Thursday, November 27, 2014


November

Tentu saja aku menyayangi anakku itu sama seperti anak-anakku yang lain. Dia adalah kebahagiaan pertama yang hadir memecahkan keheningan malam-malam sepi di rumah kami. 

Dua tahun setelah pernikahanku dengan ibunya, dia lahir, hadir di tengah-tengah kami. Matanya sangat mirip dengan mataku.
"Matamu itu, Patar, jelas sekali berasal dari ayahmu," kata ibunya mencubit pipinya gemas.

Ya, kami memberikan nama Patar untuknya. Nama yang memiliki arti jelas terlihat atau terkemuka. Satu nama yang merupakan harapan dan doa kami untuknya kelak.

Aku memenuhi hidupnya dengan segala kasih sayang seorang ayah yang baru saja tumbuh di dalam diriku. Belajar mengganti popoknya dan bergantian melakukannya dengan ibunya, membersihkan kotorannya, belajar akrab dengan tangisnya yang sering mengejutkanku di tengah malam, membuatkannya ayunan supaya tidurnya merasa nyaman, dan banyak lagi hal baru yang pelan-pelan membentukku menjadi seorang ayah. Kehadiran Patar jelas membuat hidupku jadi berbeda.

Dua tahun kemudian, Rista, adiknya lahir. Lalu tiga tahun berikutnya hadir lagi si bungsu, Sahala yang melengkapi kebahagiaan keluarga kami.

Patar, si sulungku itu, tumbuh menjadi seorang abang yang sangat baik bagi Rista dan Sahala. Dia begitu sabar dan selalu mengalah demi adik-adiknya. Terlihat sekali dia adalah seorang yang sangat penyayang. Dia Rela menunda keinginan dan keperluannya jika itu berbenturan dengan kebutuhan adik-adiknya. Sifatnya itu membuatku merasa sangat bangga kepadanya, yakin bahwa Patar sangat bisa diharapkan dan diandalkan kalau aku sudah tak ada.

Patar selalu mengangguk jika kami, oleh karena suatu sebab, mendahulukan keperluan Rista dan Sahala. Tentu saja wajahnya memancarkan kekecewaan. Tapi dia kemudian mengerti dan menganggukkan kepala.
Dia menjadi anak yang begitu pengertian. Kalau adik-adiknya sering minta ini-itu untuk kesenangan mereka, Patar cukup pintar menahan keinginannya untuk meminta hal-hal sebagaimana yang diminta adik-adiknya. Dia hanya mau meminta kalau dirinya benar-benar butuh.

Tetapi, entah apa sebabnya, kurasakan Patar sepertinya menjauh dariku. Mungkin aku terlalu memberikan perhatian yang lebih kepada Sahala yang karena ia memiliki beberapa kelemahan tubuh dan mudah sekali jatuh sakit, maka banyak waktu yang diberikan untuknya. Dan juga kepada Rista yang memiliki sifat manja khas perempuan yang pintar sekali mencuri perhatianku dan ibunya.

Tentu saja perhatian-perhatian itu bukan untuk membeda-bedakan anak yang satu dengan anak yang lainnya, tapi lebih karena setiap kepribadian anak-anak itu memang unik dan berbeda satu dengan lainnya. Dan sebagai ayah aku ingin memberikan yang terbaik bagi setiap mereka.

Malam tahun baru itu aku hampir mati karena kuatir memikirkan di mana Patar, anak sulungku itu. Ia pergi dan tak pulang tanpa memberi kabar. Aku berusaha menutupi kekuatiranku di hadapan adik-adiknya.
"Mungkin Patar sedang dibutuhkan teman-temannya," kataku pada adik-adiknya.

Sepanjang ibadah tutup tahun itu, pikiranku tak pernah lepas dari dirinya. Kupanjatkan doa supaya kuat tangan Tuhan menjaganya di mana pun dia berada.

Lalu, suatu saat dia bertanya kepadaku dan istriku, kenapa dia diperlakukan berbeda dengan adik-adiknya. Wajahnya tampak seperti ingin menangis, tapi ditahannya. Ada bayangan air di matanya. Wajah itu mengingatkanku pada wajah masa kecilnya. Kami terkejut, heran oleh pertanyaannya itu. Kukatakan kepadanya, bahwa mereka bertiga adalah kesayangan kami. Semua sama disayang, tidak ada yang lebih disayang, semua sama. Dan seperti biasanya, dia menganggukkan kepala tanda mengerti.

