REP | 31 October 2012 | 00:54
Mendengar kata Rohingya, pasti
terngiang beberapa kata-kata di otak kita seperti “muslim”, “minoritas”,
“pembantaian”, betul? Tapi saya cukup tersentak ketika mendengar fakta
dari teman kantor saya yang asli orang Myanmar, yang baru-baru ini
bergabung satu tim dengan saya. Ternyata berita yang kita dengar, bisa
jadi jauuuuh berbeda dengan cerita teman saya tadi. Siang sewaktu jam
makan siang di negara perantauan ini, kami bertiga dari etnis yang
berbeda jauh. Saya dari Indonesia dan Jawa tulen, kedua rekan saya
satunya dari Mumbai, India dan satu lagi dari Myanmar. Kami terlibat
pembicaraan serius tapi santai, mengenai hebatnya efek dari sebuah
berita, tulisan, atau bahkan film, seperti yang kita dengar. Berita
tentang adanya film pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dibuat di
negeri Paman Sam saja, sudah memakan korban tewas. Hingga akhirnya
obrolan khas kami dengan ditemani sajian khas India macam Nasi Briyani,
tiba pada topik yang asyik, yaitu Rohingnya.
Myanmar, atau lebih dikenal dengan
Burma ini memiliki populasi estimasi kurang lebih 66 juta penduduk di
tahun 2010. 89% diantaranya memeluk agama Buddha, berikutnya 4% memeluk
nasrani dan 4% berikutnya memeluk Islam. Rekan saya bercerita bahwa dia
ini tidak terima ketika dibilang oleh media di luar sana bahwa semua
orang Myanmar ini “sadistic killer”. Karena apa yang terjadi di terhadap
muslim Rohingnya adalah ekses dari banyaknya pendatang dari luar
Myanmar yang tinggal di area yang sekarang ditempati oleh Rohingnya.
Dengan berapi-api dan sambil mengambil sesendok Nasi Briyani, ia
bercerita tentang apa yang terjadi di Myanmar tidaklah seperti “Islam
membenci Buddha”, dan sebaliknya “Buddha membenci Islam”. Yangoon,
ibukota Myanmar sudah lama dihuni warga beragama Islam, dan bahkan sejak
jaman masih kerajaan pun sudah ada. Masjid juga ada didirikan
dimana-mana, di seluruh Myanmar, dan tak pernah ada masalah tersebut.
Keharmonisan antara warga beragama Islam dan warga beragama Buddha
sebagai mayoritas juga tak pernah terganggu.
Pokok permasalahan di Myanmar
sebenarnya bukan perkara agama yang selama ini didengungkan oleh media
baik luar negeri dan mungkin di Indonesia sendiri, sehingga tak pelak
demonstrasi di berbagai kota di Indonesia terkait Rohingnya merebak. Ada
aturan hukum yang dijunjung tinggi di Myanmar, dimana warga pendatang
baru bisa menjadi warga Myanmar kalau sudah tinggal di Myanmar selama 3
generasi, yang berarti jika cucu orang tersebut sudah lahir, maka dengan
beberapa proses dia dapat menjadi warga Myanmar. Fakta berikutnya yang
diutarakan rekan saya tersebut adalah etnis Rohingnya adalah pendatang
yang dapat “seenaknya” melintas batas masuk ke Myanmar tanpa “permisi”
ke imigrasi, karena memang perbatasan di dekat Nepal dan Bangladesh ini
tak berpagar, juga tak ada petugas imigrasi yang bertugas. Dan mereka
sebagai pendatang datang dan tinggal di Myanmar bagian utara (tentunya
yang berdekatan dengan Nepal dan Bangladesh ini), minta diakui sebagai
warga negara Myanmar, padahal mereka baru tinggal di situ kurang dari 3
generasi.
Banyak diantara etnis Rohingnya ini
yang tak mampu berbahasa Myanmar, atau bahkan membaca aksara Myanmar
pun tak bisa. Pokok permasalahan timbul ketika mereka ingin berpisah
dari Myanmar dan membentuk negara baru di kawasan tersebut, setelah
permohonan kewarganegaraan mereka ditolak. Daerah yang diduduki etnis
Rohingnya itu kabarnya juga merupakan tempat dengan sumber gas alam
terbesar di Myanmar. Masalah ini yang saya tak pernah tahu. Kalaupun
saya orang Myanmar, ya tentu juga merasa nggak terima, pendatang kok
tiba-tiba minta “tanah” plus “atributnya” terus berniat pisah dari
Myanmar. Dari sentimen-sentimen tersebut (yang juga umumnya terjadi di
sekitar kita juga), akhirnya ada jarak antara warga asli Myanmar sendiri
dengan etnis Rohingnya. Dan akhirnya bisul itu pecah ketika ada berita
bahwa perempuan asli Myanmar yang diperkosa oleh 3 orang muslim.
Pembalasan dilakukan oleh warga Myanmar (yang sekali lagi kebetulan
mayoritas Buddha), dan 10 orang muslim tewas. Pembalasan dilakukan
kembali oleh kubu Rohingnya setelah sholat Jum’at, dan akhirnya juga
memakan korban, demikian terus hingga kasus tersebut membesar, hingga
kasus bakar-bakaran yang memakan banyak korban jiwa.
Akhirnya rekan saya menutup
pembicaraan dengan kata-kata bahwa meskipun begitu, warga Myanmar di
Yangoon, baik muslim atau non-muslim masih akur sampai sekarang, tak
pernah ada cekcok ataupun bentrok sama sekali. Apa yang orang-orang
Myanmar lakukan terhadap Rohingnya juga dalam koridor “mempertahankan
harkat dan martabat bangsa” yang sayangnya berujung kematian di kedua
belah pihak.
Apa yang diceritakan teman saya
ini, kemudian saya teringat ke kasus kerusuhan yang sekarang terjadi di
Lampung, yang sebenarnya itu merupakan kasus lama, perpecahan antara
pendatang dan warga asli. Warga asli Lampung di daerah yang
berpendidikan menengah ke bawah dan warga pendatang dari Jawa tak pernah
menjaga keharmonisannya, sehingga terjadi kerusuhan. Beruntung bahwa
kasus tersebut bukan perlawanan antar agama karena umumnya semua muslim,
sehingga dapat dengan mudah diidentifikasikan permasalahannya.
Apapun itu, mari dari dalam diri
kita sendiri untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia,
dan menyaring berita-berita yang terjadi sebelum kita berniat untuk
demonstrasi dan seterusnya. Rekan saya yang dari India itu menimpali
kalau di India sendiri sudah ada korban tewas 10 orang lebih hanya
gara-gara berita tentang kasus Rohingnya menyebar ke kota-kota lain di
India.
No comments:
Post a Comment