Melihat Jepang dari Dekat
Salju baru saja turun ketika sampai di Bandara Narita.
Saya akan berada di Negeri Mata Hari Terbit ini selama 10 hari
mengunjungi beberapa tempat, seperti sekolahan, kuil, universitas,
mengikuti upacara sado, setsubun, dan berkunjung ke tempat-tempat wisata
dan bersejarah.
Begitu keluar dari
bandara saya langsung disergap udara dingin. Saya datang di bulan
Januari ketika Jepang memasuki akhir musim dingin. Jepang mengenal empat
musim: musim panas (natsu), Juni, Juli, Agustus; musim gugur (aki),
September, Oktober, November; musim dingin (fuyu), Desember, Januari,
Februari; dan musim semi (haru), Maret, April, dan Mei.
Jepang merupakan salah
satu negara maju: Negara Asia yang berhasil belajar pada Barat (Eropa)
tapi tak “terbaratkan”. Tahun 1890-an Jepang sudah modern dan
meninggalkan negara-negara Asia lainnya. Meski banyak belajar dan
bersentuhan dengan Barat, Jepang berhasil mempertahankan identitas
kebudayaannya. Banyak tempat-tempat bersejarah di Jepang yang masih
terawat dengan baik. Sebagai bangsa besar, Jepang menyimpan banyak
tradisi dan kebudayan yang sampai sekarang masih dipertahankan.
Di sini saya seperti
menemukan pemandangan baru yang belum saya temukan sebelumnya.
Orang-orang berjalan di trotoar dengan tertib dan disiplin. Trotoar
hanya disediakan bagi pejalan kaki dan beberapa pengguna sepeda ontel.
Saya tak melihat pengendara mobil atau motor yang ugal-ugalan, apalagi
penyebrang jalan sembarangan. Semuanya seperti “mesin” yang tunduk
mengikuti aturan. Setiap kali hendak menyebrang jalan, orang-orang
dengan sabar menunggu di depan lampu merah hingga lampu menyala hijau.
Zebracross betul-betul difungsikan untuk penyebrang jalan.
Meski berada di pusat
kota, saya tak menjumpai kemacetan. Setiap kendaraan dapat melaju 60-80
km perjam. Jalanan terlihat agak lengang. Entah, ini berlaku bagi semua
jalanan di Tokyo atau tidak. Yang membuat saya terkagum-kagum, saya tak
menemukan papan reklame iklan yang biasanya terpasang di setiap sudut
kota, pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko-toko. Apalagi gambar
“calon” atau spanduk partai yang biasanya dipasang di sembarang tempat.
Di sini saya tak mudah
menemukan mini market, pusat perbelanjaan (mall/mega mall), pasar
tradisonal, atau pedagang asongan yang biasanya mangkal
dipinggir-pinggir jalan. Tata kota (RTRW) yang baik, tertib, dan rapih,
menambah pesona Ibu Kota Negara Jepang ini. Di sini pembagian wilayahnya
sangat jelas: pusat perbelanjaan, perumahanan, perkantoran, pusat
bisnis, pusat pemerintahan. Tak seperti Jakarta yang semuanya “pasar”,
dipenuhi iklan, semerawut, dan terkesan tak memiliki aturan yang jelas.
Pengusaha dapat dengan mudah membuka tempat hiburan atau pusat
perbelanjaan dimanapun dia mau. Pedagang kaki lima pun dapat membuka
usaha di tempat manapun yang dianggap strategis.
Yang bikin saya kaget,
saya tak menemukan sepeda motor, kecuali hanya beberapa. Padahal,
sebagaimana yang kita tahu, Jepang adalah produsen terbesar mobil/speda
motor. Merek-merek besar seperti Honda, Suzuki, ataupun Kawasaki hampir
membanjiri seluruh jalanan di Indonesia. Anehnya, di negeri asalnya,
orang Jepang jarang sekali menggunakan sepeda motor.
