"Menjadi Seorang Umat Buddha"
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera
Bagaimana menjadi seorang umat Buddha yang baik? Apakah yang pertama
yang harus diperhatikan dan dilakukan? Ini merupakan pertanyaan yang
sederhana dan sering ditanyakan oleh seseorang yang tertarik kepada
agama Buddha.
Menjadi umat Buddha, syarat pertama, bukan harus
bisa membaca paritta dalam bahasa Pali yang mungkin sukar untuk dibaca
pertama kali. Bukan pula harus mempunyai altar dengan patung Buddha yang
indah di rumah. Meskipun sudah tentu, membaca paritta dan mempunyai
altar itu adalah suatu hal yang amat membantu dan sangat baik. Menjadi
seorang umat Buddha, pertama kali yang harus dilakukan adalah siap dan
berani mengubah cara berpikir.
Seorang umat Buddha akan
ditandai oleh cara berpikir yang Buddhistis. Cara berpikir Buddhis, cara
berpikir Dhamma adalah kita dihadapkan kepada kenyataan yang
“telanjang”, yang terus terang, dan kenyataan itu sering tidak cocok
dengan selera kita. Namun menghadapi kenyataan dengan apa adanya ini
akan membuat kita menjadi dewasa dan bijaksana.
Satu contoh,
kalau kita mengidap penyakit, dan kalau kita menjadi seorang umat Buddha
harus mau mengakui bahwa diri kita sakit. Dan itu sesuatu yang tidak
gampang. Dhamma meminta kita untuk melihat kenyataan hidup dengan apa
adanya, dengan terus terang, dengan tanpa tabir. Selera kita adalah
ingin sehat, ingin makan seenak kita, misalnya bir, sate kambing, ayam
goreng, dan lain-lain, tapi kenyataan menghadapkan kepada kita bahwa
kita sakit.
Oleh karena itu, meskipun berat dan pahit, kalau
kita mau melihat kenyataan dan siap menerima kenyataan, maka kita akan
berpikir secara dewasa, dan sikap kita akan menjadi sikap yang
bijaksana. Lain misalnya kalau kita sakit, kemudian kita ingin menutupi
kenyataan itu, pura-pura tidak sakit, “jerih” atau takut melihat
kenyataan, serta menganggap diri kita tidak sakit, padahal sesungguhnya
sedang sakit. Menutupi penyakit adalah sikap kekanak-kanakan; karena itu
sikapnya, tindakan atau perbuatannya kemudian tidak akan menjadi
bijaksana. Kita menjauhi obat, tidak menjaga diri. Perbuatan dilakukan
bila sesuai dengan selera, sehingga perbuatan itu akan menghancurkan
diri sendiri.
Inilah manfaat beragama, terutama menjadi umat
Buddha yang mengenal Dhamma. Kita ditantang, diminta kesanggupan kita
bukan hanya kesanggupan untuk menyumbang kepada vihara. Bukan! Bukan
pula kesanggupan menghapal paritta yang mungkin sulit dibaca. Tetapi
kesanggupan mengubah cara berpikir dan kesanggupan untuk berani melihat
dengan mata terbuka terhadap kenyataan sebagai mana adanya; sehingga
sikap, tindakan, dan perilaku kita menjadi sikap/tindakan/perilaku yang
dewasa dan bijaksana.
Saya ingin memberikan sebuah contoh lain.
Bila kita sakit demam maka kita tidak boleh makan gorengan dan minum
es. Orang tahu akan hal itu. Seandainya orang tua sakit, dia akan
mengerti. Karena dia sayang kepada anak-anaknya, dia harus menjaga
kesehatannya, orang tua mempunyai tanggung jawab, dan bisa menahan diri,
karena dia dewasa. Tetapi kalau anak-anak, mungkin sulit untuk tidak
makan gorengan atau minum es. Apa sebab? Sebab dia masih anak-anak,
tidak bisa berpikir panjang. Demikan juga dengan kita. Kalau cara
berpikir kita masih seperti itu, meskipun usia kita sudah lanjut, maka
cara berpikir kita tetap seperti anak-anak.
