Thursday, September 29, 2011

Nasib Buruh Kawah Ijen yang 'Nelangsa'



Kawah Ijen berada pada ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut, dan merupakan kawah danau terbesar di Pulau Jawa. Kawahnya berbentuk elips, berukuran sekitar 960 meter x 600 meter. Permukaan air danaunya berada pada ketinggian 2.140 meter di atas permukaan laut, dengan kedalaman sekitar 200 meter. Danau Kawah Ijen ialah danau paling asam di dunia, dengan PH 0,5. Beberapa sumber menyebutkan, keasaman danau ini cukup kuat untuk melarutkan pakaian atau jari.

Dari bibir kawah, beberapa area di tepi danau tampak berselimut kabut berbau belerang. Pada jalur mendaki sepanjang sekitar 3,2 kilometer yang membentang dari pos penginapan hingga bibir kawah, puluhan laki-laki yang memikul bongkahan-bongkahan padat belerang berwarna kuning dalam keranjang-keranjang bambu berlalu silih berganti.


Seadanya

Sekitar satu kilometer turun dari bibir kawah ke arah danau ialah tempat mereka bekerja. Pagi itu, sekitar 30-an orang tengah berada di sana. Mereka ialah penambang belerang tradisional. Konon, satu-satunya di dunia.

Para penambang seluruhnya laki-laki, penduduk setempat. Menambang belerang ialah mata pencaharian buat mereka. Suharto, salah satunya. Saat ditemui Ramdani, fotografer Media Indonesia, Rabu (8/6) pagi itu, ia tengah memanggul pikulan bambu berisi bongkahan belerang dalam dua keranjang, seperti semua penambang.

Suharto mengaku menambang belerang sejak berusia 27 tahun. "Sekarang berarti sudah 25 tahun," kata dia. Dari menambang pula, kata dia, warga dapat menafkahi keluarga, hingga memiliki sapi dan motor.

Para penambang biasa melengkapi diri dengan perlengkapan keselamatan kerja seadanya. Penutup kepala, baju berlengan panjang, sepatu bot, serta penutup hidung dan mulut berupa kain atau handuk basah yang digigit.

Satu kali panggul, penambang bisa memikul bongkahan belerang seberat 50 kilogram hingga 100 kilogram. Jalur mereka bermula di pos kaki gunung, menanjak ke kawah, dan turun ke pinggir danau.

Setelah mengambil bongkahan untuk dimuat dalam dua keranjang bambu, mereka memikulnya untuk kembali dalam jalur yang sama, mencapai pos penimbangan.

Di sana, hasil tambang ditimbang. Para penambang diberikan semacam nota. Pada pos kedua di kaki gunung, nota ditukarkan dengan uang. Satu kilogram belerang dihargai Rp625.

Jika Suharto, misalnya, pagi itu memikul 60 kilogram belerang, maka ia memperoleh Rp37.500 untuk satu kali panggul. Dalam sehari, rata-rata mereka mampu menambang dua kali. Inilah hasil jerih payah sebenar-benarnya. "Paling-paling batuk-batuk, pegal-pegal," begitu dituturkan Suharto tentang efek pekerjaannya.

Menurut beberapa penambang yang berlalu lalang pagi itu, ada sekitar 300 orang bekerja di Kawah Ijen sebagai penambang. Mereka bekerja bergantian selama 24 jam, dengan modal dua keranjang dan tongkat pemikulnya.
Pekerja tambang belerang secara tradisional ini juga telah banyak didengar dunia. Wisatawan, baik domestik maupun asing, terlihat berbaur dalam lalu lalang langkah para penambang.

Suara 'kereket' dari pikulan bambu yang tercipta seiring ayunan langkah para penambang belerang rupanya menjadi irama yang indah. Irama, yang bagiSuharto, membuat dirinya tidak merasa lelah.

Dalam suasana gunung yang senyap itu, suara pikulan bambu ini seakan musik yang berdendang, mengiringi pekerjaan para penambang.


Bromo

Selepas berbaur dalam rutinitas para penambang belerang, tim Ring of Fire Adventure melanjutkan perjalanan ke arah barat. Gunung Bromo ialah tujuan berikutnya.

Setelah meletus pada 26 November tahun lalu, yang merupakan erupsi terbesar sejak tahun 1980, berlanjut dengan letusan besar lain pada 22 Desember 2010, Bromo tengah berbenah diri.

Kala itu, erupsi Bromo mengakibatkan lahan pertanian dan sayur mayur seluas 12.484 hektare rusak. Tiga bulan didera hujan abu, kehidupan warga sekitar Gunung Bromo sempat lumpuh.

Lahan pertanian tertutup abu tebal. Kamis (9/6) lalu, ladang-ladang di kawasan tersebut terlihat telah mulai digarap. Penduduk bercocok tanam lagi meskipun bekas limpahan abu masih terlihat di sana sini.