Saya penasaran dan
mencoba menanyakan pada orang Jepang sendiri yang kebetulan menemani
perjalanan saya keliling Jepang. Menurutnya, setidaknya, ada dua alasan:
pertama, moda transportasi umum, seperti kereta, bus, trem sudah
dainggap cukup mengantar dan menemani mereka bepergian kemanapun. Mereka
tak harus susah payah menggunakan kendaraan pribadi karena moda
transportasi umum dianggap lebih ekonomis, tepat waktu, dan dapat dengan
mudah ditemukan.
Kedua, bagi orang
Jepang, sepeda motor dianggap kendaraan yang paling beresiko mengancam
keselamatan. Artinya, bagi orang Jepang, sepeda motor adalah “sampah”
yang tak layak digunakan, tapi menguntungkan. Akhirnya “sampah” itu
dibuang di negara-negara “miskin” yang masyarakatnya belum memiliki
kesadaran penuh tentang arti keselamatan jiwa. Indonesia adalah salah
satu negara “tong sampah” itu.
Selama di hotel saya
selalu menyempatkan diri untuk menikmati tayangan acara di
televisi-televisi. Semua chanel dan stasiun tv saya tonton satu persatu.
Ternyata, tak seperti televisi-televisi Indonesia, stasiun televisi
Jepang tak banyak dijejali iklan, sinetron, atau acara-acara “sampah”
lainnya. Tayangan televisi betul-betul diproteksi oleh negara, terutama
untuk melindungi anak-anak.
SMA BUNKYO
Pertama kali saya
berkunjung ke sekolahan SMA Bunkyo. Sekolahan ini berada di pusat kota
Tokyo. Sekolah yang didirikan 30 April 1940 ini merupakan sekolah negeri
yang dibiayai oleh pemerintah. Sekolah ini memiliki 23 kelas (delapan
kelas untuk murid kelas 1-2 tahun, sedangkan sisanya untuk murid kelas
3). Masing-masing kelas disi maksimal 4o orang. Sekolahan yang beralamat
di 1-1-5 Nishi-Sugamo Toshima-ku, Tokyo ini memiliki laboratorium
bahasa, ruang komputer, tiga laboratoriun sains, perpustakaan, ruang
seminar, aula, ruang teater dan musik, kolam renang, gedung olahraga
Kendo dan tenis, ruangan tradisional Jepang, dll.
Kurikulum dan mata pelajaran untuk kelas 1 dan 2 adalah: pelajaran Bahasa Jepang, geography, sosiologi, matematik, basic sains, biologi, fisika, kesehatan, kesenian (music/Fine art, Calligraphy). Sedangkan untuk kelas tiga ditambah pelajaran menulis dan membaca, ekonomi-politik, dan agak diperluas.
Siswa mulai masuk kelas
pukul 8.25 dan keluar pukul 05.00 s/d 06.45. satu hari rata-rata
menghabiskan 8 sampai 12 mata pelajaran yang masing-masing pelajaran
membutuhkan waktu 55 menit.
Sependek pengamatan
saya, system pembelajaran di sana sebetulnya tak ada yang baru. System
pengajarannya masih konvensional dengan menggunakan metode ceramah.
Setiap kelas diisi 40-45 orang. Yang menurut saya agak unik, hampir
semua sekolahan yang saya kunjungi alat pengajarannya masih menggunakan
kapur tulis. Ini terjadi di Negara yang mengalamai modernisasi lebih
awal. Mungkin yang membedakan sisitem sekolah di sana adalah kurikulum
yang dipadatkan, tak melebar, dan lebih menitikberatkan pada
pelajaran-pelajaran dasar. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, Jepang
melakukan pemangkasan besar-besaran terhadap mata pelajaran “tak
penting”. Prinsip mereka, lebih baik mengetahui sedikit tapi mendalam
daripada mengetahui banyak tapi setengah-setengah
Pemerintah Jepang
mewajibkan sekolah sembilan tahun (SD dan SMP). Kewajiban ini mulai
berlaku bagi anak umur enam tahun. Ketika memasuki usia enam tahun,
orang tua siswa akan menerima kartu undangan (pemberitahuan) dari
kecamatan setempat agar menyekolahkan anaknya. Tanpa kartu ini pihak
sekolah tidak akan menerima anak tersebut. Jadi, begitu anak lahir
datanya langsung masuk data base Negara.
