Saturday, January 17, 2015

Jelajah Kawasan Karst Citatah, Padalarang



Bandung, 9 September 2012


Sudah tercatat di agenda saya dari jauh hari sebelumnya. Geotrek adalah bentuk kegiatan jalan-jalan sambil memperkenalkan sudut pandang geologi, yang diselenggarakan oleh mahasiswa teknik geologi ITB. Setelah dua kali gagal ikut kegiatan ini, akhirnya kali ini kesampaian juga. Dan beruntunglah saya karena edisi kali ini adalah tepatnya di lokasi yang memang sudah saya rencanakan akan berpetualang ke sini selama saya masih kuliah di Bandung!

Dengan setelan  kaus lengan panjang, celana jeans yang nyaman, kain tutup kepala, sepatu bertali, dan ransel hitam yang lengkap dengan segala perbekalan, saya pun meluncur ke monumen kubus, di depan Taman Ganesha. Padatnya kegiatan sehari sebelumnya tidak menghalangsi saya bangun pagi-pagi sekali. Saya menuju spot pemberangkatan dan pengumpulan peserta tersebut tepat pukul 6.30. Sepertinya masih cukup sepi. Setelah ngobrol ngalor ngidul dengan peserta lain yang adalah masih teman-teman ITB juga, akhirnya acara dibuka.

Pak Budi Brahmantyo

Setelah sering mendengar cerita seru tentang beliau, membaca buku Wisata Cekungan Bandung, dan beberapa artikel di blognya, akhirnya saya bisa mendengarnya berbagi ilmunya secara langsung! Pak Budi adalah dosen sekaligus kepala program studi Geologi ITB yang terkenal aktif di dunia pergeologian. Salah satu ketertarikan terbesar saya mengikuti Geotrek ini adalah salah satunya karena kehadiran Pak Budi sebagai "pendongeng" kami. Ya memang pada dasarnya saya senang berjalan-jalan ke lokasi dengan bumbu cerita, sejarah, dan budaya di dalamnya. :)


Kami akan mengunjungi deretan Karst Citatah. Sebelumnya saya mengenal tempat ini sebagai salah satu alternatif tempat untuk melakukan olahraga panjat tebing. Nah, saat ini saya akan ikut belajar mengenai asal usulnya dan dari kacamata para geologis!

Karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression),drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping. (Wikipedia Indonesia)

Ya, sebagian besar batuan di wilayah ini adalah batuan gamping, atau lebih familiar disebut dengan batuan kapur. Kami melewati deretan pabrik batu gamping untuk bahan baku cat tembok sampai bahan pasta gigi.

Deretan bukit batuan ini disebut Formasi Raja Mandala yang jalurnya hingga Pelabuhan Ratu dan Formasi Citarum. Seperti cerita sejarah zaman dahulu bahwa wilayah Bandung sebelumnya adalah sebuah danau, nah begitu pula dengan wilayah ini. Namun bukan saja danau, tetapi lautan sedalam 30 meter! Kondisi itu terjadi pada 20-30 juta tahun yang lalu. Maka selayang pandang kami saat itu adalah deretan tetumbu karang pada zamannya.


Gunung Hawu

Natural brigde atau yang lebih beken dengan sebutan Gunung Hawu ini adalah bentuk tebing batuan dengan lubang besar di tengahnya. Mengapa hawu? Hawu dalam bahasa Sunda artinya adalah tungku. Disebut hawu karena bentuknya yang menyerupai tungku.Lubang tersebut terbentuk terbentuk jutaan tahun lamanya, akibat hujan asam dengan pH 4 yang mengakibatkan proses karstifikasi. Karena bentuk reaksi kimia di dalamnya, maka terjadi pelarutan secara vertikal di dalamnya yang mengakibatkan runtuhnya bagian tengah, dan membentuk seperti jembatan di bagian atas.