Kegiatan wisata yang juga sempat berhenti pun hidup kembali. Puluhan wisatawan domestik dan asing sudah kembali ke sana dan terpukau pada gunung yang dianggap suci oleh masyarakat Tengger di sekitarnya itu.(M-1)


Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/ringoffire/?ar_id=ODE2MA%3D%3D

<><><><><><><>

Melongok Nasib Buruh Kawah Ijen yang 'Nelangsa'


Karya foto yang dipajang bercerita kesedihan pekarja kawah Ijen


"NASIB BURUH MEMANG MENGENASKAN..!" ungkapan ini adalah realitas yang menyelubungi kehidupan kaum buruh. Bahkan, kalau boleh dibilang setiap pergantian penguasa di negeri ini, perubahan itu tak kunjung ada. Orang bilang, sejak zaman orde baru hingga saat ini kondisi buruh masih 'nelangsa.'

Upah minim dengan jam kerja panjang serta tidak terealisasinya tunjangan kesehatan, menjadikan persoalan buruh yang tak pernah terselesaikan. Nah, kondisi memprihatinkan itu rupanya 'terendus' dan dirasakan oleh lima fotografer muda alumni workshop Antara. Melalui mata kameranya, mereka pun 'berteriak' berusaha merekam kehidupan pekerja tambah belerang tradisional di daerah Kawah Ijen, Banyuwangi.

Sisi lain yang dilihat/ Foto: NovriSisi lain yang dilihat/ Foto: NovriLima fotografer tersebut adalah Andi Ari Setiadi, Barmen Simatupang, Budi Chandra, Mahatma Putra, dan Panji Wijaya. Mereka menamakan dirinya sebagai Tim Tanah Air.

"Pameran ini juga dipersembahkan untuk memperingati hari buruh," ujar Andi Ari Setiadi saat pembukaan pameran fotonya bertajuk The Kawah Ijen's Warriors di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Sabtu (1/5).

Berani mati takut lapar/ Foto: Budi Chandra/ dok AntaraBerani mati takut lapar/ Foto: Budi Chandra/ dok AntaraMenurut Ari, timnya berangkat ke lokasi pemotretan dua kali. Yang pertama bulan Mei 2009 dan yang kedua di bulan Maret 2010. Mengenai alasan dipilihnya buruh Kawah Ijen sebagai obyek pemotretan, karena kondisi buruh di tambang belerang tersebut sangat memprihatinkan baik dari segi kesejahteraan maupun kesehatannya.

"Buruh di sana, harus berhadapan dengan maut karena asap belerang sangat beracun," celoteh pria berkacamata ini kepada TNOL menanggapi karya foto yang dipajang.

Seperti diketahui, kawasan kawah Ijen memang selain dikenal sebagai tempat pariwisata, juga dikenal sebagai tempat penghasil belerang. Di gunung yang memiliki ketinggian 2799 meter dpl tersebut ada sekitar 300 pekerja angkut lepas belerang serta puluhan petugas sulfatara yang menggantungkan hidup dari industri belerang.

Pose pekerja, camp Pondok Bunder/ Foto: Andi Ari SetiadiPose pekerja, camp Pondok Bunder/ Foto: Andi Ari SetiadiKondisi para buruh di Kawah Ijen sendiri, sungguh sangat 'mengiris hati.' Bayangkan saja, seorang kuli angkut belerang harus membawa beban minimal seberat 70 kg di kiri kanan pundak mereka. Terlebih, para buruh ini harus berjalan sejauh 4 km dari tempat pengambilan belerang ketempat penimbangan.

Selain itu, mereka juga harus melewati rute yang sangat sulit seperti track yang menanjak dengan batua-batuan cadas yang menganga. "Mereka hanya dibayar Rp 600 perkilogramnya," ucap Budi Chandra salah satu fotografer menimpali.

Dalam pameran tersebut, pengunjung akan melihat 87 foto menarik terkait kegiatan-kegiatan keseharian para buruh sulfatara. Mulai dari perlengkapan angkut belerang, kepulan asap ketika para buruh mengambil belerang hingga foto keluarga para buruh belerang.

Uniknya, dalam pameran tersebut juga dipajang sebuah keranjang yang lengkap dengan 'perabotan' belerangnya. Ketika TNOL mencoba mengangkatnya... "wow ternyata berat sekali."

"Kalau saya mungkin tidak akan sanggup hidup seperti para pekerja di Kawah Ijen ini. Ternyata, mereka benar-benar pahlawan," gumam dalam hati.


Sumber :
http://www.tnol.co.id/id/book-arts/4161-melongok-nasib-buruh-kawah-ijen-yang-nelangsa.html

No comments:

Post a Comment