SMP CHITOSEBASHI
Setelah berkunjung ke
SMA Bonkyu, saya mampir dan berkunjung ke SMP Chitosebashi. Sekolah ini
berdiri tahun 1999. Ia gabungan dari dua sekolahan (SMP). Tingkat
kelahiran yang rendah membuat banyak sekolahan di Jepang gulung tikar.
Semua murid memakai baju seragam dan sepatu khusus yang disediakan pihak
sekolah. Anak-anak di sekolahan ini sebelum masuk kelas wajib ke
perpustakaan dan membaca buku minimal 10 menit. SMP terbaik se-Kec
Oshima ini memiliki murid sekitar 440.
Di samping kegiatan
belajar pelajaran utama, juga dilengkapi dengan kegiatan sekolah
penunjang (gakushu katsudou), seperti piknik/darmawisata (tatewari
ensoku), pelatihan penyelamatan diri pada saat terjadi bencana alam
(hinan kunden), pelatihan menghadapi kebakaran (kasai kunden), guest
teacher program, sport festival (undokai), juga festival sandiwara
(gakugeikai). Selain itu, dibekali juga dengan kegiatan ekstra kurikuler
(bukatsu), seperti komputer, seni (melukis ilustrasi, kaligrafi, music
brass band), sport (sepak bola, base ball, basket)
Selesai berdiskusi, mendengar langsung penjelasan dari kepala sekolah ini, juga melihat-lihar ruangan kelas dan bagaimana murid-murid belajar, saya kembali lagi ke hotel. Sebelum pulang ke hotel, saya mencari masjid di kota Tokyo untuk melaksanakan salat Jumat —-waktu itu kebetulan hari Jumat. Saya Jumatan di Masjid Jami Tokyo. Masjid yang dibangun orang Turki pada 1998-2000 ini termasuk yang terbesar di Tokyo. Ada sekitar 50 masjid yang tersebar di Tokyo dan sekitarnya. Yang rajin bangun masjid di Jepang rata-rata orang ITB (India, Turki, Banglades).
Jangan membayangkan bangunan masjid seperti di Indonesia yang rata-rata besar dan megah meskipun belum tentu banyak jamaahnya. Di sini ruko juga terkadang dijadikan masjid. Tak mudah membangun masjid di Tokyo. Bukan karena peraturan pemerintah atau dilarang dan dihalang-halangi pemuka agama di sini, tanah dan bangunan di sini lumayan mahal. Sehingga, orang harus berpikir dua kali untuk membeli tanah dan membangun masjid di negara sekular ini. Meski begitu, di Tokyo sendiri terdapat sekitar 50 masjid yang dibangun oleh pendatang Islam di sini.
Jepang adalah negara sekular dalam arti tak berurusan dengan agama. Dalam hal beragama orang Jepang sendiri tak begitu “serius” dan “patuh” pada satu agama. Pada saat lahir orangg Jepang biasanya merayakan upacaranya di kuil Shinto, ketika kawin di Greja, dan waktu meninggal di Vihara Budha. Agama betul-betul masuk wilayah privat dan tak boleh dibicarakan dalam ruang publik. Bahkan, orang Jepang sendiri kebanyakan tak terlalu peduli dengan agama.
Selesai Jumatan saya menyempatkan diri melihat-lihat Tokyo dari atas Menara Tokyo. Rasanya indah sekali menikmati Tokyo dari ketinggian 155 m di Menara yang dibangun 1955 ini. Menara yang lebih tinggi dari Eiffel (320 m) ini total ketinggiannya 333 m. Menara yang konstruksinya terbuat dari besi dengan berat 4000 ton ini merupakan landmark Jepang. Selain menara ini, Jepang juga memiliki satu menara lagi yang baru selesai dibangun 2010 yang diberi nama Skytree setinggi 623 m.
Setelah
itu saya dijadwalkan mengunjungi Pusat Penanggulangan Bencana di
Kitaku. Di tempat ini saya diajari cara menghindari dan menyelamatkan
diri dari bencana (kebakaran dan gempa), praktik memadamkan api, juga
merasakan simulasi gempa. Jepang adalah negara yang rawan diguncang
gempa. Karena itu, negara ini menetapkan “standar penyelamatan” yang
diajarkan disekolah-sekolah dan setiap bangunan/gedung di Jepang
rata-rata dilengkapi tanda khusus berupa gambar yang dipasang di
tembok-tembok sebagai bentuk penyelamatan diri.