Gunung Hawu
Di titik ini Pak Budi memberikan sedikit demonstrasi pembuatan sketsa pegunungan batuan ala geologis sambil menjelaskan beberapa detil yang harus dipenuhi dalam membuat sebuah sketsa. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah seperti pengukuran kemiringan bidang dengan kompas, bagaimana mengambil sudut pandang, hingga pentingnya kontrol proporsi vertikal dan horizontal yang biasanya menggunakan pensil sebagai media bantu. Sketsa dalam geologi sangat penting karena di situ terdapat proses berpikir, katanya. 


Pak Budi asyik membuat sketsa
Kemudian kami berjalan naik lagi dan mengitari "lubang" itu dari sisi belakang. Di sini kami beristirahat dan diberi kesempatan untuk membuat sketsa yang nantinya akan dilombakan antar peserta oleh panitia. Dengan mulut penuh kunyahan kue, saya mulai sok tahu corat-coret menggambar salah satu tebing di hadapan saya. Panas terik matahari benar-benar sampai ke ubun-ubun! Namun energi kami tetap terisi penuh.


Menuju Pasir Pawon

Gua Pabeasan

Setelah melewati turunan tajam dengan berpegangan pada tali, sampai juga ke destinasi berikutnya, Gua Pabeasan. Pabeasan dalam bahasa sunda artinya tempat beras. Di dalam gua ini sempat terjadi gempa pada tahun 1910. Hal ini diduga menjadi penyebab jatuhnya batu-batu besar, yang menjadikan asal muasal gua terbentuk. Ada lubang baru tepat di atas kami yang menurut cerita dari Pak Budi, pada tahun 2002 belum ada. Wah pada saat itu saya agak deg-degan karena kalau-kalau terjadi gempa ketika posisi kami sedang berada di dalam situ, tewas tertiban batu-batu besar lah kami. Dari Pak Budi, saya jadi tahu kalau ilmu yang secara khusus menelusuri gua adalah speleologi. Dari analogi bahwa orang zaman dahulu tinggal di dalam gua, maka akhirnya ditemukan pula Gua Pawon, destinasi kami selanjutnya.


Pintu masuk Gua Pabeasan

Stone Garden

Tepat pukul 12 siang, kami digiring ke Taman Batu. Seperti namanya, sejauh mana memandang, kami bisa melihat hamparan batuan yang tersusun tidak beraturan namun tampak apik. Lokasinya terletak di Pasir Pawon. Pasir di sini maksudnya adalah bukit. Dari bukit ini kami diajak untuk melihat sebentar dari lereng pasir pawon. Kami diajak untuk melihat Gunung Masigit. Di sana adalah tempat masyarakat sekitar sini menggali bebatuan. Fakta menyedihkan bahwa mereka hanya dibayar 30 ribu rupiah saja tanpa jaminan keselamatan!

Kami diberi waktu lagi sebentar untuk mengitari Stone Garden yang sangat luas ini. Pergilah ke salah satu sudutnya, maka kita akan menemukan batu yang susunannya menyerupai gerbang. Oleh orang-orang setempat konon dipercaya sebagai gerbang menuju alam gaib. Kemudian ada lagi julukan untuk batu lainnya, yaitu batu mesra, karena 2 buah batu ini saling bersenderan. Hehehe.


Stone Garden

"Gerbang"
Tekstur batuan yang seperti karang. Bukti otentik bahwa wilayah ini dulunya adalah dasar lautan !
Hampir di puncak Pasir Pawon, terdapat sebuah makam. Batu di sekelilingnya membentuk pola melingkar. Kami berspekulasi bahwa lokasi ini digunakan untuk semacam ritual. Batu-batu yang tampak bukan dari bukit ini mungkin sengaja dibawa untuk pemenuhan sebuah ritual.

Nah, makam ini diidentifikasikan sebagai makam seorang muslim, dikarenakan arahnya yang menghadap ke barat, yaitu arah kiblat. Tetapi ada fakta menarik lagi bahwa selidik punya selidik kabarnya ini adalah makam kosong! Kisahnya berawal dari seorang ibu-ibu dari Cianjur yang datang ke tempat ini dan merasa mendapat bisikan. Bisikan itu kemudian direspon dengan ritual yang berhasil membuat ibu itu menjadi kaya. Maka dibuatkan nisan karena diduga lokasi tersebut dihuni oleh leluhur sakti.