Pada suatu
perayaan, saya menjelaskan tentang materi, tentang uang, tentang hasil
dari pekerjaan kita. Agama Buddha tidak menganggap uang , materi,
kendaraan, tanah atau rumah itu sebagai jelek, sebagai kotor, sebagai
dosa. Tidak sama sekali! karena materi atau uang itu adalah netral. Sama
seperti pisau, pisau itu bukan baik, tetapi juga bukan jahat. Listrik
itu bukan sesuatu yang penuh cinta kasih, tetapi juga bukan sesuatu yang
kejam. Listrik itu bisa membakar rumah, bisa membunuh manusia, tetapi
bisa pula menerangi rumah kita, membangkitkan mesin-mesin yang besar.
Listrik bukan penuh cinta kasih karena banyak menolong kita, tetapi juga
bukan kejam karena menimbulkan bencana. Listrik, uang, materi,
kendaraan, tanah, rumah, semua itu netral; bukan baik tetapi juga bukan
jelek.
Agama Buddha tidak anti materi, tidak menginginkan
Saudara hidup melarat, cukup pakai cawat kulit kayu, makan nasi dengan
garam campur air, selesai. Tidak pernah ada ajaran agama Buddha yang
demikian. Tetapi yang diminta oleh agama Buddha adalah bagaimana
pandangan Saudara dalam memandang uang dan materi itu. Kalau pandangan
Saudara dalam memandang uang dan materi itu sama dengan sebelum Saudara
menjadi umat Buddha, maka sesungguhnya Saudara bukan umat Buddha.
Karena umat Buddha itu ditandai cara berpikir yang sesuai dengan
Dhamma. Umat Buddha tidak ditandai dengan memakai emblim atau simbol
atau medalion, tetapi menjadi umat Buddha adalah orang yang siap
mengubah cara berpikirnya dalam memandang segala sesuatu. Kalau saudara
memandang uang, materi, tanah, mobil, rumah, dan sebaginya itu bukan
sebagai kekayaan tetapi sebagai sarana untuk menyejahterakan keluarga,
alat untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak dalam kehidupan ini,
maka itulah cara berpikir umat Buddha.
Semua orang senang akan
kesenangan, kebahagiaan, termasuk saya. Siapakah yang tidak senang akan
kesenangan, akan kebahagiaan? Tetapi merupakan selera/keinginan manusia
untuk kemudian mengukuhi, menggenggam kesenangan dan kebahagiaan ini
menjadi miliknya untuk selama-lamanya. Dan menurut kenyataan, hal itu
adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin. Beranikah Saudara menghadapi
kenyataan seperti itu?
Kalau Saudara sudah siap mengubah cara
berpikir Saudara, bahwa memang segala sesuatu di dunia ini adalah tidak
kekal, kebahagiaan maupun kepuasan adalah tidak kekal, demikian juga
dengan problem, kesulitan, kesedihan, adalah tidak kekal, maka Saudara
sudah siap menghadapi dunia ini dengan segala perubahannya. Mereka yang
menganggap segala sesuatu di dunia ini kekal abadi adalah orang yang
paling kecewa di dunia ini. Mereka yang mengukuhi segala sesuatu yang
menyenangkan, adalah orang yang paling tidak bahagia di dunia ini,
karena sesungguhnya segala sesuatu itu adalah perubahan.
Mengubah cara berpikir seperti ini amat membantu. Sikap memandang dunia
ini atau menanggapi segala sesuatu itu dengan jelas, dengan benar dan
sesuai dengan kenyataan adalah sesuatu yang amat membantu. Ini lebih
berharga daripada Saudara mempunyai bermacam-macam benda pusaka. Pusaka
yang bisa dimasukkan ke dalam pikiran itulah yang paling berharga.
Pusaka pengertian yang sesuai dengan kenyataan. Dan untuk itu Saudara
yang semula, yang mungkin tidak sesuai dengan kenyataan.
Sekali
lagi, memang belajar melihat kenyataan dengan terus terang adalah
berat. Pahit! karena tidak sesuai dengan selera atau kehendak kita.
Selera kita menginginkan kenikmatan, kesenangan, kebahagiaan yang
senantiasa, yang terus-menerus. Sehat terus-menerus, anak-anak baik
terus-menerus, istri-suami setia terus-menerus, keuntungan
terus-menerus, mungkin hidup pun ingin terus-menerus! Itulah selera
kita. Siapakah yang senang mati? Siapakah yang senang sengsara, kecewa,
menderita, tertekan?