HIROSHIMA
Tokyo-Hiroshima membutuhkan waktu sekitar 1 jam menggunakan pesawat. Di Hiroshima saya mengunjungi satu tempat penting bersejarah, yakni Gedung Peringatan Bom Atom, dan menginap selama dua hari bersama keluarga orang Jepang. Dua hal yang menurut saya paling menarik. Saya banyak belajar dari kunjungan ini. Sebagaimana kota-kota besar Jepang lainnya, Hiroshima adalah kota yang indah, bersih, rapih dan asri. Ia dibelah oleh dua aliran sungai besar yang airnya bersih dan jernih. Sebelum dijatuhi bom Atom, kota ini adalah kota pelajar dan pusat militer. Banyak universitas terkemuka lahir di kota ini.
Sebelum
mengunjungi Museum Perdamaian, saya mampir di Bangunan Peringatan Bom
Atom Hiroshima. Ketika saya berkunjung ke sini, bangunan ini sedang
direnovasi ulang. Awalnya tempat ini adalah gedung pusat bisnis pada
zamannya. Gedung ini memiliki kubah yang terbuat dari tembaga. Pada saat
bom atom dijatuhkan di kota ini, tembaga itu meleleh dan bangunannya
rusak parah.
Bom
yang meluluhlantakkan seluruh bangunan di Hiroshima dan menewaskan 140
ribu orang ini diledakkan pada 9 Agustus 45 pukul 8.15. Bom dengan
panjang 3 m, berat 4 ton, dan berisi 5 kg uranium ini meledak 600 meter
di atas rumah sakit Shima dan membentuk bola api (cendawan) besar yg
panasnya kira-kira 1 juta drajat celcius. Perang memang selalu
menyisahkan kesedihan. Meski “Little Boy” (nama bom atom ini) dijatuhkan
atasnama “perdamaian” tapi ini adalah bukti kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan Amerika.
Di belakang Gedung Perdamiana terdapat Lapangan Perdamaian. Di lapangan ini setiap 6 Agustus masyarakat Jepang memperingati peristiwa kejahatan kemanusiaan itu. Lapangan ini berada di tengah-tengah kota Hiroshima. Sebelum Bom Atom diledakkan di langit-langit kota ini, tanah lapang ini dipadati rumah dan bangunan. Dalam waktu sekejap, Bom Atom menyapu bersih dan membakar semua bangunan, pohon, dan makhluk hidup yang ada di sini. Bom Atom menandai berakhirnya Perang Dunia II. Dan, setelah itu, selama 6 tahun Jepang diduduki AS.
Di dalam gedung perdamaian terdapat replika “Little Boy”, bekas pakaian terbakar, batang besi yang meleleh, pecahan bangunan, photo-photo korban, replikan dan photo kota Hiroshima sebelum dan sesudah diluluhlantakkan, dll. Di musium ini penderitaan, kesedihan, kemarahan, tangisan, dan kutukan dari para korban masih terekam jelas. Hanya satu pesan dari para korban yang “diabadikan” dalam gedung ini (Spirit of Hiroshima): Hapuskan Senjata Nuklir Demi Perdamaian Dunia.
Sekitar 3 jam keliling
dan photo-photo di tempat ini, saya kembali ke hotel untuk bertemu
dengan rombongan keluarga Jepang yang rencananya saya akan menginap dan
tinggal selama dua hari bersama mereka. Saya akan melihat dan merasakan
langsung bagaimana hidup dengan keluarga orang Jepang. Tentunya ini
pengalaman menarik.
Begitu sampai di hotel, ternyata keluarga Jepang itu sudah menunggu saya. Saya berkenalan dengan mereka. Sepasang suami-istri bernama Norio Sigetake dan Kunie Sigetake ini terlihat sangat hangat dan care menyambut saya. Rupanya mereka terbiasa bertemu dengan orang asing. Saya langsung diajak masuk mobil dan berangkat ke rumahnya.
