Monday, September 16, 2013

Mengintip Bangkok dari Chao Phraya


KOMPAS.com — Menyusuri Sungai Chao Phraya di kota Bangkok, Thailand, saya teringat lagu Bengawan Solo. Bedanya, di Chao Phraya tidak hanya kaum pedagang yang naik itu perahu, tetapi juga pelajar, mahasiswa, karyawan berdasi, sampai mbak-mbak dengan rok mini.

Si mbak yang mengenakan rok mini tadi bekerja di Chatrium Bangkok Hotel yang terletak di tepi Sungai Chao Phraya. Setiap hari ia berperahu menyusuri sungai menuju ke tempat kerja. Ah, jadi ingat lagu "Sebiduk di Sungai Musi" dari Alfian yang bertutur tentang seseorang yang bertemu dengan gadis di perahu yang menyeberangi Sungai Musi, Palembang.

Sungai yang membelah Bangkok itu mengalir tenang dan perahu pun mulus melenggang. Penumpang bisa mengobrol santai, termasuk kepada orang Indonesia yang belum mereka kenal (dan sempat mereka kira sebagai orang Laos).

Nona dengan rok mini tadi tidak sendirian. Banyak karyawan hotel, bank, atau perkantoran lain yang menggunakan perahu sebagai moda transportasi, layaknya bus atau angkot di Jakarta. Lewat sungai lebih cepat. Orang tidak perlu terkena risiko macet di jalan, kata mbak yang belum sempat ditanya namanya itu.

Banyak pekerja menggunakan perahu karena di sepanjang sungai itu banyak gedung perkantoran, hotel bertaraf internasional, dan pusat perbelanjaan. Tersebutlah, antara lain, Marriott, Shangri-La, Royal Orchid Sheraton, Mandarin Oriental, dan Millennium Hilton Hotel. Pusat perbelanjaan River City Shopping Complex juga berada di sekitar sungai.

Gedung-gedung penting pun berjajar di tepi sungai. Sebut saja museum nasional, gedung teater, kampus, termasuk Universitas Thammasat dan Universitas Silpakorn. Begitu pula kuil terkenal banyak dibangun di sepanjang sungai, misalnya, Wat Pho, Wat Sawetta Chat, Wat Thong Noppakum, dan Wat Arun.

Bahkan, istana raja, Royal Grand Palace, juga berdiri megah di pinggir Sungai Chao Phraya. Ini adalah istana resmi raja-raja Thailand sejak abad ke-18 hingga hari ini yang dibangun pada tahun 1782. Ketika ibu kota Thailand dipindah ke Bangkok pada awal kekuasaan Raja Rattanakosin tahun 1782, sungai menjadi jalur penting transportasi. Bahkan, saat itu dibangun kanal-kanal penghubung. Itu sebabnya Bangkok sering disebut Venesia dari Timur. Di Bengawan Chao Praya, sejarah Thailand melintas.

Bengawan Chao Phraya terbentuk dari pertemuan dua arus sungai, yaitu Sungai Ping dan Sungai Nan yang berhulu di bagian utara Thailand. Pertemuan arus itu terjadi di Provinsi Nakhon Sawan. Dari titik pertemuan itu, Chao Phraya mengalir sepanjang 365 kilometer dari utara ke arah selatan dan bermuara di Teluk Thailand. Sungai ini melintasi tak kurang dari sepuluh kota, termasuk Bangkok.

Sungai dengan air berwarna coklat itu tampak bersih dari sampah. Tanaman eceng gondok tampak di bagian pinggir sungai, tetapi tidak mengganggu lalu lintas air. Tak seorang pun penumpang perahu terlihat membuang sampah ke sungai. Mereka tampak sangat mencintai sungai.

Turistik

Chao Phraya menjadi obyek turisme di Bangkok. Hampir semua hotel di di Bangkok mempunyai armada perahu yang siap mengantar tamu-tamu mereka pelesiran menyusuri sungai. Gratis pula. Jangan kaget jika banyak perahu berbendera nama hotel. Jangan heran pula jika banyak dermaga dengan nama hotel. Biasanya, perahu versi hotel itu hanya mengantar tamu menuju Central Pier atau semacam stasiun pusat bagi perahu-perahu itu.

Untuk melanjutkan perjalanan, kita bisa memilih paket perjalanan setengah hari. Paket ini dirancang untuk keperluan turistik, seperti yang disediakan Chao Phraya Tourist Boat. Dengan membayar 150 baht untuk orang dewasa atau 80 baht untuk anak-anak di bawah umur 9 tahun, kita bisa menyusuri sungai selama 6 jam. Paket setengah hari itu bisa dipilih mulai dari pukul 09.30 hingga pukul 15.00.

Selama enam jam itu kita dibawa ke beberapa obyek wisata, seperti Royal Grand Palace, pasar buah dan bunga di Ratchawong, dan Kuil Wat Pho yang menjadi tujuan wajib bagi mereka yang melawat ke Bangkok. Wat Pho, salah satu kuil tertua dan terbesar di Bangkok, dibangun pada tahun 1782.

Wat Pho juga disebut sebagai Kuil Buddha Terbaring atau The Reclining Buddha atau Phra Buddhasaiyas dalam bahasa Thai. Disebut demikian karena di kuil ini terdapat patung Buddha dalam posisi terbaring. Patung sepanjang 46 meter dan bertinggi 15 meter ini bersepuh emas pada bagian badan. Pada bagian mata dan tapak kaki bertakhtakan mutiara.

Selain ke obyek sejarah, kita juga bisa mencari buku bekas ke kawasan Khaosan Road. Ini kawasan penginapan pengembara ria alias backpacker dari berbagai penjuru dunia dan makan-makan di China Town. Menurut salah seorang pedagang buku bekas di kawasan itu, para backpacker sering menjual atau barter buku. Jika cukup jeli dan sabar, kita bisa menemukan novel seperti Heart of Darkness karya Joseph Conrad atau The Interpretation of Dreams dari embahnya psikoanalisis, Sigmund Freud.

Menyusuri sepotong Bangkok dari Sungai Chao Phraya, saya juga teringat Jakarta yang mempunyai Ciliwung. Dulu Sutiyoso ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta pernah mencoba menjadikan Kanal Banjir Barat sebagai jalur perahu. Dermaga pun telah dibangun. Tetapi, riwayatmu kini, perahu itu tak pernah lagi melintas. Dalam budaya sungai, rupanya lain Bangkok lain pula Jakarta.



Sumber : http://travel.kompas.com/read/2009/12/13/09090767/Mengintip.Bangkok.dari.Chao.Phraya

No comments:

Post a Comment