Tapi aku jadi merasa bersalah mendengar apa yang dia sampaikan. Ternyata sikap-sikapku selama ini telah mengecewakannya dan membuatnya merasa dibedakan dengan kedua adiknya. Kemudian aku berusaha untuk memperbaiki sikapku kepada Patar. Aku tak ingin hatinya luka pada hal-hal yang belum begitu dia pahami. Kujaga dan kuperhatikan sikapku supaya sebisa mungkin tak menimbulkan kecemburuan di antara ketiga anakku.

Waktu berjalan tanpa suara. Tak terasa Patar telah tumbuh dewasa dan akhirnya menikah. Ia meninggalkan rumah dan membangun bahtera rumah tangganya sendiri. Kemudian ia memberikanku seorang cucu yang lucu yang kedua matanya juga mirip dengan mataku. Olehnya aku menjadi seorang kakek.

Aku menitipkan nama Musa untuk cucu pertamaku itu. Nama seorang manusia berhati lembut yang pernah ada di bumi. Sejak saat itu, orang-orang memanggilku dengan sebutan Opung Musa.

Kemudian Rista menikah dengan lelaki pilihannya dan juga meninggalkan rumah mengikuti suaminya. Begitu juga dengan Sahala yang pada tahun berikutnya mendapatkan seorang istri.

Sejak ketiga anakku menikah, rumah kami terasa begitu sepi, seperti keadaan saat pertama kali kami menikah. Yang membuatku terhibur adalah si bungsu Sahala bertempat tinggal tak jauh dari rumah, hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku.

Rumah menjadi ramai dan hangat kembali ketika kami berkumpul di hari natal dan malam tahun baru. Waktu memang cepat sekali berlalu. Rasanya baru saja kemarin anak-anakku itu kuajari mengendarai sepeda, tapi sekarang mereka telah menjadi orang tua yang bahagia direpotkan oleh anak-anaknya yang lincah dan lucu-lucu itu.

Lalu, entah apa lagi sebabnya, kurasakan Patar kembali menjauhi diriku. Sudah tiga tahun ini dia tak lagi berkumpul bersama-sama dengan kami. Aku menduga-duga, apa mungkin ia mengalami kembali luka yang sama seperti waktu itu. Aku berusaha menghubunginya, tapi dia tak pernah menjawab teleponku. Dadaku terasa sesak setiap kali dia tak mau menerima teleponku. Sedalam apakah luka yang telah kubuat di hatinya, hingga dia bersikap demikian kepadaku, sering kubertanya sendiri dalam hati.

Tak terasa November sudah datang lagi menghampiri. Sebulan lagi Natal. Kemarin aku mencoba menelepon Patar untuk mengingatkannya supaya jangan sampai tidak datang lagi pada acara natal dan tahun baru di rumah. Tapi seperti biasa, hanya terdengar suara nada sambung. Ia tak menjawab panggilan teleponku. mungkin dia sedang sibuk, kataku menghibur diri sendiri. Kucoba lagi menghubunginya beberapa kali, juga tak ada jawaban. Kemudian kuhubungi nomor telepon rumahnya dan menitip pesan itu kepada istrinya.
Sesak sekali hati ini karena merindukan anakku yang satu itu. Ruang-ruang di dadaku terasa dingin sekali dan merambat hingga ke wajahku. Aku masuk ke kamar mandi untuk membasuh muka. Mungkin itu bisa menenangkan hatiku.

Tiba-tiba sekujur tubuhku terasa lemas. Aku berusaha bertumpu pada dinding kamar mandi untuk menyeimbangkan tubuh, tapi tak bisa. Aku terjatuh, tergeletak di kamar mandi. Kudengar suara langkah kaki berlari ke arahku dan memanggil-manggil namaku. Aku ingin mejawab dan membuka mataku, tapi tak bisa. Kucoba lagi, tapi tetap tak bisa. Tubuhku makin terasa dingin. Wajah anakku yang sangat kurindukan itu memenuhi benakku. Aku ingin dia ada di dekatku. Lalu kupanggil namanya: Patar....


Sumber : https://www.facebook.com/fidelis.r.situmorang/posts/10203243566116921?fref=nf
 

No comments:

Post a Comment