Dari hotel ke rumahnya lumayan jauh, sekitar 2 jam menggunakan mobil. Sebelum sampai ke rumahnya saya diajak ke tempat wisata di sebuah bukit yang dari atas bukit itu saya bisa melihat Hiroshima. Kemudian mampir di mini market untuk membeli makanan dan kebutuhan dapur selama tinggal bersama mereka.
Begitu sampai di
rumahnya, saya langsung disuguhi teh hijau panas tanpa gula, minuman
khas Jepang. Ibu Kunie menunjukkan tempat tidur untuk saya, kamar mandi,
ruang makan, dan ruangan tertentu di rumah tersebut. Rumahnya tak
begitu besar, minimalis, hanya cukup untuk keluarga kecil. Ibu Kunie
Sigetake memiliki dua anak yang sekarang sudah kawin dan memiliki
pekerjaan sendiri di Tokyo. Anak-anaknya jarang pulang. Sepasang
suami-istri ini sekarang tengah menikmati pensiunan dan hari tua mereka.
Ibu Kunie adalah seorang seniman. Ia menunjukkan beberapa lukisannya.
Meski baru kenal, saya dianggap sebagai anaknya sendiri. Saya dikenalkan
dan disuruh memakai pakaian tradisional Jepang, Kendo. Saya makan
dengan makanan khas Jepang. Juga banyak bercerita tentang tradisi dan
kebudayaan masing-masing.
Suami-istri ini terlihat begitu damai. Mereka memiliki dua buah mobil (rata-rata keluarga Jepang yang tinggal dikampung memilki mobil), traktor, dan alat-alat pertanian. Meski usianya sudah kepala enam namun masih terlihat sehat dan lincah. Saya diajak jalan-jalan menikmati daerah sekitar Hiroshima dan berkunjung ke “kampung wisata” Takehara.
Di
Takehara terdapat satu “kampung” yang masih merawat dengan baik
rumah-rumah tradisional Jepang Abad 17-an. Atap bangunanya masih
mengunakan kayu-kayu besar, arsitekturnya bagus-bagus, dan semuanya
masih terlihat kuat dan kokoh. Di “kampung wisata” ini seolah-olah kita
tersedot waktu di mana Jepang baru saja mau merangkak bangkit. Mungkin,
kalau di Indoensia, tempat-tempat bersejarah seperti ini akan mudah
digusur untuk Mall, apartemen, atau perkantoran. Dari sini saya melihat
Jepang masih peduli terhadap peninggalan warisan budaya bangsanya.
Inilah yang membuat Jepang sebagai bangsa berkarakter. Bangsa yang tak
mudah dijajah dan ditaklukkan.
Setelah
dua hari saya menginap bersama sepasang suami-istri yang baik ini, saya
pergi ke Kyoto, salah satu kota penting di Jepang. Kyoto adalah
Jogjanya Jepang. Sebelum restorasi Meiji dan pindah ke Edo (Tokyo), kota
ini pernah dijadikan ibu kota negara. Kaisar Jepang membangun istana
dan benteng di kota yang menyimpan ratusa kuil ini.
Kyoto
pada akhir abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-19 merupakan ibu kota
negara Jepang dan menjadi pusat kebudayaan. Kyoto termasuk salah satu
kota kebudayaan terkaya di dunia. Tercatat sekitar 1.600 kuil Budha, 400
tempat Ibadah Shinto, istana kekaisaran, sejumlah khas taman Jepang,
dan museum di Kyoto.
Hiroshima-Kyoto
saya menggunakan kereta cepat (shinkansen). Hiroshima-Kyoto yang
berjarak ±600 km lebih ditempuh hanya 1.44 menit. Kereta listrik dengan
kecepatan 360 km perjam ini terhubung ke seluruh kepulauan Jepang dan
tak pernah telat kecuali 7 detik. Saya punya keyakinan sejak dulu negara
kita sebetulnya mampu membikin kereta seperti ini. Hanya, duitnya
banyak dikorupsi pejabat dan politisi kita. Juga, lebih parah lagi,
ilmuan kita lebih senang jadi kuli di luar negeri ketimbang membangun
negara sendiri.
