This blog is my library, mostly from other people's articles and only few are mine. I will re-read when I have time or whenever I want to
Saturday, September 24, 2011
Tradisi Sembayang di Hari Imlek
Beribu tahun sebelum Masehi, masyarakat tionghoa sudah mengenal adanya Tuhan. Kaisar Kuning (Oey Tee / Huang Ti) pada tahun 4697SM mengajarkan kepada rakyatnya nilai – nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan,... menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Masyarakat kuno yang sederhana dengan taat menjalankannya. Ritual ini disempurnakan oleh Pangeran Zhougong dan para nabi berikutnya.
Setiap tanggal 9 bulan 1 Imlek orang Tionghoa terutama orang Hok Kian, melakukan upacara sembahyang Jing Tian Gong {Hok Kian = King Thi Kong}, yang berarti sembahyang kepada Tuhan YME. Di kalangan orang Tionghoa di Indonesia, sembahyang ini dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan Allah atau Sembahyang Tebu yang dilakukan dengan penuh kekhidmatan. Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut Tahun Baru Imlek / Musim Semi yang berlangsung selama 15 hari; dari tanggal 1 s/d 15 bulan 1 penanggalan Imlek.
Di Propinsi Fu Jian {Hok Kian} & Taiwan muncul istilah yang sangat populer, yaitu Chu Jiu Tian Gong Sheng , yang berarti bahwa pada Cia Gwe Cwe Kao (Tanggal 9 bulan pertama Imlek) adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong. Sehingga masyarakat di propinsi Hok Kian & Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong (Tuhan YME). Upacara King Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin.
Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah Hiolo (pedupaan = tempat menancapkan dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio (dupa) dari pagi sampai tengah malam secara kontinue.
Bagi orang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah & khidmat. Sebuah meja besar dengan keempat kakinya diletakkan di atas 2 buah bangku panjang. Lalu di atas meja tersebut diatur 3 buah Shen Wei (Tempat Dewa) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan. Kemudian di depan Shen Wei dijajarkan 3 buah cawan kecil yang berisi teh, & 3 buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Setelah itu Wu Guo Liu Cai {Hok Kian = Go Ko Lak Chai} diatur di bagian depan. Wu Guo Liu Cai berarti 5 macam buah-buahan & 6 macam masakan vegetarian, ini menjadi dasar utama dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan (sebelah kiri & kanan) dipasang lilin 1 pasang (= 2 batang).
Sehari sebelum upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe = Tanggal 8 bulan 1 Imlek) dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas & ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya. Semua melakukan San Gui Jiu Kou {Hok Kian = Sam Kwi Kiu Kho} yaitu 3 X berlutut & 9 X menyentuhkan kepala ke tanah. Setelah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan Shen Wei yang terbuat dari kertas warna-warni. Kemudian dinyalakan petasan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Upacara sembahyang King Thi Kong ini di kalangan Hoa Qiao Indonesia dikenal dengan sebutan “Sembahyang Tuhan Allah atau Sembahyang Tebu ”
Ritual di Indonesia, umumnya dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk ciptaanNya. Dipilih tanggal 9 bulan 1 adalah karena angka 1 berarti esa dan angka 9 adalah yang tertinggi.
Altar Langit (Tian Tan)
Altar ini terletak di timur laut kota Beijing, membujur dari utara ke selatan, merupakan tempat kaisar – kaisar dari Dinasti Ming (1389 – 1644) dan Qing (1644 – 1912) melakukan ritual King Thi Kong. Altar tersebut didirikan pada tahun 1420 diatas tanah seluas 273 hektar. Kompleks Altar Langit dikelilingi taman luas, berbentuk lingkaran bersusun tiga seperti kue tart sehingga dinamakan juga Altar Bukit Bundar, tidak beratap dan tiap lingkaran dihubungkan dengan tangga yang batuannya terdiri dari 9 tangga. Semuanya terbuat dari batu granit putih dan diempat penjuru terdapat tiga gerbang yang indah. Orang – orang menyebutnya Kuil Surgawi, terbuat dari batu granit putih dengan genting berlapis warna biru, biru langit dan putih awan seperti warna – warna yang ada di langit.
Kaisar bersembahyang ditempat tersebut diiringi oleh sekitar 3000 peserta upacara, membawa semua atribut kerajaan dengan naik tandu diiringi kereta kuda, gajah dan sebagainya dalam formasi yang harmonis, berangkat dari Istana Terlarang (Forbidden Palace). Tepat ditengah malam ritual dimulai hanya dengan diterangi cahaya obor, bulan dan bintang. Doa – doa dilantunkan hingga menjelang fajar.
Altar Langit atau Tian Tan biarpun sudah berusia berabad – abad, hingga sekarang masih terawat dengan sangat baik. Jika anda berkesempatan mengunjungi Beijing, jangan lupa untuk menikmati keindahan dan keagungannya.
Versi Lain
Tidak jelas kapan masyarakat propinsi Hok Kian & Taiwan memulai King Thi Kong ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa King Thi Kong baru mulai diadakan pada masa awal Dinasti Qing [1644 - 1911].
Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming [1368 – 1644]. Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat & sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.
Selama terjadinya peperangan & kekacauan ini, banyak rakyat yang bersembunyi di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam & hari Tahun Baru Imlek. Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka berbondong-bondong keluar & kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, mereka lalu mengadakan upacara sembahyang King Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian, sedikitpun tidak salah.
Selain upacara King Thi Kong, pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini bertepatan pula dengan Hari Kelahiran Maha Dewa Yu Huang Shang Di {Hok Kian = Giok Hong Siong Tee = Maha Dewa Kumala Raja}, yaitu Dewata Tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain.
Karena 2 hal yang bertepatan inilah maka orang Tionghoa menganggap Giok Hong Siong Tee sebagai penitisan dari Tian (Tuhan YME).
Cap It Gwe Cwe Lak (tanggal 6 bulan 11 Imlek) adalah Hari Giok Hong Siong Tee mencapai kesempurnaan.
Dari cerita di atas, jelaslah bahwa orang Tionghoa percaya kepada Tuhan YME (God the Almighty) yang disebutkan sebagai Tian atau Tian Gong {Thi Kong}, hanya saja konsepsinya berbeda dengan agama lain. Bagi umat Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa yang mempunyai jabatan & wilayah tertentu, & berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan & wilayah masing-masing.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment