Sunday, May 1, 2016

-Waspada Terhadap Konsep-


Sekarang kita sedang melihat kopi, "Wah, kalau sehari tidak minum kopi, tidak bisa sehat rasanya." Maka kita mengatakan kopi itu membawa kemelekatan, ketagihan. Tetapi, sesungguhnya tidak demikian, kopi itu tidak membawa kemelekatan, pikiran kitalah yang melekat pada kopi, karena kita menikmati kopi terus-menerus.
Mereka yang hanya minum kopi sebulan sekali tidak akan melekat pada kopi itu sedemikian kuat. Tidak ada kemelekatan dalam diri mereka yang minum kopi sekali-sekali saja. Kemelekatan itu muncul dari kenikmatan yang diulang-ulang, berkali-kali, tanpa kewaspadaan, tanpa kebijaksanaan. Kopi tidak pernah menarik-narik orang. Kopi adalah benda mati.

Emas, intan, uang, tidak pernah menarik-narik orang, itu benda mati, tetapi, konsep atau pandangan salah yang menunggangi kenikmatan itulah yang membuat kemelekatan.


Ada seorang yang miskin sekali, anaknya menangis minta dibelikan balon. Ibunya mengatakan "Kita ini tidak punya apa-apa, untuk makan saja sulit", tetapi karena cinta kepada anaknya yang semata wayang, penjual balon itu diundang dan ibu itu berkata "Anak saya ini ingin balon, tetapi saya tidak punya uang, apakah anda mau menerima bokor ini untuk ditukar dengan satu balon saja?" Penjual balon itu tidak tertarik, bokor sudah penyok seperti ini, kecil, kotor, hitam. Lalu bokor itu dikorek-korek, ternyata bokor itu terbuat dari emas. Penjual itu tertarik, tetapi dia jual mahal. Penjual balon itu mencemooh "Bokor seperti ini, kecil, penyok-penyok, untuk membeli balon satu pun tidak cukup." Padahal dia tahu kalau bokor itu terbuat dari emas.

Setelah penjual balon itu lewat, penjual balon kedua datang ke rumah si ibu miskin. Dia lalu diundang oleh ibu itu dan ditawari bokor itu juga. Penjual balon kedua tahu juga kalau bokor itu emas, lalu dia mengatakan "Ibu, bokor ini terbuat dari emas, mahal sekali harganya. Hidup ibu bisa baik kalau bokor ini dijual, tidak miskin seperti ini. Ini balonnya saya beri saja, tidak perlu membeli." Ibu itu sangat berterimakasih kepada penjual balon yang kedua.

Cerita belum selesai.
Karena sebetulnya ingin sekali memiliki bokor itu, penjual balon yang pertama tadi kembali menemui ibu itu lagi, tetapi penjual balon kedua sudah berlalu.
Dia berkata "Ya sudahlah, bokormu saya tukar dengan satu balon, biarpun tidak cukup harganya." Tetapi, ibu itu sekarang sudah tahu bahwa bokornya terbuat dari emas.

Mengapa pada awalnya penjual balon pertama tidak tertarik? Karena tidak ada konsep bahwa benda itu berharga. Tetapi, setelah dikorek-korek, kemudian tahu bahwa bokor itu terbuat dari emas, dan dia pernah tahu bahwa emas itu mahal. Mahal itulah konsep atau pandangan. Dia tahu betapa senangnya kalau punya emas. Kesenangan yang ditunggangi oleh konsep, tidak ada kebijaksanaan, tidak ada pengendalian diri, maka timbullah niat jahat untuk menipu ibu miskin itu.

Beberapa waktu lalu ketika ikan arwana masih banyak disukai, harga seekor ikan arwana sangat mahal. Tetapi orang desa yang tidak tahu tentang ikan arwana tidak akan mau beli meskipun murah. Dia pikir "Apakah ikan ini bisa dimakan? Kalau tidak bisa, buat apa dibeli?"
Orang desa itu tidak punya konsep apa-apa terhadap ikan arwana, tetapi orang kota punya konsep bahwa ikan arwana bisa membuat pemiliknya makmur. Dan makmur itu rasanya enak, lebih makmur lebih enak. Orang kota mempunyai sarana untuk membeli ikan yang mahal itu. Kenikmatan ditunggangi dengan pengertian yang salah, dibantu sarana yang cukup, maka jadilah dia mengeluarkan uang berjuta-juta untuk membeli seekor arwana.

Demikian juga iklan-iklan yang selalu membuat orang terangsang untuk membeli. Iklan-iklan itu menanamkan konsep bahwa barang yang diiklankan itu akan memberikan kenikmatan.
(Sri Pannavaro)

No comments:

Post a Comment