Di
Kyoto tempat pertamakali yang saya kunjungi adalah Pusat Studi Asia
Tenggara (Center for Southeast Asian Studies) Universitas Kyoto. Di sini
saya bertemu dengan Profesor Okamoto Masaaki dan mendengarkan
presentasi hasil penelitiannya tentang dinamika Islam di Indonesia.
Menurutnya hasil penelitiannya, ternyata proses Islamisasi di Indoensia
tidak berbanding lurus dengan perolehan suara partai Islam. Terbukti,
kata dia, masyarakat lebih memilih partai nasionalis ketimbang partai
islam. Sepanjang 1999 sampai 2009 perolehan partai Islam hanya 38-29 %.
Ini tak sebanding dengan ghirah/semangat umat Islam dalam berlomba-lomba
menerapkan Perda-Perda Syariat yang total jumlahnya 78 perda di 52
Kab/Kota.
Saya dicekoki banyak data tentang dinamika dan realitas umat Islam di Indonesia menurut pandangan “orang luar”. Setelah mendengar paparan beliau, berdiskusi, kurang lebih selama 2 jam, saya bertandang ke SMK Pertanian. Ini adalah satu-satunya sekolah pertanian di Kyoto. Sekolah ini memiliki luas bangunan 40,901 m dan tempat olehraga 7,658 m. Juga mempunyai sawah yang lumayan luas, peternakan sapi perah, pengolahan pupuk, laboratorium bunga, tempat membuat taman.
Sekolah ini memiliki banyak jurusan. Di antaranya, jurusan menanam padi, bio tumbuh-tumbuhan, penanaman bunga, peternakan, pertanian, dan pertamanan. Ketika menginjak kelas 2 para siswa mulai diperbolehkan memilih jurusan sesuai minat den keinginan masing-masing. Sekolah yang sudah berumur 30 tahun ini memiliki asrama sendiri. Bagi tingkat pertama wajib tinggal diasrama, sementara tingkat dua dan tiga boleh memilih. Rata-rata lulusan sekolah ini 1/3 melanjutkan ke universitas, 1/3 lagi ke akademi kejuruan, dan 1/3 lagi melanjutkan kerja. Sekolah ini memiliki 165 laki-laki dan 75 perempuan.
Model pendidikan
seperti ini, menurut saya, lebih cocok diterapkan di Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan potensi alam yang luar biasa besar. Tapi
semuanya belum digarap dan didayagunakan secara maksimal, baik
pertanian, kehutanan, kelautan, perkebunan, maupun pertambangan. Dengan
menciptakan sekolah berbasis pada pertanian, kelautan, atau kehutanan,
potensi alam di negara ini akan bisa dimanfaatkan secara baik oleh
bangsa kita sendiri. Dengan demikian, pendidikan tidak membuat terasing
bagi siswanya, karena mereka dibekali dengan kemampuan dan keterampilan
yang sesuai dengan lingkungan sosial-budayanya.
Setelah berkeliling
melihat-lihat seluruh bangunan dan fasilitas yang dimiliki SMK ini, saya
pergi ke Kuil Kyomizu (air jernih). Kyomizu
Temple adalah salah satu kuil di Kyoto. Kuil ini di ditemukan dan
direnovasi kembali pada Abad XVI. Bangunannya masih terlihat kekar dan
terbuat dari kayu-kayu besar. Berkeunjung ke kuil ini rasanya seperti
berada dalam film The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise itu.
Sangking banyaknya kuil dan sebagai bentuk penghormatan terhadapnya,
pemerintah setempat membuat peraturan batas tinggi bangunan. Sehingga,
di kota “seribu kuil” ini jangan harap Anda akan menemukan gedung-gedung
pencakar langit seperti di Tokyo. Namun, satu hal yang mejadi ciri
kota-kota di Jepang: rapi, bersih, tertib, dan asri.
Sebelum beristirahat di hotel, saya diajak mampir dulu di “warung teh” menikmati ritual minum teh.
CHANOYU; UPACARA MINUM TEH
Rasanya
tak lengkap datang ke Jepang kalau belum menikmati ritual minum teh.
