John
Blanford berdiri tegak di atas bangku di Stasiun Kereta Api sambil
melihat ke arah jarum jam, pukul 6 kurang 6 menit. John sedang menunggu
seorang gadis yang dekat di hatinya, tetapi dia tidak mengenal wajahnya.
Seorang gadis dengan setangkai mawar.
Lebih dari setahun yang lalu, John membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan. Rasa ingin tahunya terpancing saat ia melihat coretan tangan yang halus di buku tersebut. Pemilik terdahulu buku tersebut adalah seorang gadis bernama Hollis Molleoin. Hollis tinggal di New York dan John di Florida. John mencoba menghubungi sang gadis dan mengajaknya untuk saling bersurat. Beberapa hari kemudian, John dikirim ke medan perang, Perang Dunia II. Mereka terus saling menyurati selama hampir 1 tahun. Setiap surat seperti layaknya bibit yang jatuh di lantai yang subur dalam hati masing-masing dan menumbuhkan jalinan cinta di antara mereka.
John berkali-kali meminta agar Hollis mengiriminya sebuah foto. Akan tetapi sang gadis selalu menolak, kata sang gadis, “Kalau perasaan cintamu tulus, John. Bagaimanapun paras saya tidak akan mengubah perasaan itu. Kalau saya cantik, selama hidup saya akan bertanya tanya apakah mugkin perasaanmu itu hanya dikarenakan kecantikan saya saja. Kalau saya biasa-biasa atau cenderung jelek, saya takut kamu akan terus menulis hanya karena kamu merasa kesepian dan tidak ada orang lain lagi tempat kamu mengadu. Jadi, sebaiknya kamu tidak usaha mengetahui paras saya. Sekembalinya kamu ke New York, kita akan bertemu muka. Pada saat itu, kita akan bebas menentukan apa yang akan kita lakukan.”
Mereka berdua membuat janji untuk bertemu di Stasiun Pusat di New York pada pukul 6 sore setelah perang usai. “Kamu akan mengenali saya, John. Karena saya akan menyematkan setangkai bunga mawar merah pada kerah baju. ” Kata Hollils.
Pukul 6 kurang 1 menit, sang perwira muda semakin gelisah. Tiba-tiba, jantungnya serasa hampir copot, dilihatnya seorang gadis yang sangat cantik berbaju hijau lewat di depannya, tubuhnya langsing, rambutnya pirang bergelombang, matanya biru seperti langit, luar biasa cantiknya. Sang perwira mulai menyusul sang gadis, dia bahkan tidak menghiraukan kenyataan bahwa sang gadis tidak mengenakan bunga sperti yang telah disepakati. Hanya tinggal 1 langkah lagi ketika John melihat seorang wanita berusia 40 tahun mengenakan sekuntum mawar merah di kerahnya. “O… itu Hollis!!!”
Rambutnya sudah mulai beruban dan agak gemuk. Gadis berbaju hijau hampir menghilang. Perasaan sang perwira mulai terasa terbagi dua, ia ingin berlari mengejar sang gadis cantik. Di sisi lain, ia tidak ingin menghkhianati Hollis yang lembut dan telah menemaninya selama masa perang. Tanpa berpikir panjang, John berjalan menghampiri wanita yang berusia setengah baya itu dan menyapanya. “Nama saya John Blanford, Anda tentu saja Nona Hollis. Bahagia sekali bisa bertemu dengan Anda. Maukah Anda makan malam bersama saya?”
Sang wanita tersenyum ramah dan berkata, “Anak muda, saya tidak tahu apa arti semua ini. Tetapi seorang gadis berbaju hijau yang baru saja lewat memaksa saya untuk mengenakan bunga mawar ini dan dia mengatakan kalau Anda mengajak saya makan, maka saya diminta untuk memberitahu Anda bahwa dia menunggu Anda di restoran di ujung jalan ini. Katanya semua ini hanya untuk menguji Anda.”
Renungan….
Kita tidak bisa benar-benar yakin akan suatu hal, sebelum hal itu diuji. Seperti halnya ketika kita harus melewati ujian agar bisa dnyatakan menguasai suatu ilmu. Obat akan diuji sebelum diakui dan dipergunakan.
Demikian juga dengan perasaan cinta.
