Thursday, September 22, 2011

Gundukan Pupuk Kandang (by : Ajahn Brahm)

Hal-hal yang tak menyenangkan, seperti duduk di peringkat terbawah di kelas kita, terjadi dalam kehidupan. Hal-hal itu dapat terjadi pada setiap orang. Perbedaan antara orang yang bahagia dan orang yang tertekan hanyalah pada cara mereka bereaksi terhadap kemalangan.

Bayangkan Anda baru saja mengalami suatu sore yang indah di pantai bersama seorang teman. Ketika Anda kembali ke rumah, Anda mendapati gundukan pupuk kandang tepat di depan pintu rumah Anda. Ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan gundukan pupuk kandang ini :

1. Anda tidak memesannya. Ini bukan kesalahan Anda.
2. Anda merasa kehabisan akal. Tidak ada yang melihat siapa yang menimbunnya di situ, jadi Anda tidak dapat menelepon pelakunya untuk menyingkirkan  pupuk kandang itu.
3. Pupuk itu kotor dan semerbak memenuhi seluruh rumah Anda. Sungguh tak tertahankan.

Pada perumpamaan ini, gundukan pupuk kandang di depan rumah Anda melambangkan pengalaman-pengalaman traumatik yang menimpa kita dalam kehidupan. Seperti halnya dengan gundukan pupuk kandang itu, ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan tragedi dalam kehidupan kita:

1. Kita tidak memesannya. Kita berkata, "Kenapa saya?"
2. Kita merasa kehabisan akal. Tak seorang pun, sekalipun teman terbaik kita, dapat menyingkirkannya (meski mereka telah mencoba).
3. Tragedi itu sangat menyakitkan, penghancuran kebahagiaan kita, dan rasa sakit yang ditimbulkannya menghantui sepanjang hidup kita. Sungguh tak tertahankan.

Ada dua cara merespon timpaan gundukan pupuk kandang itu. Cara pertama adalah membawa kotoran itu kemana-mana bersama kita. Kita taruh segenggam di saku kita, sebagian di tas kita, dan sebagian lagi di baju kita. Kita bahkan menaruhnya di celan panjang kita. Kita dapati, ketika kita membawa kotoran itu kemana-mana, kita kehilangan banyak teman! Bahkan teman-teman terbaik pun tampaknya jadi tak begitu sering lagi dekat-dekat dengan kita.

"Membawa kotoran ke mana-mana" adalah perumpamaan untuk keadaan tenggelam dalam depresi, hal-hal negatif, atau amarah, itu adalah sebuah respon terhadap kemalangan yang lumprah dan dapat dimaklumi. Tetapi kita kehilangan banyak teman, karena lumprah dan dapat dimaklumi pula jika teman-teman kita tak suka berada di samping kita yang selalu merasa dipresi. Lagi pula, dengan cara ini, gundukan kotoran itu sendiri tak menjadi berkurang, tetapi baunya malah bertambah busuk karena makin matang.

Untunglah, ada cara kedua. Ketika kita tertimpa gundukan pupuk kandang, kita menghela napas, dan setelah itu mulai bekerja. Ambil gerobak dorong, garu dan sekop. Kita garu kotoran itu ke gerobak dorong, membawanya ke belakang rumah, dan menguburnya di kebun kita. Memang ini sulit dan melelahkan, tetapi kita tahu tak ada pilihan lain. Kadang, kita hanya mampu mengatasi separuh gerobak saja dalam sehari, namun kita melakukan sesuatu yang menyelesaikan masalah, daripada hanya mengeluh saja dan terbenam dalam depresi. Dari hari ke hari, kita menggaru dan mengubur kotoran itu. Dari hari ke hari gundukan itu makin berkurang. Kadang diperlukan waktu beberapa tahun, namun pagi yang cerah tiba jugaketika gundukan kotoran di depan rumah kita tak berbekas lagi. Selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi di belakang rumah kita. Bunga-bunga di kebun kita bermekaran dengan warna-warni memenuhi semua sudut. Keharuman menyebar sampai ke jalan, sehingga para tetangga dan bahkan orang lewat pun tersenyum bahagia karenanya. Lalu pohon buah di sudut taman yang hampir rubuh karena tergelayuti oleh buah-buahnya. Dan buahnya sunguh manis; Anda tidak dapat membeli buah seperti itu. Ada begitu banyak buah, sehingga kita dapat membaginya dengan para tetangga, bahkan orang yang lewat pun dapat ikut menikmati sedapnya rasa buah ajaib itu.