Ritual ini disebut chado, sado, atau chanoyu. Ia dilakukan diruangan
tertentu yang disebut chashitsu. Ruangan ini rata-rata terbuat dari
bambu, ukurannya tak terlalu besar, dihiasi dengan beberapa lukisan
dinding (kekejiku), rangkaian bunga (chabana), juga wangi-wangian.
Teh memiliki
sejarah panjang. Di Jepang teh erat kaitannya dengan pembawa agama di
negeri ini. Ia dihubung-hubungkan dengan pembawa ajaran Zen di Jepang.
Konon, tradisi minum teh ada hubungannya dengan Zen yang awalnya sebagai
obat.
Seni
upacara teh mulai dipopulerkan oleh Sen Rikyu. Pengikutnya menjulukinya
“chaisei” (santo-nya teh). Karena di tangan Sen Rikyu ini tradisi minum
teh memiliki nilai politis dan ekonomis. Ia terus mengembangkan seni
meminum teh. Meski kematiannya tragis karena disuruh melakukan ritual
bunuh diri oleh Toyotomi Hidoyeshi, ia tetap dipandang sebagai
penyempurna tradisi minum the.
Awalnya teh hanya disuguhkan buat orang-orang tertentu yang memiliki strata sosial tinggi. Sekarang, setelah Jepang mengalami modernisasi, ritual ini tak lagi sakral. Di tangan kapitalisme, tradisi ini sudah dikomersialisasikan dan kehilangan spiritualitasnya.
Untuk menikmati ritual
minum teh ini, saya dibawa ke lantai empat disebuah bangunan mewah. Di
situ terdapat ruangan yang didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai
chasitsu (ruangan khusus menjamu tamu menikmati teh). Ruangan terbuka
dengan lebar 3 meter persegi ini disampingnya terdapat pintu kecil
(nijri-guchi). Lewat pintu kecil ini saya disuruh masuk dan membungkuk
bersimpuh seperti seorang kawula menghadap priyayi. Di tengah-tengah
ruangan itu terdapat lubang berisi tungku memasak air. Tungku itu bisa
ditaruh di bawah atau di atas. Jika musim dingin, tungku itu diangkat ke
atas sekaligus sebagai penghangat ruangan.
Setelah itu datang dua orang cewek cantik berpakaian tradisional Jepang (kimono) menyambut saya dengan sangat ramah. Mereka membawa mangkuk terbuat dari kramik (chawan) berisi bubuk teh (matcha) sekaligus pengaduknya yang terbuat dari bambu (chasen). Sebelum teh tersebut dituang air, terlebih dahulu disuguhi manisan terbuat dari tepung agar teh tak terasa pahit. Setelah manisan itu habis saya makan, baru teh itu diseduh air panas dan diserahkan ke saya. Kalau saya membawa seorang teman, maka saya harus mendahulukan teman saya dulu sambil berkata padanya, “dozu!” (silahkan!). Teman saya akan menjawab, “Itadakimas!” (terimakasih).
Sebelum diminum, teh
dalam cawan itu harus diaduk memutar ke arah kanan sebanyak lima kali.
Kemudian diputar ke arah berlawanan sebanyak lima kali juga. Baru
setelah itu diminum. Teh yang disuguhkan berwarna hijau kental. Rasanya
pahit.
Beruntung
saya menikmati “ritual” minum teh bersama dua gadis cantik Jepang.
Menurut gadis ini, dalam sejarahnya minuman teh merupakan suguhan khusus
bagi tamu-tamu terhormat yang memiliki strata sosial tinggi. Teh yang
disuguhkan terbuat dari daun teh pilihan dan berkualitas tinggi. Meski
rasanya pahit, karena ditemani dua gadis manis ini, rasanya jadi ikut
manis.
Tradisi ritual minum
teh ini masih dipertahankan oleh masyarakat Jepang sebagai kekayaan
budaya mereka. Sebagai sebuah custom, tradisi ini memiliki banyak makna.
Juga bisa dimaknai ulang sesuai dengan perkembangan zaman. Orang Jepang
pada hakikatnya sangat menghormati tamu. Penghormatan ini terwujud
dalam tradisi yang sudah berumur berabad-abad ini. Di samping itu,
dengan masih dirawatnya tradisi ini, Jepang masih memegang teguh
nilai-nilai budayanya.