"Semua tempat yang memiliki nilai gaib pasti bisa dirasakan oleh semuanya ", kata Pak Budi. Maka mungkin sejak zaman dahulu daerah makam ini mempunyai nilai gaib.


Gua Pawon


Kami semua menuruni bukit dengan dipandu Pak Budi yang mencari akses jalan untuk kami semua. Namanya bukit putus asa. Menuruninya cukup bikin lutut gemetar, untung tidak naik lewat sini! Hehehe. Setelah beristirahat sekitar satu jam lamanya, kami lanjutkan perjalanan kami ke Gua Pawon, yang posisinya persis di samping tempat beristirahat kami.

Pak Budi adalah salah satu pencetak sejarah di Gua Pawon ini, sebagai anggota tim penemu fosil manusia zaman prasejarah! Kisahnya adalah pada tahun 1999, tim Pak Budi berencana mengunjungi lokasi ini untuk mencari fosil ikan. Kali pertama masuk ke dalam gua, mereka langsung disambut oleh hujan tai kelelawar. Di dalam Gua Pawon sendiri terbagi dalam tujuh kamar. Untuk memudahkan pemetaan, setiap kamar diberi julukan masing-masing. Dalam penggalian dalam gua tersebut ditemukan artefak dan alat-alat tulang lainnya yang langsung dilaporkan ke balai arkeologi. Namun respon dari balai tersebut sangat lambat.

Akhirnya dibentuklah kelompok riset cekungan bandung, beranggotakan Pak Budi, Pak Eko, dan Pak Bakhtiar. Tahun 2003 balai arkeologi pun memutuskan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut ditemukannlah rangka utuh homo sampiens, pada tahun 2005. Diduga usianya sudah mencapai 500-1500 tahun, ras mongoloid dan berjenis kelamin wanita.


Fosil homo sapiens. Ini adalah bentuk replika yang diletakkan di dalam gua. Fosil asli dilindungi oleh badan arkeologi
Hal terakhir yang digali adalah gigi ikan hiu! Dari penemuan tersebut dibuat dua kemungkinan, pertama adalah manusia di sini menjelajah sampai ke laut, atau hanya melakukan barter dengan manusia yang tinggal di daerah pesisir.

Sehubungan dengan penemuan ini, masyarakat sudah disosialisasikan untuk menjaga Gua Pawon. Gunung Masigit pun juga sudah dilindungi. Gunung ini menjadi referensi dari formasi rajamandala yang usianya 30 juta tahun yang lalu.


Sudut favorit untuk berfoto di Gua Pawon
Nah, sekarang mari menilik dari kacamata legenda Sunda. Ada hawu yaitu tungku, ada pabeasan yang artinya tempat beras, pawon yang artinya dapur. Terdapat pula Karang Panganten dan Gunung Masigit yang berarti masjid. Ceritanya adalah amarah Sangkuriang yang bukan saja menelungkupkan perahu, tetapi juga mengacak-acak persiapan pesta sehingga segala isi dapur berantakan ke mana-mana! Waduh, serem juga kalau Mas Sangkuriang marah! Hehehe.

Akhirnya pukul 5 sore kami bergegas pulang dengan menumpang mobil dan truk untuk keluar sampai ke jalan raya, tempat bis kami parkir untuk kembali ke Bandung.  Kulit saya terbakar, keringat bercucuran, tapi senangnya bukan main! :D Akhirnya kesampaian juga bermain ke wilayah ini.


Kawasan Karst Citatah
Padalarang, Kabupaten Bandung,Jawa Barat


Sumber : http://adriarani.blogspot.com/2012/12/jelajah-kawasan-karst-citatah-padalarang.html
 

No comments:

Post a Comment