"Mengubur kotoran" adalah perumpamaan untuk menyambut datangnya tragedi sebagai penyubur bagi kehidupan kita. Itu pekerjaan yang harus kita lakukan sendiri; tak ada yang dapat membantu kita. Namun dengan menguburnya di taman hati kita, dari hari ke hari, gundukan rasa sakit itu akan makin berkurang. Bisa saja itu membutuhkan beberapa tahun, namun pagi yag cerah akan tiba tatkala kita melihat tak ada lagi rasa sakit di dalam hidup kita dan di dalam hati kita, sebuah keajaiban telah terjadi. Bunga-bunga kebajikan bermekaran memenuhi seluruh tempat, dan harum cinta menyebar sampai jauh, para tetangga kita, teman kita, bahkan samapi juga ke orang-orang yang tak kita kenal. Lalu pohon kebijaksanaan yang tumbuh di sudut taman hati kita menjadi tergelayut karena saratnya buah pencerahan akan hakikat kehidupan. Kita dapat membagi-bagikan buah-buah yang enak itu dengan gratis, bahkan kepada orang-orang yang tak kita kenal, tanpa sengaja merencanakannya.

Ketika kita telah mengenal rasa sakit yang tragis, pelajarilah pelajaran yang diberikannya, dan tumbuhkan taman kita, lalu kita dapat merangkulkan lengan kita ke dalam tragedi yang mendalam dan berkata, dengan lembut, "Aku tahu." Mereka akan tahu bahwa kita telah paham. Belas kasih dimulai. Kita tunjukkan pada mereka gerobak dorong, garu sekop dan dorongan semangat tanpa batas. Jika kita belum dapat menumbuhkembangkan taman kita sendiri, semuai ini tak dapat kita lakukan.

Saya mengenal banyak biksu yang piawai dalm bermeditasi, yang penuh kedamaian, tenang dan tentram dalam menghadapi kemalangan, tetapi hanya sedikit di antaranya yang menjadi guru hebat. Saya sering heran, mengapa begitu.

Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa biksu-biksu yng relatif tidak tertimpa banyak kemalangan, yang memiliki sedikit kotoran untuk dikuburkan, adalah mereka yang tidak menjadi guru-guru hebat. Adalah biksu-biksu yang mengalami kesukaran yang besar, dengan diam menguburkannya, dan datang dengan taman yang subur, adalah mereka yang menjadi guru-guru hebat. Mereka semua memiliki kebijaksanaan, ketenangan dan welas asih; tetapi hanya mereka yang memiliki kotoran lebih banyaklah yang dapat membaginya pada dunia. Guru saya, Ajahn Chan, yang bagi saya pribadi adalah menara dari semua guru, pasti memiliki armada truk yang mengangkut pupuk kandang yang berjejer di depan pintu rumahnya, pada masa-masa awal kehidupannya.

Barangkali pesan moral dari cerita ini adalah, jika Anda ingin melayani dunia, jika Anda ingin mengikuti jalan belas kasih, maka bila suatu ketika terjadi tragedi dalam hidup Anda. Anda dapat berkata, "Cihui! Aku dapat banyak pupuk untuk taman hatiku."


Sumber : Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya by Ajahn Brahm

No comments:

Post a Comment