Ruangan jamuan teh dengan pintu kecil menunjukkan bahwa setiap orang yang masuk ke ruangan ini berkedudukan setara. Sama-sama harus membungkuk, duduk bersimpu, dan menghadap majikan. Kalau ia dilakukan beramai-ramai, maka wajib mendahulukan orang disamping kita. Ini menunjukkan bahwa kita harus mendahulukan orang lain (altruisme) ketimbang diri kita sendiri. Orang Jepang terkenal gigih, tak kenal lelah dan putus asa, pekerja keras, mendahulukan orang lain. Karakter seperti ini muncul dari tradisi dan budaya mereka sendiri. Dan masih dipertahankan hingga sekarang. Saya kira bangsa kita bisa belajar dari mereka. Kita sebetulnya memiliki nilai-nilai itu. Hanya belum banyak yang melakukannya.
KUIL TODA-JI
Keesokan harinya saya pergei ke Nara berkunjung ke kuil Toda-ji. Kuil Toda (Toda-ji) adalah salah satu kuil Budha di Propinsi Nara. Kuil ini dibangun pada 728 oleh Kaisar Shomu (724-749). Di dalamnya terdapat patung Budha berukuran sangat besar terbuat dari perunggu. Menurut Biku Morimoto, sesepuh biku di kuil ini, Toda-ji sudah mengalami perubahan dan perbaikan sebanyak 2 kali. Halaman kuil ini sangat luas dikelilingi asrama.
Pada zamannya kuil ini adalah “pesantren” bagi calon biku yang akan disebar di berbagai daerah. “Pesantren” itu kini sudah menjadi tempat wisata dan sedikit sekali yang berdoa.
Kuil
Toda-ji berada di tengah-tengah taman Nara. Di taman ini hidup puluhan
rusa yang akrab sekali dengan manusia. Rusa “haram” diburu apalagi
dibunuh, karena dipercaya sebagai “pembantu” Dewa. Kuil-kuil di Jepang
rata-rata terbuat dari kayu sejenis pinus. Tiang-tiangnya berukuran
besar sebesar badan manusia. Dilihat dari konstruksi bangunannya,
teknologi Jepang saat itu kelihatannya masih kalah sama “soko tatal-nya”
Sunan Kali Jaga di Masjid Demak/ Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon.
Sayangnya, sekarang ini teknologi kita kalah jauh sama Jepang.
Di kuil tua ini saya sempat berdiskusi dengan Biksu Morimoto.
Kuil Horyu-ji . Ini adalah kuil kayu tertua di dunia. Halaman kuil ini sangat luas.
. Sehingga, banyak Kuil-Kuil
tua dan bersejarah di Jepang selain dibuat tempat ibadah juga dijadikan
tempat wisata. Para biksu di sini pandai juga melakukan komersialisasi
tempat ibadah.
upacara
Setsubun. Beruntung saya bisa mengikuti upacara tahunan ini. Setsubun
adalah upacara peringatan pergantian tahun berdasarkan penanggalan
bulan. Ia jatuh pada 4 Februari dan diperingati sehari sebelumnya. Dalam
memperingati ritual tahunan ini ratusan orang Shinto berkumpul di
halaman kuil. Puluhan orang perwakilan mereka berdoa dan setelah itu
melempar kacang ke tengah kerumunan massa. Hal ini diyakini dapat
membuang sial dan bagi orang yang terkena lemparan kacang dipercaya akan
mendapat keberuntungan.
Pagi harinya saya harus
berangkat ke Narita untuk terbang lagi ke Indonesia. Saya banyak
menemukan pengalaman dan pelajaran baru dari kunjungan ini. Terimakasih
kepada Ibu Miyo Furusawa yang telah menemani dengan sabar selama di
Jepang. Terimakasih juga buat Pak Sozaburo Mitayama (Kawata) yang dengan
senang hati ikut membantu perjalanan saya ke sana. Ini akan menjadi
pengalaman tak terhapuskan sepanjang perjalanan hidup saya.
No comments:
Post a Comment