Thursday, November 1, 2012

Dibalik Kasus Rohingya di Myanmar


REP | 31 October 2012 | 00:54   

Mendengar kata Rohingya, pasti terngiang beberapa kata-kata di otak kita seperti “muslim”, “minoritas”, “pembantaian”, betul? Tapi saya cukup tersentak ketika mendengar fakta dari teman kantor saya yang asli orang Myanmar, yang baru-baru ini bergabung satu tim dengan saya. Ternyata berita yang kita dengar, bisa jadi jauuuuh berbeda dengan cerita teman saya tadi. Siang sewaktu jam makan siang di negara perantauan ini, kami bertiga dari etnis yang berbeda jauh. Saya dari Indonesia dan Jawa tulen, kedua rekan saya satunya dari Mumbai, India dan satu lagi dari Myanmar. Kami terlibat pembicaraan serius tapi santai, mengenai hebatnya efek dari sebuah berita, tulisan, atau bahkan film, seperti yang kita dengar. Berita tentang adanya film pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dibuat di negeri Paman Sam saja, sudah memakan korban tewas. Hingga akhirnya obrolan khas kami dengan ditemani sajian khas India macam Nasi Briyani, tiba pada topik yang asyik, yaitu Rohingnya.

Myanmar, atau lebih dikenal dengan Burma ini memiliki populasi estimasi kurang lebih 66 juta penduduk di tahun 2010. 89% diantaranya memeluk agama Buddha, berikutnya 4% memeluk nasrani dan 4% berikutnya memeluk Islam. Rekan saya bercerita bahwa dia ini tidak terima ketika dibilang oleh media di luar sana bahwa semua orang Myanmar ini “sadistic killer”. Karena apa yang terjadi di terhadap muslim Rohingnya adalah ekses dari banyaknya pendatang dari luar Myanmar yang tinggal di area yang sekarang ditempati oleh Rohingnya. Dengan berapi-api dan sambil mengambil sesendok Nasi Briyani, ia bercerita tentang apa yang terjadi di Myanmar tidaklah seperti “Islam membenci Buddha”, dan sebaliknya “Buddha membenci Islam”. Yangoon, ibukota Myanmar sudah lama dihuni warga beragama Islam, dan bahkan sejak jaman masih kerajaan pun sudah ada. Masjid juga ada didirikan dimana-mana, di seluruh Myanmar, dan tak pernah ada masalah tersebut. Keharmonisan antara warga beragama Islam dan warga beragama Buddha sebagai mayoritas juga tak pernah terganggu.

Pokok permasalahan di Myanmar sebenarnya bukan perkara agama yang selama ini didengungkan oleh media baik luar negeri dan mungkin di Indonesia sendiri, sehingga tak pelak demonstrasi di berbagai kota di Indonesia terkait Rohingnya merebak. Ada aturan hukum yang dijunjung tinggi di Myanmar, dimana warga pendatang baru bisa menjadi warga Myanmar kalau sudah tinggal di Myanmar selama 3 generasi, yang berarti jika cucu orang tersebut sudah lahir, maka dengan beberapa proses dia dapat menjadi warga Myanmar. Fakta berikutnya yang diutarakan rekan saya tersebut adalah etnis Rohingnya adalah pendatang yang dapat “seenaknya” melintas batas masuk ke Myanmar tanpa “permisi” ke imigrasi, karena memang perbatasan di dekat Nepal dan Bangladesh ini tak berpagar, juga tak ada petugas imigrasi yang bertugas. Dan mereka sebagai pendatang datang dan tinggal di Myanmar bagian utara (tentunya yang berdekatan dengan Nepal dan Bangladesh ini), minta diakui sebagai warga negara Myanmar, padahal mereka baru tinggal di situ kurang dari 3 generasi.

Banyak diantara etnis Rohingnya ini yang tak mampu berbahasa Myanmar, atau bahkan membaca aksara Myanmar pun tak bisa. Pokok permasalahan timbul ketika mereka ingin berpisah dari Myanmar dan membentuk negara baru di kawasan tersebut, setelah permohonan kewarganegaraan mereka ditolak. Daerah yang diduduki etnis Rohingnya itu kabarnya juga merupakan tempat dengan sumber gas alam terbesar di Myanmar. Masalah ini yang saya tak pernah tahu. Kalaupun saya orang Myanmar, ya tentu juga merasa nggak terima, pendatang kok tiba-tiba minta “tanah” plus “atributnya” terus berniat pisah dari Myanmar. Dari sentimen-sentimen tersebut (yang juga umumnya terjadi di sekitar kita juga), akhirnya ada jarak antara warga asli Myanmar sendiri dengan etnis Rohingnya. Dan akhirnya bisul itu pecah ketika ada berita bahwa perempuan asli Myanmar yang diperkosa oleh 3 orang muslim. Pembalasan dilakukan oleh warga Myanmar (yang sekali lagi kebetulan mayoritas Buddha), dan 10 orang muslim tewas. Pembalasan dilakukan kembali oleh kubu Rohingnya setelah sholat Jum’at, dan akhirnya juga memakan korban, demikian terus hingga kasus tersebut membesar, hingga kasus bakar-bakaran yang memakan banyak korban jiwa.

Akhirnya rekan saya menutup pembicaraan dengan kata-kata bahwa meskipun begitu, warga Myanmar di Yangoon, baik muslim atau non-muslim masih akur sampai sekarang, tak pernah ada cekcok ataupun bentrok sama sekali. Apa yang orang-orang Myanmar lakukan terhadap Rohingnya juga dalam koridor “mempertahankan harkat dan martabat bangsa” yang sayangnya berujung kematian di kedua belah pihak.

Apa yang diceritakan teman saya ini, kemudian saya teringat ke kasus kerusuhan yang sekarang terjadi di Lampung, yang sebenarnya itu merupakan kasus lama, perpecahan antara pendatang dan warga asli. Warga asli Lampung di daerah yang berpendidikan menengah ke bawah dan warga pendatang dari Jawa tak pernah menjaga keharmonisannya, sehingga terjadi kerusuhan. Beruntung bahwa kasus tersebut bukan perlawanan antar agama karena umumnya semua muslim, sehingga dapat dengan mudah diidentifikasikan permasalahannya.

Apapun itu, mari dari dalam diri kita sendiri untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dan menyaring berita-berita yang terjadi sebelum kita berniat untuk demonstrasi dan seterusnya. Rekan saya yang dari India itu menimpali kalau di India sendiri sudah ada korban tewas 10 orang lebih hanya gara-gara berita tentang kasus Rohingnya menyebar ke kota-kota lain di India.


No comments:

Post a Comment