Selera kita adalah agar kenikmatan,
kesenangan, kebahagiaan, kesehatan, kesuksesan, keuntungan itu
terus-menerus kita miliki. Tetapi itu adalah tidak mungkin. Amat berat
mengalami kenyataan kalau suatu saat semua itu sudah berubah. Tetapi
itulah kenyataan. Kalau Saudara berani menghadapi kenyataan, itu luar
biasa!
Bagaimana agar menjadi berani? Tidak lain adalah harus
siap mengubah cara berpikir sesuai dengan kenyataan. Sekarang jangan
lagi menganggap segala sesuatu itu abadi, kekal, termasuk penderitaan,
kesulitan, problem, karena semuanya tidak kekal.
Mengapa harus
putus asa? mengapa harus patah semangat? Sekarang jangan lagi menganggap
bahwa uang atau materi itu hartaku, milikku. Sekarang jangan lagi
menganggap bahwa hidup ini adalah untung-untungan, pemberian atau
hadiah. Tetapi mulai sekarang harus menganggap hidup ini adalah
perjuangan. Hidup ini adalah tidak kekal. Kita harus melihat kenyataan
itu, sehingga kita tidak berputar-putar di dalam perubahan yang tidak
kita kehendaki. Kita harus menjadi dewasa sehingga kita menjadi
bijaksana.
Pada umumnya orang mencari kesenangan, kenikmatan,
atau kepuasan dari sekitarnya, dari pekerjaannya, dari teman-temannya,
dari lingkungan, dari istri/suaminya, dari anak-anaknya. Apakah semua
itu bisa memberikan kenikmatan dan kesenangan untuk selamanya bagi
Saudara? Suatu saat usaha Saudara turun, suatu saat Saudara dikhianati
oleh teman baik Saudara, suami atau istri Saudara kabur, anak-anak
Saudara menjadi nakal. Itu mungkin terjadi! Saya tidak perlu
membicarakan keluarga yang sukses karena sudah “no problem”.
Justru yang menjadi tantangan bagi kita adalah bagaimana kalau kita
menghadapi persoalan/problem. Karena lingkungan kita, kolega kita,
pekerjaan kita, suami-istri, anak-anak kita tidak akan selamanya cocok
dengan selera atau kemauan kita. Suatu saat kalau lingkungan tempat kita
bergantung ini sudah tidak menyenangkan kita lagi, maka habislah kita.
Saudara merasa kebahagiaan Saudara dirampok. “Dia dulu baik, kalau dulu
saya sakit dia sering menengok. Saya sudah menganggapnya seperti
saudara, kenapa dia sekarang mengkhianati saya?” Hal itu sering terjadi.
Mungkin juga suatu saat bisa menimpa Saudara. Anak sendiri, darah
dagingnya sendiri menodongnya, bisa terjadi! Suami-istri yang sudah 20
atau 25 tahun menikah, bisa berpisah.
Meskipun Saudara tidak
menghadapi problem seperti ini, suatu saat Saudara akan menghadapi
problem yang tidak menyenangkan Saudara. Kalau masih satu atau dua
problem dan Saudara masih mempunyai kenikmatan di bidang lain, maka
tidak ada persoalan. Tetapi kalau problem itu datang bertubi-tubi dan
bersamaan, semua tempat Saudara bergantung tidak dapat memuaskan
Saudara, habislah kebahagiaan Saudara. Seperti digarong habis-habisan.
Mampukah Saudara bertahan? Kalau Saudara mempunyai simpanan di dalam
batin, Saudara akan bisa bertahan. “Andaikata lingkungan sudah tidak
bisa lagi sesuai dengan selera saya, saya masih mempunyai kesenangan dan
kebahagiaan batin”.
Dengan demikian Saudara akan bertahan.
