Monday, September 19, 2011

Mengapa Menderita ?

Hidup sabagai manusia amatlah singkat. Karena itu, hidup yang singkat ini menjadi amat berharga dan sudah selayak diisi dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Dengan melakukan hal-hal yang baik, buahnya adalah kebahagiaan.. namun sayangnya, kebahagiaan tidak dapat menyelesaikan penderitaan. Kebahagiaan tidak sama artinya dengan berakhirnya penderitaan. Kebahagiaan hanya sekedar menutupi penderitaan sementara waktu. Dan ketika kebahagiaan itu berubah / berakhir, maka penderitaan akan muncul kembali.

Itulah Maha Bijaksananya Sang Guru Agung kita, Buddha Gautama. Beliau tidak mengajarkan umatnya untuk mencapai kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Justru tujuan akhir yang ingin dicapai adalah lenyapnya penderitaan.

Untuk dapat mengetahui cara melenyapkan penderitaan, kita perlu mengetahui lebih dulu apa penyebab timbulnya penderitaan itu.

Dalam pengertian yang lebih sederhana, penyebab timbulnya penderitaan adalah karena adanya persepsi ataupun cara berpikir yang salah.

Coba Anda renungkan dan bayangkan perumpamaan dibawah ini :

Anda baru saja membeli dan menempati sebuah rumah sederhana, belum sampai 10 hari. Kemudian, rumah tetangga sebelah rumah Anda, terbakar habis.. Beruntung sekali, rumah Anda selamat, tidak terbakar sedikit pun juga.

Apa Anda menderita? Tentu tidak.

Mengapa demikian? Karena itu adalah rumah tetangga Anda.

Namun jika rumah yang terbakar itu adalah rumah Anda.

Apa Anda menderita ?

Jawab Anda: ‘ Tentu saja Bhante ‘

Mengapa demikian? Bukankah keduanya sama-sama hanya sebuah rumah ?

Jawab Anda : ‘ Karena itu rumahKU’

Inilah penyebab penderitaan.

RumahKu, milikKu, perasaanKu, jasaKu, perjuanganKU, AKU, AKU, dan AKU.

Adanya ikatan dengan rumah yang kita anggap sebagai milikku itulah yang menyebabkan penderitaan.

Semakin lama, ikatan itu akan semakin kuat karena ada lem penguatnya, yaitu kenikmatan, kesenangan, kenyamanan yang sangat sulit untuk diputuskan/dipotong. Kita menjadi ketagihan dengan kenikmatan-kenikmatan itu. Dan jika suatu hari kenikmatan itu lenyap, rumahku terbakar, kenyamananku lenyap, maka penderitaan itu datang.

Dan semakin melekat kita dengan ikatan itu, maka akan semakin menderitalah.

Ada umat2, yang setelah mengetahui hal ini secara intelektual, dan berkeinginan untuk memutuskan kemelaktan dan melenyapkan keAKUan. Apakah itu bisa dilakukan?

Jawabnya tidak mungkin Anda dapat melenyapkan KeAKUan, hanya dengan konsep2 dan pengertian intelektual. Keinginan untuk melenyapkan Sang Aku, malah menimbulkan satu ‘keinginan’ yang baru. Perlu digarisbawahi, bahwa keinganan tidak dapat diatasi dengan keinginan juga. Keinginan justru membawa kita pada kemelekatan yang baru.

Walaupun secara teoritis, secara baku, kita sudah mengerti konsep kelengketan terhadap Sang Aku, tapi konsep Aku tetap akan terus menerus muncul sepanjang hari. Karena kita memang sudah terbiasa dengan konsep AKU itu, bahkan dalam banyak kehidupan.

Lantas, bagaimana cara untuk mengurangi kemelekatan itu?

Ketika konsep keAKUan itu muncul, janganlah dilawan dengan konsep TIADA AKU. Karena perlawanan hanya akan menimbulkan keributan dalam pikiran, dan tidak membawa penyelesaian masalah.

Tetapi, ketika konsep KeAKUan itu muncul, maka cukup diperhatikan saja dengan sati dan awereness.

Tidak perlu ditanyakan kenapa bisa muncul, tidak usah diladeni, tidak perlu juga dikembangkan, atau tidk usah berusaha disingkirkan. Cukup diperhatikan saja.

Dalam hal ini, kita membutuhkan kekuatan perhatian. Dengan memperhatikan dalam kesadaran maka KeAKUan itu akan lenyap dengan sendirinya. Ketika ia muncul lagi, perhatikan lagi, maka akan lenyap lagi. Dan demikian seterusnya.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita bisa memiliki sati atau perhatian yang kuat?

HARUS DILATIH!!! Kekuatan perhatian, dan kesadaran itu hanya dapat dikembangkan melalui meditasi.

Maka Bhante menyarankan agar melakukan meditasi secara rutin, setidaknya satu kali sehari. Dengan tujuan untuk mengembangkan dan ‘me-recharge’ batere kesadaran kita.

Dan kesadaran inilah yang kemudian kita gunakan untuk menyadari segala macam perasaan, pikiran, keAKUan, kekotoran batin2 yang halus sekalipun.

Kembali bahwa hidup itu singkat.

Apakah orang yang memiliki kesadaran tidak akan menjadi tua, sakit dan mati ? Tentu saja, mereka juga akan mengalami tua, sakit dan mati.

Namun, orang yang memiliki kesadaran, melihat fenomena sebagaimana adanya, tidak akan menderita. Ada usia tua, sakit dan mati, tetapi tidak ada AKU yang menjadi semakin tua, tidak ada AKU yang sakit, tidak ada AKU yang akan mati.

Maka, sakit itu tetap ada, tetapi penderitaan tidak ada.

Misalnya saat Sang Budha menderita sakit diare. Beliau tetap merasakan sakit ( PAIN ), tetap Beliau tidak merasakan penderitaan ( SUFFERING )

Selama masih ada konsep AKU, milikKU, perasaanKU, jasaKu, keluargaKu, AKU, maka penderitaan tidak akan lenyap. Hanya dengan kesadaran, dengan sati, dengan kemampuan untuk melihat segala fenomena dengan benar, maka keAkuan pun akan semakin berkurang.

Dan dengan berkurangnya keAKUan, maka berkurang pulalah penderitaan. Sampai pada akhirnya, tercapai nibbana, yaitu lenyapnya penderitaan.

Inilah jalan yang dapat membawa kita untuk mengakhiri penderitaan.

Semoga Semua Mahluk Berbahagia


Muhammadanism oleh Bhikkhu Pannyavaro
Patidana, 27 Sep 2009
Vihara Buddha Sasana Kelapa Gading

No comments:

Post a Comment