Tuesday, September 20, 2011

Membuka Pintu Hati (by : Ajahn Brahm)

Beberapa abad yang silam, tujuh orang biksu tinggal di sebuah gua dalam hutan rimba di suatu tempat di Asia, mereka melakukan meditasi cinta kasih tanpa syarat yang saya ceritakan dalam cerita sebelumnya. Ada seorang biksu kepala, adiknya dan sahabat karibnya. Yang keempat adalah musuh biksu kepala: mereka tidak pernah akur. Biksu kepala kelima adalah biksu yang sangat tua, begitu rentanya sampai-sampai sewaktu-waktu ia bisa saja meninggal dunia. Yang keenam, biksu yang sakit berat--bisa saja meninggal kapan saja. Yang terakhir, ketujuh, adalah biksu yang tak berguna. Dia mendengkur setiap saat dia seharusnya bermeditasi, tak bisa mengingat paritta (ayat suci), dan kalau pun kebetulan ingat, ia mendarasnya dengan nada sumbang. Ia juga tidak bisa menggunakan jubah dengan pantas. Namun biksu yang lain membiarkannya begitu saja dan berterima kasih kepadanya karena telah mengajarkan mereka untuk bersabar.

Suatu hari, segerombolan bandit menemukan gua tersebut. Gua itu sangat terpencil, sangat tersembunyi, sehingga mereka ingin mengambil alih gua itu untuk dijadikan markas. Jidi mereka berniat untuk membunuh semua biksu tersebut. Akan tetapi, untunglah, biksu kepala sangat lihai berbicara membujuk orang. Dia berhasil--jangan tanya saya caranya--membujuk gerombolan bandit untuk membiarkan biksu-biksu itu pergi, kecuali satu orang sandera, yang akan dibunuh sebagai peringatan kepada biksu-biksu yang lain untuk tidak mengatakan lokasi gua itu kepada siapa pun. Itulah hasil terbaik yang bisa dinegosiasikan oleh biksu kepala.

Tatkala saya menceritakan kisah ini di depan publik, saya berhenti sebentar untuk bertanya pada hadirin, "Baiklah, menurut Anda, siapakah yang akan dipilih oleh biksu kepala?" Pertanyaan ini biasanya bisa menyegarkan hadirin yang terkantuk-kantuk dalam ceramah saya dan membangunkan mereka yang sudah tertidur. Saya mengingatkan mereka bahwa da biksu kepala, adiknya, sahabatnya, musuhnya, biksu tua dan bisu yang sakit (dua-duanya sudah mau mati), serta biksu yang tidak berguna. Menurut Anda, siapa yang akan dipilihnya?

Sebagian menyarankan si musuh saja, "Bukan," kata saya. "Saudaranya?" "Salah."

Biksu yang tak berguna selalu saja disebutkan--tega nian kita! Setewlah cukup menikmati jawaban-jawaban itu, saya beberkan jawabannya: biksu kepala tak mampu memilih.

Cinta kasihnya kepada adiknya sama persis besarnya, tidak lebih atau tidak kurang, dengan cinta kasihnya kepada sahabatnya, juga persis dengan cinta kasihnya kepada musuhnya, kepada biksu tua, biksu yang sakit, bahkan kepada biksu yang tak berguna itu. Dia telah menyempurnakan arti kata-kata itu: pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan, siapa pun kamu.

Pintu hati biksu kepala terbuka lebar untuk semua, tanpa syarat, tanpa pandang bulu, cinta kasih yang mengalir bebas. Dan yang paling penting, cinta kasihnya kepada orang lain sama besarnya dengan cinta kasihnya pada dirinya sendiri. Pintu hatinya juga terbuka untuk dirinya sendiri. Itulah mengapa dia tak mampu memilih antara dirinya sediri dan yang lain-lain.

Saya mengingatkan orang Yahudi-Kristiani di antara hadirin saya bahwa kitab mereka mengajarkan untuk "cintailah tetanggamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri." Tidak lebih dari dirimu sendiri dan tidak kuarang dari dirimu sendiri, namun setara dengan dirimu sendiri. Itu berarti memperlakukan orang lain seperti halnya kita memperlakukan diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri seperti halnya kita memperlakukan orang lain.

Mengapa kebanyakan hadirin berpikir bahwa biksu kepala akan mengorbankan dirinya sendiri untuk dibunuh? Mengapa, dalam budaya kita, kita selalu mengorbankan diri sendiri untuk orang lain dan menganggap hal itu sebagai kebaikan? Mengapa kita lebih menuntut, lebih kritis, dan menghukum diri sendiri lebih dari siapa pun? Alasannya cuma satu: kita belum belajar bagaimana mencintai diri sendiri. Jika Anda merasa sulit untuk berkata kepada orang lain "pintu hatiku terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan," akan jauh lebih sulit untuk mengatakannya kepada diri sendiri, "Aku. Orang yang begitu dekat, kalau nggak salah ingat. Diriku. Pintu hatiku juga akan selalu terbuka untuk diriku sendiri. Aku ini, tak peduli apa pun yang telah kulakukan. Ayo masuk!"

Itulah yang saya maksud dengan mencintai diri kita sendiri: ini dinamakan pemaafan. Melangkah keluar dari penjara rasa bersalah; berdamai dengan diri sendiri. Dan jika Anda punya nyali untuk mengatakan kata-kata itu kepada diri Anda sendiri, dengan sejujurnya, dari relung hati yang terdalam, maka Anda akan menyongsong ke depan, bukannya mundur, untuk menemukan cinta kasih yang luhur. Suatu hari, kita semua harus mengatakan kata-kata itu, atau yang semacamnya, kepada diri kita sendiri, dengan sejujurnya, bukan hanya main-main. Saat kita melakukannya, itu seakan-akan seperti memanggil pulang bagian diri kita yang telah lama terusir, hidup membeku di luar sana. Kita merasa tersatukan, utuh, dan lepas untuk bahagia. Hanya ketika kita bisa mencintai diri sendiri dengan cara begitu, barulah kita benar-benar mengerti bagaimana mencintai orang lain, tidak lebih dan tidak kurang.

Dan harap diingat, Anda tidak perlu menjadi sempurna terlebih dahulu, tanpa kesalahan, untuk memberikan cinta Anda kepada diri sendiri. Jika Anda harus menunggu kesempurnaan, itu tidak akan tiba. Kita harus membuka pintu hati kita kepada diri kita sendiri, apa pun yang telah kita lakukan. Begitu kita berada di dalamnya, sempurnalah kita.

Orang sering bertanya kepada saya, apa yang terjadi dengan ketujuh biksu tersebut sewaktu biksu kepala mengatakan kepada para bandit bahwa dia tidak mampu memilih.

Kisah ini, seperti yang saya dengar beberapa tahun silam, tidak mengisahkan kelanjutannya: ceritanya berhenti sampai di situ! Namun saya tahu apa yang terjadi kemudian; saya mereka-reka apa yang semestinya terjadi. Ketika biksu kepala menjelaskan kepada para bandit kenapa dia tidak mampu memilih antara dirinya sendiri dan yang lain, dan menjelaskan arti cinta kasih dan arti pemaafan seperti saya jelaskan kepada Anda tadi, maka semua bandit menjadi sangat terkesan dan terinspirasi, sehingga tidak hanya mereka melepaskan semua biksu itu, namun mereka juga bertaobat dan menjadi biksu.


Sumber : Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya by Ajahn Brahm

No comments:

Post a Comment