Dari manakah kita bisa mendapatkan kebahagiaan batin? Yakni dari
pengetahuan mengenai hakikat kehidupan ini sebagaimana adanya, dan
melakukan kebaikan. Inilah gunanya melakukan kebaikan. Saya tidak
berbicara kalau berbuat baik, akibat kammanya begini-begitu, tetapi
kebajikan itu akan menjadi simpanan batin. Tidak terasa seperti Saudara
menabung di bank. Mungkin Saudara berkata: “Apa gunanya sih menabung,
mengurangi jatah?” Tetapi nanti kalau Saudara tiba pada keadaan yang
sangat menyulitkan, Saudara baru dapat merasakannya. Inilah keuntungan
orang menabung: berbuat baik.
Maka anjuran saya, permintaan
saya, cobalah Saudara menabung. Menabung di dalam batin Saudara. Untuk
suatu saat kalau Saudara ditinggal oleh kolega Saudara, dikhianati oleh
teman-teman Saudara, ditinggalkan oleh teman-teman saudara, ditinggalkan
oleh yang lain, jatuh dalam kesulitan, Saudara mampu tetap bertahan,
punya daya tahan yang Saudara bangun sendiri. Tidak ada orang yang bisa
menghadiahkan daya tahan, kesabaran, kekuatan, dan lain-lain. Semua itu
harus dilatih, ditumbuhkan, dan dikembangkan di dalam diri oleh diri
sendiri, sebagai kekayaan pribadi di dalam.
Inilah ajaran agama
Buddha. Memang tidak simpel/mudah. Ajaran agama Buddha itu tidak
menawarkan dua alternatif: Percaya atau tidak! Kalau itu gampang sekali.
“Kalau tidak percaya, Saudara boleh memilih yang lain; kalau percaya
OK!” Agama Buddha tidak se-simple itu. Tetapi Saudara dituntun seperti
orang buta, lalu diobati, dibimbing pelan-pelan, bagaimana untuk
menghadapi kehidupan ini, supaya bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Sulit memang! Hasil-hasil besar yang ada di dunia ini bukanlah suatu
kebetulan. Orang-orang besar yang bisa menemukan penemuan besar spritual
atau material di dunia ilmu, itu tidak ada yang kebetulan. Semua itu
adalah perjuangan.
Kalau saya ditanya, “Bhante, menjadi umat
Buddha bangganya apa?” Apakah karena viharanya yang besar? Karena
kebaktiannya yang rapi? Bukan! Saya bangga menjadi umat Buddha karena
saya mempunyai wawasan yang luas. Saya tidak sekedar disodorkan: “Ya
atau tidak. Percaya atau tidak”. Sama sekali tidak. Tetapi saya
disodorkan pengertian. Kalau saya mengerti, saya akan percaya. Bukan
dibalik: “Kalau anda percaya, anda akan mengerti”. Tidak demikian.
Tetapi kalau anda mengerti, tidak usah diminta, anda akan percaya.
Mempunyai cara berpikir yang benar, sikap memandang kehidupan ini
dengan benar, adalah syarat yang pertama menjadi seorang umat Buddha.
Memang berat! Tetapi itulah dunia ini sebagaimana adanya.
Sebagai penutup, saya akan mengutip kata-kata dalam kitab suci Dhammapada:
“Attana hi sudantena, natham labhati dullabham”.
Yang artinya:
“Setelah dapat mengendalikan diri sendiri dengan baik, seseorang akan memperoleh perlindungan yang amat sukar dicari”.
Kalau Saudara mau mendidik diri sendiri, Saudara akan mendapat
keuntungan yang sukar dicari, dan keuntunngan itu adalah pelindung.
Siapa yang bisa melindungi Saudara, yang paling setia, yang tidak
berkhianat, yang aman? Yaitu pikiran saudara sendiri yang sudah dilatih.
Karena yang mencelakakan Saudara, yang menghancurkan Saudara, juga
adalah pikiran Saudara sendiri. Karena itu dengan melatih diri sendiri,
akan mendapat keuntungan yang sukar dicari, yaitu pelindung yang setia.
Marilah kita siap menghadapi kenyataan, punyailah modal di dalam batin
yang lebih kuat, tegar menghadapi apapun. Karena apapun yang ada atau
yang terjadi, adalah tidak kekal.
Dikutip dari Buku Pengabdian Tiada Henti, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia
Silahkan dishare dan semoga bermanfaat. Sadhu Sadhu Sadhu
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=121637491320566&set=a.121637487987233.25782.100004229473747&type=1&ref=nf
No comments:
Post a Comment