Adakah segala sesuatu yang kita miliki atau yang ada dihadapan dan disekeliling kita ini akan terus selamanya berada bersama kita?
Apakah segala sesuatu itu kekal abadi selamanya?
Benda-benda yang kita miliki, keluarga, orang tua, anak, saudara atau teman-teman yang kita cintai, adakah mereka semua selalu bersama kita dan kita selalu bersama mereka?
Jawaban akan hal ini tentu mudah, karena pengetahuan mengajarkan kita bahwa segala sesuatu itu akan berubah, hilang dan lenyap.
Orang-orang yang kita cintai akan meninggalkan kita entah untuk sesuatu yang menyangkut perjalanan hidupnya atupun karena alasan lainnya, namun yang pasti mereka akan berlalu dan berpisah dari kita karena adanya peristiwa kematian.
Pengalaman hidup ini begitu wajar, alami dan dapat atau bahkan kerap kita saksikan. Namun, apakah peristiwa perubahan ini akan sungguh dapat diterima bila diri sendiri yang mengalaminya?
Bagaimana seseorang bisa menerima dan menghadapinya atas lenyapnya segala kebersamaan terhadap apa yang dicintai, dengan segala apa yang selama ini telah dibangun dengan kerja keras, dipelihara dan dirawat dengan ketekunan dan kasih sayang lenyap ketika dewa ketidak-kekalan itu datang menerpa?
Nyatanya seringkali apa yang dilihat, apa yang dimengerti, memang bisa berbanding terbalik dengan apa yang dialami.
Perasaan nikmatnya berkhotbah ketidak-kekalan dihadapan umat, ternyata bisa berbanding terbalik dengan datangnya rasa pedih ketika datangnya pemberitahuan ada orang yang dicintai meninggal
Pengetahuan dan pengalaman itu memang tidak persis sama, tidak selalu berbanding lurus, tidak selalu menumbuhkan kesadaran penerimaan dalam garis atau level yang sama.
Tapi, bagi Siddharta Muda yang peristiwa fenomena ketidak-kekalan ini:
menjadi tua, sakit, dan mati, yang tampaknya wajar, alami, yang orang lain telah tahu itu bukanlah sekedar pengetahuan semata.
Peristiwa fakta yang universal itu, menumbuhkan pengalaman kesadaran yang begitu kuat dan dalam.
Dan bagi Siddharta Muda adalah suatu pengalaman, tidak sekedar pengetahuan.
Justru pengalaman inilah yang menjadikan kesadarannya terlibat dan menumbuhkan pengalaman kesadaran dan pencerahannya atas pernerimaan adanya fakta universal bahwa segala sesuatu itu tidak kekal adanya.
Pengetahuan, kesadaran yang tumbuh atas keterlibatan dan pengalaman inilah yang diajarkan Hyang Buddha kepada Kisa Gotami.
Kisah Kisa Gotami yang diberi pelajaran oleh Hyang Buddha untuk bisa menerima fakta kehilangan, ketidak-kekalan atas segala sesuatu menyarankan kepada kita bahwa pengalaman hidup itu jauh lebih luas dan lebih bermakna dari sekedar pengetahuan.
Kehilangan Yang Dicintai
Kisa Gotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi.
Ia dikenal sebagai Kisa Gotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing.
Bentuk tubuhnya yang cantik ini menjadikannya mudah untuk mendapat perhatian dan suntingan laki-laki manapun.
Begitulah, Kisa Gotami kemudian menikah dengan seorang pemuda kaya, dan dari pernikahannya ini ia memiliki seorang anak laki-laki.
Ia sangat mencintai kehadiran anaknya, namun anak satu-satunya ini kemudian meninggal dunia ketika baru saja belajar berjalan.
Kisa Gotami merasa sangat sedih atas kehilangan anaknya.
Dunia serasa runtuh, dan gempa mengguncang jiwanya. Anak yang dicintai buah dari pernikahannya yang manis meninggal ketika rasa bahagia itu meluap-luap.
Kisa Gotami tak kuasa menerima kenyataan itu.
Ia ingin anaknya kembali, ia ingin anaknya hidup kembali, ia menolak kuasa sang maut. Ia protes terhadap dewa kematian yang menerkam dan merusak kebahagiaan dan kesenangan hidupnya.
Lalu, dengan membawa mayat anaknya pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila.
Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan, dan kemudian berkata kepadanya:
“Hyang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi.
Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!”
Obat Kehidupan
Kisa Gotami kemudian pergi menermui Hyang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya?
Adakah obat kehidupan untuk mereka yang telah mati?
Adakah kehidupan itu dapat diteruskan?
Untuk memberi keyakinan dan penyadaran kepada Kisa Gotami yang belum mengakui dan menerima adanya kematian, Hyang Buddha kemudian menyuruhnya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah mengalami kematian.
Lalu, dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada, bila yang empunya rumah itu belum pernah mengalami kematian.
Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian belum pernah terjadi.
Tak segenggam biji lada diperoleh Kisa Gotami, karena setiap rumah tangga yang dijumpainya pasti pernah mengalami adanya anggota keluarga yang meninggal.
Fakta kematian itu begitu universal dan berlaku atau menimpa kepada siapa saja.
Setelah Hyang Buddha memberi pelajaran kepada Kisa Gotami secara empirik melalui observasi langsung ini, akhirnya Kisa Gotami menyadari bahwa kematian itu memang dialami oleh siapa saja.
Ia mendapati bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, tetapi terdapat juga banyak orang lain yang meninggal dunia daripada yang masih hidup.
Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia pun berubah.
Ia tidak lagi melekat kepada anaknya yang telah menjadi mayat itu.
Ia menyadari fenomena ketidak-kekalan.
Ia kini ikhlas melepas anaknya, dan kemudian meninggalkan mayat anaknya di hutan. Setelah itu, ia kembali kepada Hyang Buddha dan memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan satu pun rumah keluarga dimana kematian belum pernah terjadi.
Fakta yang dijumpai dilapangan akhirnya menggugurkan segala harapannya untuk menolak adanya kematian, untuk tidak mengalami kehilangan, karena kenyataan menunjukkan bahwa setiap orang pasti pernah kehilangan, kehilangan keluarganya.
Penyadaran atas ketidak-kekalan ini, kemudian ditegaskan oleh Hyang Buddha: “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu saja yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk.
Setiap orang mengalaminya, dan sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya”.
Mendengar hal ini, Kisa Gotami benar-benar menyadari ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan akhirnya mencapai kesucian sotappati.
Bhiksuni Kisa Gotami
Tak lama kemudian, Kisa Gotami menjadi seorang bhikhuni, dan perjalanan hidupnya menjadi rohaniwati ini pun semakin menghantarnya mencapai pencerahan sejati, pandangan terang tentang fenomena tiada berintinya segala sesuatu (anatta), bahwa segala sesuatu itu adalah kosong (sunya) tidak mengandung inti yang kekal, melainkan terus berubah, timbul tenggelam.
Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Kisa Gotami mencapai pencerahan, dan kejadian ini kemudian diketahui oleh Hyang Buddha.
Hyang Buddha melihat pencerahan Kisa Gotami itu dari Vihara Jetavana, dan kemudian dengan kemampuan batinnya yang luar biasa, beliau mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia.
Hyang Buddha berkata kepada Kisa Gotami untuk meneruskan meditasinya dengan obyek ketidak-kekalan, bahwasannya kehidupan makhluk itu berada terus menerus dalam perjuangan untuk merealisasi nibbana.
Kemudian Hyang Buddha membabarkan syair 114 berikut:
Daripada hidup selama 100 tahun tanpa menyadari adanya
“keadaan tanpa kematian” (Nibbana),
lebih baik hidup satu hari melihat
“keadaan tanpa kematian”.
Akhirnya, setelah memperoleh pembelajaran langsung dari khotbah Hyang Buddha itu, serta melalui pengalaman yang diperolehnya, Kisa Gotami pun akirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi.
Bhikhuni Kisa Gotami telah tercerahkan.
Ia mencapai tingkat kesucian Arahat yang tiada kekotoran batin lagi, dan telah terbebaskan dari segala kemelekatan, telah menembus kesunyaan segala sesuatu, bahwa segala sesuatu tiada yang kekal dan karenanya siapa pun juga pasti akan mengalami kehilangan.
Semoga semua makhluk berbahagia
Sumber : http://www.tamandharma.com
http://wihara.com/forum/topik-umum/11368-kisa-gotami-theri-yang-tercerahkan-melalui-pengalaman-kehilangan.html
No comments:
Post a Comment