Menjenguk Orang Sakit (Ajahn Brahm)
Sewaktu menjenguk seseorang di rumah sakit, banyak sekali yang mengatakan, ”Bagaimana rasanya hari ini?”
Betapa konyolnya ucapan itu! Tentu saja keadaan mereka buruk, kalau tidak pastilah mereka tidak berada di rumah sakit kan? Lagi pula, kata-kata klise tersebut membuat pasien menjadi tertekan mentalnya. Mereka tentu merasa kurang sopan kalau mereka membuat penjenguk menjadi sedih dengan berkata yang sebenarnya mengenai keadaan mereka yang payah. Bagaimana mereka bisa mengecewakan seseorang yang telah susah payah datang mengunjungi mereka di rumah sakit dengan menjawab bahwa mereka kesakitan, payah, seperti seonggok karung bekas? Oleh karena itu, mereka terpaksa berbohong, berkata, “Saya sudah baikan hari ini”, dengan perasaan bersalah bahwa mereka tidak berbuat apa-apa untuk cepat sembuh. Begitulah, begitu banyak pengunjung rumah sakit yang justru membuat pasien merasa lebih sakit!
Seorang bhikkhuni Australia tradisi Tibetan dalam keadaan sekarat akibat menderita kanker parah di sebuah rumah sakit di Perth. Saya mengenalnya sudah beberapa tahun dan cukup sering menjenguknya. Suatu hari dia menelpon saya di vihara, meminta agar saya mengunjunginya hari itu juga, karena dia merasa waktunya sudah dekat. Saya menghentikan segala aktifitas saya dan segera meminta seseorang mengantarkan saya ke rumah sakit di Perth yang berjarak tujuh puluh kilometer. Sewaktu lapor di resepsi rumah sakit tersebut, suster jaga mengatakan bahwa si bhikkhuni Tibetan tersebut memberi intruksi agar tidak seorangpun diijinkan menjenguknya.
“Tapi saya sudah datang begitu jauh khusus untuk menjenguknya,” saya berkata kalem.
“Maaf”, kata sang suster, “Dia tidak ingin menerima segala pengunjung dan kita
harus menghormatinya.”
“Mana mungkin,” protes saya, “dia telah menelpon saya sekitar satu setengah jam yang lalu dan meminta saya datang.”
Suster tua itu memandang saya dan meminta saya untuk mengikutinya. Kami berhenti di depan kamar sang bhikkhuni dan si suster menunjuk sebuah kertas yang ditempel di pintunya yang tertutup, bertuliskan : “TIDAK MENERIMA PENGUNJUNG!”
“Lihat!” kata si suster.
Begitu saya memeriksa kertas tersebut, saya membaca kata-kata lain, ditulis
dengan huruf-huruf yang lebih kecil dibawahnya: “… KECUALI AJAHN BRAHM.”
Akhirnya, saya boleh masuk.
Saat saya bertanya kepada si biksuni, mengapa dia menaruh kertas pengumuman tersebut dengan perkecualian, dia menjelaskan bahwa setiap kali teman dan kerabat datang menjenguknya, mereka sangat sedih dan tertekan menyaksikan keadaannya yang parah, dan itu membuat perasaannya menjadi lebih buruk. “Sekarat karena kanker sudah cukup parah,” katanya, “saya tak ingin memperparahnya dengan masalah emosional para pembesuk saya.
Kemudian dia berkata bahwa cuma saya satu-satunya teman yang memperlakukannya sebagai seorang pribadi, bukan sebagai seseorang yang sekarat; teman yang tidak sedih melihatnya makin hari makin kurus dan loyo, yang malah membuatnya tertawa. Saat itu saya lantas menghiburnya dengan lelucon-lelucon, selama jam berikutnya, sementara dia mengajarkan saya bagaimana menolong seorang teman yang sedang menghadapi kematian. Saya belajar darinya bahwa saat menjenguk seseorang di rumah sakit, berbicaralah kepada pribadinya dan biarlah penyakitnya menjadi pembicaraan dokter dan perawat saja.
Dia wafat kurang dari dua hari setelah kunjungan saya.
No comments:
Post a Comment