Suatu relasi mencapai kesejatiannya setelah mengalami berbagai ujian. Termasuk ujian kesetiaan. Apakah kita cukup setia dengan pilihan kita atau dengan mudah berpaling kepada yang lain?
Source : unknown
Lebih dari setahun yang lalu, John membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan. Rasa ingin tahunya terpancing saat ia melihat coretan tangan yang halus di buku tersebut. Pemilik terdahulu buku tersebut adalah seorang gadis bernama Hollis Molleoin. Hollis tinggal di New York dan John di Florida. John mencoba menghubungi sang gadis dan mengajaknya untuk saling bersurat. Beberapa hari kemudian, John dikirim ke medan perang, Perang Dunia II. Mereka terus saling menyurati selama hampir 1 tahun. Setiap surat seperti layaknya bibit yang jatuh di lantai yang subur dalam hati masing-masing dan menumbuhkan jalinan cinta di antara mereka.
John berkali-kali meminta agar Hollis mengiriminya sebuah foto. Akan tetapi sang gadis selalu menolak, kata sang gadis, “Kalau perasaan cintamu tulus, John. Bagaimanapun paras saya tidak akan mengubah perasaan itu. Kalau saya cantik, selama hidup saya akan bertanya tanya apakah mugkin perasaanmu itu hanya dikarenakan kecantikan saya saja. Kalau saya biasa-biasa atau cenderung jelek, saya takut kamu akan terus menulis hanya karena kamu merasa kesepian dan tidak ada orang lain lagi tempat kamu mengadu. Jadi, sebaiknya kamu tidak usaha mengetahui paras saya. Sekembalinya kamu ke New York, kita akan bertemu muka. Pada saat itu, kita akan bebas menentukan apa yang akan kita lakukan.”
Mereka berdua membuat janji untuk bertemu di Stasiun Pusat di New York pada pukul 6 sore setelah perang usai. “Kamu akan mengenali saya, John. Karena saya akan menyematkan setangkai bunga mawar merah pada kerah baju. ” Kata Hollils.
Pukul 6 kurang 1 menit, sang perwira muda semakin gelisah. Tiba-tiba, jantungnya serasa hampir copot, dilihatnya seorang gadis yang sangat cantik berbaju hijau lewat di depannya, tubuhnya langsing, rambutnya pirang bergelombang, matanya biru seperti langit, luar biasa cantiknya. Sang perwira mulai menyusul sang gadis, dia bahkan tidak menghiraukan kenyataan bahwa sang gadis tidak mengenakan bunga sperti yang telah disepakati. Hanya tinggal 1 langkah lagi ketika John melihat seorang wanita berusia 40 tahun mengenakan sekuntum mawar merah di kerahnya. “O… itu Hollis!!!”
Rambutnya sudah mulai beruban dan agak gemuk. Gadis berbaju hijau hampir menghilang. Perasaan sang perwira mulai terasa terbagi dua, ia ingin berlari mengejar sang gadis cantik. Di sisi lain, ia tidak ingin menghkhianati Hollis yang lembut dan telah menemaninya selama masa perang. Tanpa berpikir panjang, John berjalan menghampiri wanita yang berusia setengah baya itu dan menyapanya. “Nama saya John Blanford, Anda tentu saja Nona Hollis. Bahagia sekali bisa bertemu dengan Anda. Maukah Anda makan malam bersama saya?”
Sang wanita tersenyum ramah dan berkata, “Anak muda, saya tidak tahu apa arti semua ini. Tetapi seorang gadis berbaju hijau yang baru saja lewat memaksa saya untuk mengenakan bunga mawar ini dan dia mengatakan kalau Anda mengajak saya makan, maka saya diminta untuk memberitahu Anda bahwa dia menunggu Anda di restoran di ujung jalan ini. Katanya semua ini hanya untuk menguji Anda.”
Renungan….
Kita tidak bisa benar-benar yakin akan suatu hal, sebelum hal itu diuji. Seperti halnya ketika kita harus melewati ujian agar bisa dnyatakan menguasai suatu ilmu. Obat akan diuji sebelum diakui dan dipergunakan.
Demikian juga dengan perasaan cinta.
Suatu relasi mencapai kesejatiannya setelah mengalami berbagai ujian. Termasuk ujian kesetiaan. Apakah kita cukup setia dengan pilihan kita atau dengan mudah berpaling kepada yang lain?
Source : unknown
No comments:
Post a Comment