai tempat menyembah Dewa Wisnu, dewa dalam agama Hindu. Namun dalam perkembangannya, pada akhir abad 13, agama Buddha menggantikan Hindu di Angkor. Sejak saat itu hingga sekarang Angkor Wat digunakan sebagai tempat ibadah agama Buddha.
Ternyata kompleks Angkor ini benar-benar besar, pantas saja butuh sehari penuh hanya untuk putaran kecil – yang katanya mencapai 21 km! Jay Lim bertanya, apa masih mau menunggu matahari tenggelam? Saya menggeleng. Kepala sudah berdenyut karena lelah dan kepanasan. Bawa saya pulang. Biar capek, saya sangat puas!
Baca juga blog perjalanan Olenka di backpackology.me.
No comments:
Post a Comment